Aku tidak ingin melihatmu bukan berarti benci.
Namun aku takut. Ketakutanku adalah Tuhan menakdirkan kita bertemu untuk memperbaiki sebuah hubungan. Kita akan kembali ke awal padahal sudah sepakat mengakhiri.
Kini jarak yang kita tempuh
tidak berhasil merenggangkan karena alasan kita sibuk adalah alibi untuk saling
melupakan.
Ketika dekat dengan
seseorang, tiba-tiba dia menjelma seperti sosokmu. Padahal mereka tidak layak
aku samakan.
Apakah pertanda perasaan
itu masih ada?
Sosokmu yang selalu aku
bicarakan dan bahas berulang pada siapapun. Tanpa sadar aku mengingat hal-hal
kecil yang pernah kita lalui.
Seakan kita bisa memutar
balik waktu. Salah satu sugesti yang aku pertahankan, sehingga ruang ingatan di
kepala ini seolah milikmu.
Jika memang bukan kamu yang
terbaik. Kenapa hati tidak bisa menampikmu? Seolah kamu istimewa.
Meskipun aku berusaha
menghindar untuk tidak jatuh cinta lagi, nyatanya perasaan untukmu tetap utuh.
Sering ku terka sendiri
pantulan yang kau tujukan, tatap, gerikmu seperti menyesali perpisahan. Apa aku
salah?
Haruskah aku menunggu?
Padahal tidak terhitung aku berada pada baris keberapa dari sekian orang yang
menginginkanmu. Aku pun tidak tau orang seperti apa yang kamu inginkan.
Sempat inginku sematkan
namamu sebagai bagian dari keluarga masa depanku.
Tetapi siapa diantara kita
yang lebih dulu melukai?
Bukan aku yang memilihmu,
tetapi Allah yang menitipkanmu padaku. Namun kamu seakan tidak percaya akan
takdir itu.
Perasaan padamu tidak ku
katakan sejati karena takdir Tuhan bisa berkata lain. Namun ketika memilih
setia pada pilihan, sulit untuk melepasnya walaupun telah dilukai.
Kamu tidak percaya?
Silahkan. Namun beginilah caraku terjerat. Aku tidak mengajarimu untuk paham.
Setiap orang punya pemikiran sendiri.
Jika kamu bahagia dengan
kehidupan yang kamu pilih, aku bisa apa.
Berpangku pada sepuluh jari
tidak berhasil menutupi rasa kecewa tetapi aku berusaha menopang dengan seluruh
daya, berharap esok tanpamu akan baik-baik saja.
Biarpun menjelma kenangan.
Waktu tidak akan pernah beku, ia terus mengalir dalam detak.
Rindu tidak hanya tersusun
atas kata dan tulisan. Seperti pertemuan dan perpisahan ibarat dua cermin yang
saling berhadapan.
Bagaimana menjaga sebuah
rasa jika sebelah pihak mengingkarinya?
Tidak dapat dipungkiri ada
khawatir yang selalu menyertai bila hilang rasa percaya. Tidak ada seorang pun
yang mampu bertahan dalam kecewa. Kita hanya dua insan yang sudah bersedia
memulai sekaligus mengakhiri sebuah pertemuan. - TD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar