Allah menitipkan seorang anak pada rahim seorang ibu, doa baginya didampingi kehidupan yang baik.
Namun realita, hidup penuh dengan resiko. Setiap orang ingin hidup tenang. Namun kita hanya makhluk Allah yang di ciptakan dengan berbagai keadaan. Sanggupkah kamu jadi manusia tangguh atau memilih untuk pasrah.
***
Matahari ufuk Timur
menghilangkan jejak tetes embun yang membasahi dedaunan.
“Pernikahan” kata yang
mengguncang perasaan seseorang. Seakan kata itu dibaca berulang sampai menggema
di telinga.
Setelah membaca pesan
singkat, Shafa tidak ingin melakukan apa-apa selain mengurung diri.
Aku bisa apa, memaki? kesannya tidak bisa hidup tanpa dia. Dia
yang selama ini aku prioritaskan, ternyata hanya buang waktu. Aku menyesal
sangat setia. Dengan mudahnya dia dekat dengan yang lain disaat ada seseorang
yang menjaga hati untuk seorang saja.
Ketika kita terlalu berharap lebih pada manusia, kita tidak bisa
menghindari rasa kecewa. Pada dasarnya manusia berhak menentukan pilihan.
Belajarlah untuk ikhlas dalam setiap keadaan! Kebahagiaan seseorang tidak
ditentukan oleh kamu meyakini dia milikmu, tapi kamu dan dia merasa saling
memiliki karena satu pihak yang berjuang akan berujung pada Perpisahan.
“Ayolah, kita bicara
sebentar!” dia tidak berhenti merajuk. Namun Shafa bukan perempuan yang mudah
mengabulkan permohonan.
“Besok saja di kampus.”
jawabnya datar, ada keinginan untuk menutup telepon namun dia urungkan.
“Kita harus bertemu hari
ini.” Kenan membujuk lagi dengan nada yang lembut.
“Malam minggu seharusnya
datang ke tempat pacar, kenapa mengungsi di rumahku?” Shafa sebelumnya
tidak pernah menanyakan ini pada Kenan. Padahal sudah kebiasaan Kenan setiap
minggu datang ke rumahnya. Namun kali ini dia tidak ingin bertemu.
“Aku akan kerumah jam 7
malam.” Kenan menentukan tanpa meminta persetujuan.
“Siapa yang bilang boleh
datang?” Shafa kesal karena mendapat respon yang tenang.
“Meskipun tidak di izinkan,
aku akan tetap menemuimu. Jangan ditunggu, aku takut datang terlambat!” dia
tidak peduli dengan tarikkan nafas Shafa diujung telepon.
“Oke.” akhirnya Shafa
menjawab pasrah.
Meskipun dia bersikeras
meminta Kenan untuk tidak menemuinya, Kenan akan datang dan mendapat sambutan
yang baik dari orang rumah, percuma saja menghindar.
***
Keluarga Shafa berkumpul di
ruang makan. Luna, adiknya sibuk mengupas apel, Ayah membaca koran dan Ibu
menata makanan, tersenyum menyambut Shafa bergabung di meja makan.
“Kenapa mata anak Ayah? Apa
kamu sakit?” memperhatikan Shafa memakan apel tanpa gairah.
“Tidak Ayah.” berusaha
menghindari tatapan.
“Benar tidak apa-apa?” Ayah
mencari celah untuk mendapat kepastian dari anaknya.
“Iya.” Jawabnya dengan
senyum yang dia yakin membuat Ayah berhenti mengkhawatirkan keadaan.
“Ayah, maaf aku memotong
percakapan. Bolehkah aku meminta pendapatmu!" Luna menengahi pembicaraan.
"Ya, tentu saja.
Mengenai apa?"
"Apa Ayah punya saran
aku masuk jurusan apa di perkuliahan nanti?”
“Ayah ingin tau, apa kamu
sudah punya pilihan pada jurusan yang kamu sukai?"
“Ada, jurusan psikolog.
Bolehkah?” Luna sangat antusias.
“Tentu saja. Ayah setuju
denganmu, itu pilihan yang bagus.”
“Apa Ayah tidak
keberatan jika suatu hari nanti aku kuliah sambil bekerja?”
“Selama kuliahmu tidak
terganggu. Kamu sanggup melakukan dua kegiatan itu, Ayah akan mendukungmu. Kamu
mengerti?”
“Iya, aku akan mengatur
jadwal sebaik mungkin.”
“Ayah menunggu kabar
baiknya."
"Siap ayah."
Luna merasa lega sudah mendapat persetujuan.
"Bagaimana dengan
kuliahmu?” Ayah beralih, menyadarkan Shafa yang termenung.
“Aku mulai skripsi semester
depan, semoga mata kuliah semester ini tidak ada masalah.”
“Tetaplah fokus pada
kuliahmu!” Ibu memberi semangat, Shafa menganguk.
“Apa Ayah mendapat telepon
dari Zian?” Shafa memberanikan diri memulai pembicaraan mengenai Zian.
“Tidak, kenapa?”
“Sebulan yang lalu Zian
memutuskan keluar dari asrama.”
“Keluar bagaimana?” Ayah
berhenti membaca koran, menatap penuh tanya.
“Dia berhenti mengikuti
pendidikan militer.” jawabnya ragu.
“Bukankah ini kesempatan
dia, setelah tahun lalu gagal. Kenapa sekarang malah melepas
tanggungjawab?”
“Dia bilang tidak nyaman.”
Shafa tau itu bukan jawaban yang Ayah inginkan.
“Ada apa dengan anak itu?
Apa Ayah perlu bicara dengannya?” Ayah tau pasti anaknya mengkhawatirkan
seseorang.
“Tidak perlu Ayah! Apapun
yang kita katakan tidak akan merubah apa-apa.” Shafa mengigit ujung bibir.
“Dia melewati setiap
tahap dengan semangat. Namun pada akhirnya mengundurkan diri. Apa ada masalah?”
Ibu duduk di meja makan.
“Kurasa begitu, dia sudah
memutuskan untuk berhenti.”
“Kapan dia mengundurkan
diri?” Ibu menggenggam tangan Shafa.
"Aku tidak
ingat. Dia langsung menemuiku sepulang dari asrama.” tiba-tiba dadanya sesak
mengingat kejadian itu.
“Kalian sudah dewasa, sudah
tau bagaimana cara menyelesaikan masalah.” ibu tersenyum kecil memberikan
semangat.
“Iya bu, tapi tidak ada
yang bisa diperbaiki dari hubungan kami.”
“Ada apa?” Ayah menerka
kegundahan Shafa.
“Zian tidak akan ikut
pendidikan lagi dan kami sudah berpisah. Hari ini Zian akan menikah.” ujung
matanya menahan tangis.
“Menikah?” Ayah tersentak.
Akhirnya semua mengerti
kenapa Shafa sangat gelisah.
“Ibu tau ini akan menganggu
pikiranmu. Namun jangan biarkan semangatmu hilang! Dalam setiap ujian, Tuhan
menyusun rencana yang baik, nak. Percayalah!” ibu mengelus pundak Shafa.
“Shafa, jodoh itu bukan
hanya orang yang kita harapkan. Namun dia yang telah Allah pantaskan. Seorang
perempuan juga berhak memilih. Imam yang baik, bertanggung jawab, penyayang
orangtua sudah tentu sayang padamu dan keluarga! Lelaki seperti itu masih
banyak.” Ayah meyakinkan.
“Kak, maaf jika Luna ikut
campur juga. Tidak ada gunanya menyesali perpisahan dengan lelaki yang tidak
punya pendirian! Hidup terlalu berharga!”
“Tentu saja. Aku yakin ini
yang terbaik.” Shafa menguatkan diri.
“Kakak tau sendiri, sikap
Kak Zian tidak cocok dengan tipemu. Yakinlah kehidupan dimasa mendatang akan
bahagia!” Luna penuh semangat.
Shafa tersenyum, semua
menyambutnya.
Kehilangan adalah salah satu ujian yang harus kita lewati. Allah
senantiasa membimbing kita yang pantang menyerah. Menyiapkan hari esok yang
bahkan bisa lebih baik dari yang kita pikirkan. KuasaNya sungguh nyata.
Perbaikilah dirimu, semakin dekat DENGANNYA! Itulah sugesti yang membuat aku
sangat tegar. Terpuruk tidak ada gunanya.
Hallo, masa depan lebih penting! Aku bukan melarikan diri, namun
aku menjadi terbiasa sendiri saat berada jauh dari tempatku memulai. Biar aku
buktikan, setiap pembelajaran di masalalu akan membawa kita pada kesuksesan.
Balas dendam terbaik adalah menjalani kehidupan yang lebih baik dari
sebelumnya.
***
Malam ini, Shafa menunggu
Kenan. Sahabat sekaligus penghibur yang baik, cerewet, tidak mau mengalah,
kadang manja dan banyak sikap lain yang bertabrakan dengan sikap Shafa.
“Nonaku sini peluk!” Dia
merentangkan tangan, Shafa reflek mengarahkan tinjuan. Lima cm saja melewati
batas, hidung Kenan akan membengkak.
“Jangan bertingkah aneh,
aku sedang tidak mood!” jawabnya ketus, lalu duduk diteras, Kenan mengikuti.
Temaram lampu halaman tidak
berhasil menyembunyikan kesedihan, Kenan terpaku 20 detik memikirkan topik yang
akan dibahas dengan gadis itu.
“Mata sembab, muka pucat,
rambut berantakan. Kapan kamu akan berpenampilan cantik di depanku?” Merasa
tidak ada tanggapan, Kenan menyikut Shafa yang terdiam seperti patung.
"Ayolah nonaku,
tunjukan sedikit senyuman! Biar aku tau kamu masih hidup." Candanya.
“Aku memilih untuk
berpenampilan apa adanya.” jawab Shafa malas. Tatapan kosong tertuju pada kolam
ikan di depannya.
“Mau kamu seperti ini, aku
tetap suka. Aku sangat menerimamu apa adanya.” Shafa tidak menanggapi
pernyataan itu. Kenan sedang berusaha keras, mengatur napasnya yang tiba-tiba
tersengal.
“Kenapa tidak ke rumah
Hany?” Shafa memperhatikan kerut wajah Kenan. Senyum manis tersungging di
pipi seperti anak lugu.
“Apa aku terlihat seperti
anak yang baru pacaran?”
“Memang ada hubungannya?”
Shafa berdecak heran.
“Aku memilih pacaran tidak
di malam minggu, saat semua orang merayakan moment itu. Menandainya sebagai
hari dimana kamu bertemu pacar, jalan-jalan, pergi nonton dan lain-lain.”
“Ya aku tau, apa Hany tidak
marah?”
“Marah itu untuk hubungan
yang tidak memiliki rasa percaya. Gaya pacaran yang selalu bersama malah cepat
bosan. Bukankah akan lebih rindu jika jarang bertemu.”
“Bosan? Jika terdengar oleh
pacarmu, apa dia memaklumi pernyataanmu?” Shafa memojokan Kenan.
“Tidak, moodnya akan
berantakan seperti perempuan yang sedang mens. Pokoknya apapun maunya jangan di
bantah. Memang lelaki selalu salah dimata perempuan.” wajahnya memelas
mengundang tawa Shafa.
Kenan lebih sering tidak
serius menanggapi kemarahan tetapi satu sisi dia menyadarkanku, tidak semua
masalah harus dibawa emosi. "Kalem we atuh da hirup mah ukur neangan
piamaleun lain pikasebeleun (santai saja, hidup itu untuk mencari amal baik
bukan kejengkelan). " begitulah kata Kenan jika aku benar-benar marah.
“Tertawalah sampai kamu
menangis! Karena meskipun ditutupi, matamu tidak mampu berbohong.” Kenan
menerka ekspresi Shafa yang langsung berubah seperti menahan tangis.
“Memang ada apa?”
“Sini bersandar biar aku
ceritakan sebuah dongeng!“ Kenan menepuk pundak.
“Tidak mau, mendekat
membuatku lebih mudah mencekikmu.” Shafa melingkarkan tangannya mendekati leher
Kenan.
“Lakukan saja!” jawab Kenan
pasrah, mencondongkan badan mendekat. Namun Shafa refleks menghindar.
“Jika aku menyakitimu tanpa
alasan, aku akan semakin buruk bukan jadi lebih baik.” raut wajah Shafa kembali
sayu.
Ya, Kenan tau kalau aku
pandai menyembunyikan perasaan. Orang pikir aku gadis yang ceria, murah senyum,
seperti orang tanpa beban. Nyatanya aku tidaklah setegar itu. Aku mudah
menangis, meredam kesedihan dengan ekspresi seakan aku tidak apa-apa.
“Itu kamu paham. Jangan
terlalu berharap pada manusia, sedih berlebihan juga kamu yang rugi! Memangnya
dia merasakan apa yang kamu rasa saat ini? Tentu saja tidak. Ketika dia sudah
memiliki kehidupan lain yang membahagiakan, dia otomatis menghapus kisah
terdahulu."
“Kamu benar, aku termasuk
orang yang merugi. Jelaskan padaku kenapa seseorang bisa berubah sikap secepat
ini?”
“Maksudmu sikap yang
bagaimana?"
"Menjadi egois, tidak
berperasaan."
“Siapa sih yang bisa
merubah hidupmu, ya kamu sendiri kan? Ketika kita membuat keputusan pastinya
akan ada resiko juga kan.”
“Iya." Shafa fokus
mendengarkan penjelasan Kenan.
“Ketika seseorang punya
target dalam hidupnya, dan suatu hari apa yang dikejar sudah di depan mata.
Tentu saja dia akan berusaha mendapatkannya dengan cara apapun.”
“Apakah dia tidak berpikir
keputusannya bisa saja merugikan?”
“Jika tujuannya mencari
kebahagiaan. Merugikan atau tidak pada dirinya atau oranglain sekalipun. Dia pasti
sudah tau resiko dari pilihannya. Dia tidak merasa rugi, tidak merasa bersalah,
dan menurutnya itu keputusan yang benar. Apa pembahasan ini ada hubungannya
dengan Zian?”
“Jika iya, kamu akan
menutupi kesalahannya?” tatapan Shafa mulai tajam.
“Alasanku tidak mengajakmu
menyaksikan pernikahan Zian karena menjaga perasaan kalian. Maaf jika membuatmu
kecewa!”
“Aku benci orang yang
menyimpan rahasia, apalagi berkaitan denganku.” Shafa kesal.
“Tidak semua harus
dikatakan terburu-buru. Aku akan membahas ini namun memastikanmu dalam kondisi
tenang.” Shafa tersenyum, dia sadar Kenan tidak pantas disalahkan.
“Darimana kamu dapat kabar
pernikahannya?”
“Dari Helen, temanku yang
pernah menyukai Zian.” perasaan Shafa kembali tenang.
“Diam-diam dia banyak
fans.”
“Sahabat kita sudah
mengakhiri masa lajang. Bagaimana dengan kita?”
“Nanti saja kita bicarakan
masa depan. Jika kamu menginginkan dalam waktu dekat, aku belum siap.” Kenan
menatap serius, Shafa menaikan satu alis lalu terbahak-bahak.
Zian termasuk lelaki
pendiam lebih tepatnya cuek. Ada kedekatan khusus antara kami. Perasaan
itu masih tersimpan sampai Zian menghilang. “Dia pasti kembali” sugesti setiap
hari ketika aku ditinggalkan beberapa lelaki yang menjelma sebagai pacar.
***
Jika kamu bisa merasakan perasaan seseorang, kamu orang hebat. Aku
saja tidak tau harus berbuat apa untuk menyikapi ini, entah harus menangis atau
bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Bukankah perempuan memang seperti itu.
Aku, kamu, dia apakah sama? kita mampu bersikap sewajarnya. Bukan, tetapi kita
memang pintar berbohong.
“Lihatlah mereka! pasangan
yang serasi bukan?” Kenan berkata seakan menghukum kesalahan seseorang.
“Sejak kapan dia
disana?” bangunan dengan kaca lebar itu, mempertontonkan pasangan yang
menyantap hidangan.
“Mungkin setengah jam yang
lalu, ketika kita di toko buku. Ayo menyebrang!” Kenan memastikan keadaan
jalan, namun Shafa mematung.
“Kenapa?” Kenan menatap
heran.
“Aku tunggu disini saja.”
Shafa berdiri di depan halte.
“Aku tidak mau ke parkiran
kafe sendiri. Nanti tukang parkir tanya; kamana gandenganna kang?” Kenan
sengaja menggoda.
“Bilang saja menghilang.”
jawab Shafa dengan ekspresi datar.
“Sembunyikan wajahmu! Jika
kamu merasa terganggu oleh tatapan seseorang biar aku yang hadang. Anggap saja
aku bodygguard!” Kenan menyilangkan kedua tangan dan menegapkan badan,
Shafa tertawa.
“Apa perlu melakukannya?”
Shafa merasa tidak yakin untuk melakukan hal tersebut.
“Itu pilihan. Apa
bersembunyi membuatmu merasa aman?” Kenan mengajukan pilihan.
“Tidak.” jawab Shafa tegas.
“Berjalanlah seperti biasa,
bukan malah jadi pengecut.” mata mereka saling beradu, Kenan menangkap sorot
mata Shafa yang redup.
“Apa karena aku melakukan
kesalahan?”
“Seperti memutuskan Rizal?”
“Ini bukan saatnya membahas
Rizal.” wajahnya kesal.
“Kenapa tidak? kalian putus
padahal baru pacaran satu bulan.”
“Dia pintar akademik tetapi
bodoh dalam perasaan, berlaga dewasa, tidak memiliki rasa cemburu, dari luar
kalem tetapi otaknya mencari cara untuk menerkam.” Shafa menjelaskan dengan
nada jengkel. Kenan tertawa.
“Mungkin dia belum
menemukan tempat layak! Bagaimana dengan Ilman?” pertanyaan ini mampu
membuat senyum kecil di bibir Shafa.
“Dia sabar menghadapi sikap
egoisku, manja, kurang peka, dan banyak lagi sikap negatif yang bisa saja
membuat orang jengkel. Lelaki yang berharap ada perubahan pada seseorang yang
menjelma seperti patung. Namun patung itu lupa, ada waktu dimana lelaki bosan
dengan yang tidak berperasaan.”
“Maksudmu?”
“Sebaik apapun sikap Ilman,
tidak berpengaruh padaku.”
“Jika tidak mau hal buruk
terulang, maka perbaikilah!” Kenan menjentrikan jarinya pada kening Shafa,
membuat dia meringis.
“Aku sadar kurang bersyukur
atas kebaikan yang aku terima dari Ilman.”
“Apa ini ada kaitannya
dengan seseorang? Sehingga kamu jadi makhluk yang tidak berperasaan.” Kenan
sengaja memojokan Shafa, supaya dia paham kesalahannya.
“Kalimatmu ada benarnya.”
Shafa duduk di kursi halte.
“Berhentilah menutup diri!
Aku rindu gadis periang, banyak bicara sekaligus pendengar yang baik.”
“Maaf, membuatmu khawatir!”
Shafa menatap Kenan serius.
“Tidak masalah. Apa Ilman
berkaitan dengan kebencianmu pada seseorang?”
“Maksudmu Ilman
pelampiasanku?”
“Iya, haruskah aku
menyalahkan Zian yang meninggalkanmu?” tegas Kenan.
“Jangan libatkan dia! Kita
sudah menjalani hidup masing-masing.”
“Kamu bisa berbicara
seperti itu, tetapi dengan mudahnya mencampakan seseorang.”
“Kenan, nasibmu buruk
sekali menjadi sahabat orang jahat.”
“Jika kamu jadi jahat, aku
adalah orang pertama yang akan menyadarkanmu.” Kenan kembali melembutkan
suaranya. Dia tau Shafa sedang menahan diri untuk tidak menangis.
“Aku merasa tenang.”
“Sudah seharusnya. Sejak
kamu berpisah dengan Zian, pernahkah kamu menyukai seseorang?”
“Pilihanku jatuh pada
Ilman. Dia mengirim pesan penyemangat bukan kegundahan, menelepon dengan
humoran, mengajak jalan dengan kesopanan. Dia tidak pernah berkata rindu tetapi
datang kerumah tanpa aku undang, dia tidak diam ketika aku salah tetapi
menasehati. Aku suka melihat tampang juteknya saat cemburu.”
“Pilihanmu hanya Ilman?”
kenan penasaran.
“Iya, pada yang lain
perasaanku nol karena kebaikan mereka terasa ganjil.”
“Ganjil? Bagaimana
denganku? Apakah aku termasuk pria jahat?”
“Predikat jahat akan
disematkan oleh perempuan yang pernah kamu kencani.”
“Perlu kamu tau, aku
playboy yang tidak menyakiti hati perempuan.” mendengar itu Shafa memukul paha
Kenan, membuatnya meringis.
“Bagaimana jika aku memilih
kamu jadi pasanganku?” Kenan menatap serius.
“Aku menolak.” jawab Shafa
spontan.
“Bisakah tidak menjawab
secepat itu?” Kenan menghela nafas lalu melanjutkan ucapannya.
“Shafa, menurutku pacaran itu malah membuat
banyak pikiran. Aku telah mencampakan Hany dua kali. Aku berharap ada perubahan
dalam hubungan kami saat ini.”
“Apa sudah ada perubahan?”
“Tidak.” wajah Kenan
memelas.
“Apa yang akan kamu lakukan
selanjutnya?”
“Menjadi lelaki single.”
“Lihatlah pacar Ilman, dia
cantik! Apa dia termasuk perempuan incaran?” mereka menatap jendela kafe di
sebrang.
“Jika aku mengincarnya maka
kamu akan kembali pada Ilman. Itu tidak boleh terjadi.” Kenan tersenyum jail.
“Seenaknya memutuskan
kehidupan seseorang semaumu.” Kenan senang melihat ekspresi Shafa ketika
jengkel.
“Sejak kamu bersama Ilman,
kamu tidak punya waktu untukku.”
“Tenang saja! akan aku
gunakan waktu single ini untuk berada disampingmu.” Shafa mengelus pundak
Kenan.
“Kenapa kita tidak
selamanya bersama?” Kenan merajuk.
“Jangan terlalu berharap!
aku melakukan ini untuk mengisi waktu senggang saja.” jawabnya datar, padahal
Kenan menantikan jawaban yang mampu merekahkan hati.
“Tidak bisakah kamu
merangkai kata-kata yang manis?” Shafa tertawa saat Kenan menatap jengkel.
“Terimakasih telah menjadi
sahabat terbaik. Kamu berhasil mengembalikan raga yang terperangkap di suatu
masa, aku lega seperti lepas dari ikatan.”
“Akhirnya kamu sudah
berhenti menjelma arwah penasaran.” mereka tertawa.
“Hus.., nanti kamu diikuti
arwah beneran.”
“Tidak masalah.”
Sore itu terasa hangat,
Ilman memperhatikan Shafa menyebrang menuju parkiran kafe. Dia ingin beranjak
dari tempat duduk, menyapa gadis itu. Namun melihat kebahagiaan Shafa bersama
Kenan, dia mengurungkan niat.
***
Shafa menonton televisi
sambil menyantap cemilan. Suapan terakhir bersamaan dengan panggilan dari nomer
yang tidak di kenal.
“Halo.” sapa perempuan di
ujung telepon.
“Ya, maaf saya sedang
bicara dengan siapa? ”
“Tidak perlu berbicara
formal! Lagipula kita seumuran.” Shafa tidak mengenali suara di ujung sana.
“Iya, ini dengan siapa?”
“Apa perlu aku
memberitahumu, Shafa?” tanyanya seperti main teka-teki.
“Tentu saja, kamu sudah tau
namaku. Kamu siapa?” Shafa tidak suka bertele-tele.
“Aku Ajeng, karyawan di
Apotik Cemerlang. Kita di Universitas yang sama, cuma beda gedung fakultas jadi
tidak pernah bertemu.” jelasnya.
“Ada perlu apa menelepon?”
Shafa pikir dia mendapat telepon dari sales yang akan menawarkan produk.
“Kamu tidak suka basa-basi
ya?”
“Lebih cepat lebih baik.
Kamu sudah tau identitasku kan?”
“Baiklah. Apa kamu kenal
Zian?”
“Kenal.” Jawab Shafa ragu.
“Maaf menelepon tiba-tiba,
aku istrinya. Aku ingin mengenalmu secara baik. Di ponsel suamiku ada pesan
masuk darimu. Zian cerita kalau kalian berteman.” Shafa terperanjat, hampir
saja memutuskan panggilan. Namun dia sedang memberanikan diri.
“Iya, anggap saja begitu.
Memang kenapa?”
“Dari isi pesan, kamu
sangat akrab dengan suamiku.”
“Tidak ada yang salah kan?
Kita cuma sahabat.” jawabnya sinis.
“Iya aku mengerti. Ada satu
pesan yang membuatku ingin menanyakan langsung padamu. Apa yang menyebabkan
kamu marah pada suamiku?”
"Hanya itu? Aku kecewa
karena dia tidak mengundangku ke pernikahan kalian.” perasaannya mulai tidak
karuan.
Harusnya aku akhiri saja
percakapan ini. Ingin ku bertanya "Kenapa hadir dan merusak hubungan
orang?" "Bagaimana perasaanmu jika di posisiku?". "Tidak
perlu menghubungiku karena masalah sepele seperti ini, toh kamu sekarang
istrinya. Aku hanya masa lalu yang tidak perlu diingat." Terlalu drama.
Skenario manusia itu bisa keliru, mungkin memang dia jodoh yang Allah nyatakan
tepat.
“Atas nama suamiku, aku
minta maaf.”
“Tidak apa-apa.” Suaranya
bergetar.
“Boleh ceritakan awal
persahabatan kamu dengan Zian?”
“Aku, Zian dan Kenan selama
3 tahun berada di kelas yang sama. Mereka berdua jail, aku kesal dan akhirnya
sering bertengkar. Setiap dibagi kelompok belajar, kami selalu bersama. Rasanya
ada yang kurang jika tidak ada salah satu. Mungkin karena itu kita jadi akrab.
Kami bisa disebut tiga serangkai. Bukan pejuang kemerdekaan tetapi pejuang
kabur dari sekolah untuk mendapatkan bakso gratis Mang Kamil, warung seberang
sekolah. Bakso gratis bertepatan dengan jadwal pramuka. Jadi salah satu harus
kami korbankan dan pilihan kami jatuh pada isi perut. Jangan ditiru!” Jawab
Shafa santai, Ajeng tertawa.
“Kamu mirip sekali dengan
Kenan, ceria dan humoris. Apa kalian pacaran?”
“Tidak.” Shafa hampir saja
teriak.
“Ternyata dugaanku salah.
Bagaimana kalau aku bocorkan rahasia. Apa kamu ingin tau?”
“Apa?”
“Sebenarnya di ponsel Zian
banyak foto Kenan bersamamu, makanya aku mengira kalian pacaran, serasi
sekali.”
“Foto aku dan Kenan ada di
ponselnya?”
“Iya, senyummu manis. Suatu
hari nanti kita harus bertemu.”
“Iya.”
“Baiklah, sampai jumpa
Shafa."
***
Shafa duduk dilantai,
bersandar pada kasur. Dia menyalakan televisi dicanel film horor, ditemani
makanan ringan. Tanpa mengetuk pintu Mila duduk disampingnya.
“Tadi Luna bilang kamu
sedang hibernasi. Melihat keadaanmu seperti ini, ternyata ada benarnya.”
“Ya, aku malas keluar. Tadi
nonton film apa?”
“Aku tidak jadi nonton
karena tidak bersamamu.” Mila memeluk Shafa. Namun dia mendorong badan
Mila untuk menjauh.
“Jangan menganggu jika
tidak mau kena omel!”
“Kalau marah-marah terus
nanti cepet tua.”
“Mil, kemarin aku mendapat
telepon dari istri Zian.”
“Ada urusan apa?”
“Dia membahas pesanku yang
tertinggal di ponsel Zian.”
“Haruskah kamu mengingat
Zian, setelah apa yang dia lakukan?”
“Mengingatnya hanya buang
waktu.”
#Malam minggu
adalah hari special bagi sebagian orang, namun bagiku sama saja. Sejak sore aku
sibuk dikamar, duduk di hadapan komputer.
“Shafa, ada tamu.”
“Siapa ibu?”
“Lihat sendiri! gadis
cantiknya sudah Ibu persilahkan duduk.”
“Iya, baik bu.” sedikit
merapikan rambut, menyambut kedatangan seseorang di ruang tamu, Helen.
“Teteh, apa kabar?”
“Baik, Helen apa kabar?
Sekarang jadi pangling.”
“Baik juga teh. Iya teh,
sebenarnya aku ingin mempunyai badan seperti model tetapi hasilnya malah badan
tipe emak-emak.” Helen menunjukan perut dua lapis, berhasil membuat tawa.
“Teteh punya pacar? Jangan
bilang masih sama Kenan!”
“Kita tidak terpisahkan
sebagai sahabat.”
“Bagaimana kalau aku
kenalkan dengan seseorang?”
“Jangan repot-repot! Aku
ingin sendiri dulu.”
“Aku tidak percaya. Jika
teteh melihat orang ini, aku yakin teteh akan berubah pikiran.”
“Maksudmu?”
“Kedatanganku kesini
bersama seseorang. Kami bertemu di rumah sakit. Aku pernah melihat
wajahnya (diframe foto di atas meja belajar Shafa) saat aku bilang berteman
dengan Teh Shafa, dia semangat ingin bertemu.”
“Siapa?” aku jadi salah
tingkah.
Aku mengikuti Helen,
melangkah hati-hati. Saat membuka gerbang, ada lelaki berdiri di samping motor,
tersenyum. Sempat terlintas di pikiran untuk memeluk.
“Zian.”
“Kamu masih ingat padaku?”
kalimat pertama Zian setelah tujuh tahun tidak bertemu#
“Apa yang kalian lakukan?”
Mila mulai mencari tau.
“Kami berbincang masa lalu.
Aku penasaran ketika dia memutuskan keluar kota.”
“Apa alasan kepindahannya?”
“Dia sedang mengalami
kesulitan sehingga mencari pekerjaan disana.”
“Apa dia tidak mendapat
dukungan dari orangtua?”
“Dukungan selalu ada, namun
dia tidak suka bergantung pada oranglain.”
“Apa selama berpisah dia
mengingatmu, sama seperti yang kamu lakukan?”
“Aku tidak tau. Melihatnya
saja membuatku bahagia. Jantungku seperti mau copot, senyum manis, mata tajam
seperti panah dewa amor yang siap menancap. Mungkin saat itu aku tidak waras.”
mereka tertawa.
“Raut wajah Zian seperti
merahasiakan banyak hal. Apa kamu sependapat?” Mila merasa Zian adalah sosok
yang misterius.
“Iya, sulit menebak apa
yang dia sembunyikan, penuh teka-teki. Mila, aku selalu berharap hubungan kami
baik-baik saja. Seperti yang kamu tau, kami berdua berusaha menata masa depan.
Aku melewati banyak hal bersama Zian.”
“Ya aku tau. Bolehkah aku
tau kenapa dia memutuskan untuk keluar dari asrama?”
#Zian turun dari motor,
membuka helm. Aku kaget melihat keadaan Zian, muka lebam dan mata kiri bengkak.
“Kenapa bisa memar begini?”
Aku menyentuh luka di pelipis, Zian meringis.
“Kita duduk dulu!” Zian
duduk diteras kosan, aku disampingnya merasa iba.
“Ceritakan! apa yang
terjadi?”
“Tenanglah! Ini luka kecil,
dikompres dan dikasih obat juga sembuh. Tadi aku beli obat di apotek. Jadi
sekalian mampir.”
“Luka ini kamu bilang tidak
apa-apa.”
“Iya, jangan memasang wajah
khawatir! Kamu melihatku seperti orang yang akan mati.”
“Bagaimana tidak khawatir,
kamu pulang dengan keadaan seperti ini.”
“Ini kejutan dari senior.”
wajahnya begitu tenang.
“Apa terjadi sesuatu?
Bukankah belum waktunya pulang?”
“Aku pulang karena
merindukanmu.” dengan senyum paling menenangkan, namun aku tau Zian
menyembunyikan sesuatu.
“Aku serius Zian.
Tindakan ini akan membuatmu dalam masalah.”
“Aku sudah dapat hukuman.”
Zian menunjuk luka.
“Kembalilah, tidak ada
gunanya lari dari masalah!” Aku tidak menanggapi Zian yang menganggap
kepanikanku bahan candaan.
“Shafa dengarkan aku! Aku
akan keluar dari asrama.” menarik napas panjang.
“Kenapa?”
“Tidak betah saja. Aku
melakukan banyak kesalahan, jadi tidak semangat.” Zian menunduk, tangannya
memainkan batu kerikil lalu melempar penuh tenaga.
“Kamu pasti bisa melewati
semua rintangan. Yakin pada tekadmu! Tunjukan kamu yang disiplin, berani
dan pantang menyerah! seorang Zian tidak melakukan kesalahan yang sama .”
“Masalahku bukan itu saja,
sehingga aku memilih tidak kembali. Aku akan mencari pekerjaan di sini.
Jadi kita bisa habiskan waktu bersama.” menatap penuh harap.
“Berhentilah mengeluh!”
namun aku geram.
“Apa perlu aku ulang?
Keputusanku untuk keluar sudah bulat.” nada suara Zian mulai meninggi.
“Kamu sangat menyedihkan,
menyerah dengan apa yang sudah diusahakan oleh tenaga dan pikiranmu.”
“Silahkan kamu marah!” nadanya
meninggi.
“Jelas saja aku marah. Kamu
membiarkan cita-citamu hilang. Seakan kamu lupa sudah berapa kali gagal dan
bangkit lagi. Kamu membuang kesempatan yang oranglain dambakan. Zian
peruntungan tidak memihak mereka tetapi kamu dengan mudahnya bilang keluar.
Tidak ada gunanya selama ini kamu bekerja keras.”
“Oke, disini aku yang
salah. Jika kamu tidak terima keadaanku, kamu boleh meninggalkanku!”
“Dengan mudah kamu
mengambil keputusan, tanpa memikirkan bagaimana kedepannya. Aku sangat cemas,
saranku tidak berguna. Apa yang harus aku lakukan? Zian aku mohon ceritakan
yang sejujurnya! Aku akan bantu.”
“Aku tau kamu kecewa tetapi
aku akan berusaha memperbaiki semua.” seketika hening.
Tanpa berkata lagi, Zian
menyalakan motor. Dia melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkanku yang tidak
bisa lagi membendung air mata.#
“Sejak itu, kami menjadi
canggung. Selalu ada pihak yang mencairkan suasana, bertahan dengan hubungan
yang rencana akan finish namun kembali ke start. Keganjilan terasa ketika aku
melaksanakan KKN. Seminggu setelah pulang dari KKN, kabar pernikahannya sampai
ditelinga. Awalnya aku tidak menaruh curiga, pertama datang ke tempat KKN
aku langsung mengabari meskipun tanpa pesan balasan. Aku berulang kali
menghubungi tetapi tetap sama. Hingga suatu hari dia kirim pesan "Jangan
ganggu aku lagi! Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa." Aku
berusaha menelepon untuk memastikan namun tidak ada tanggapan.”
“Shafa, maaf memaksamu
mengingat. Pertemuan yang kamu dambakan sekian lama malah berakhir menyedihkan.
Apa kamu menyesal bertemu dengannya?”
“Jika dari awal aku
tau kami bertemu untuk berpisah. Aku akan memperbaiki setiap kesalahan .”
“Apa kamu yakin sudah
melupakannya?”
“Tidak, namun aku percaya
akan ada kesempatan untuk dicintai seseorang.”
“Aku menunggu kamu
menyadarinya.”
“Menyadari apa?”
“Jangan menganggap cinta
sebuah permainan karena perasaan itu nyata dan butuh ketulusan! Janganlah
egois, kamu pernah merasakan sakit ditinggalkan! Jangan lakukan itu pada
oranglain! Balas dendam itu tidak baik, meskipun kamu merasa tidak
melakukannya.”
“Siapa yang barusan memberi
saran? Aku ingin memelukmu.” keduanya tertawa.
***
Shafa dan Ibu duduk didepan
rumah, menunggu kedatangan seseorang.
“Ibu, aku akan menjelaskan
sesuatu dan ingin tau pendapat Ibu?”
“Iya, bagaimana?”
“Seorang lelaki tidak tau
kenapa perempuan yang dia dekati tidak luluh dengan sanjungan. Setelah sekian
bulan, dia menyadari ternyata perempuan itu memagari diri, bersikap selektif.
Perkenalan mereka sangat berkesan, entah disengaja atau tidak namun membuat
mereka tidak ingin berpaling.”
“Apa masalah yang dihadapi
mereka?”
“Asmara perempuan tidak
berjalan baik. Sehingga dia memantapkan diri untuk mencari pasangan hidup.
Namun si lelaki tidak berani memberi kepastian, memendam perasaan. Kisah yang
dirajut panjang tidak menghasilkan jalan keluar.”
“Apa lelaki itu sama sekali
tidak serius? Harusnya dia segera mengambil keputusan! Jika tujuannya bukan
mencari pendamping, lebih baik mundur saja.”
“Iya, perempuan itu
menegaskan bahwa dia ingin tujuan yang jelas. Bukan tentang pacaran tetapi
rencana matang.”
“Apa pihak perempuan
terlalu memaksakan khendak?“
“Iya dia ingin lelaki itu
tau kalau perempuan itu berharap pernikahan. Adakah jalan keluar untuk keduanya
bu?”
“Ibu ingin tau pendapatmu.”
“Apa pihak lelaki sedang
mempersiapkan diri untuk mapan? Memang jika berbicara soal mapan, tidak ada
habisnya. Entah sampai kapan kategori itu terwujud sesuai keinginan. Sedangkan
perempuan, ketika dia merasa siap berarti sudah tau resikonya.”
“Kehidupan sekarang
dituntut mengambil resiko atau bertahan di zona nyaman.”
“Mungkin tidak mudah
menjalani kehidupan setelah mengambil resiko, itulah alasan seseorang bertahan
di zona nyaman seperti mempersiapkan diri.”
"Betul, yang paling
penting dalam pernikahan adalah kesiapan diri. Dengan segala hal yang akan
dihadapi ketika sudah berumah tangga. Karena menyatukan dua pemikiran yang
berbeda itu tidak mudah. Ibu tidak bermaksud melarang pernikahan. Tetapi
alangkah baiknya keduanya memantaskan diri. Mengerti?"
"Iya bu."
Tiiid..... tiiiddd....
suara kelakson terdengar di halaman, Shafa dan Ibu menghampiri.
“Ibu, nanti kita lanjutkan
lagi. Aku akan beli makan setelah jalan dengan Kenan.”
“Martabak manis, bakso dan
es campur.”
“Banyak sekali, nanti aku
pilihkan jadinya beli apa.”
“Iya ibu mengerti. Kalian
berdua hati-hati!”
Kenan dan Shafa pamit,
meninggalkan ibu yang mengawasi sampai mereka menghilang di pertigaan.
***
Shafa dan Kenan keluar dari
sebuah gedung, melangkah menuju taman, membeli es krim, kemudian duduk pada
kursi dengan meja bundar mirip jamur. Mereka asik membicarakan film yang baru
saja di tonton.
“Halo, apa kabar?” Shafa
mendongkak, Kenan tidak kalah terkejut.
“Baik.” jawab Shafa.
“Apa yang sedang kalian
lakukan?” Ilman duduk disamping Shafa.
“Kami sedang melakukan
ritual mendinginkan pikiran. Namun es krim ini sepertinya akan cepat mencair.
Cuacanya kok jadi gerah.” Kenan mengelap dahi.
“Perasaanmu saja.” Shafa
menimpali.
“Sudah lama kita tidak
bertemu.” Tanyanya pada Shafa seakan Kenan orang ketiga yang tidak dianggap.
“Iya, kebetulan kita
bertemu ketika langit sore ini menghadirkan warna yang bagus.” ucap Shafa
sekenanya.
“Mungkin langit mengartikan
perasaanmu saat ini.”timpal Ilman, Shafa terbatuk sambil memukul paha Kenan
yang menyembunyikan tawa.
“Kerja dimana sekarang?”
Shafa tidak suka ditanya kerjaan, malah melontarkan pertanyaan itu.
“Masih di tempat dulu,
kalian?”
“Aku bekerja di kantor
swasta, sedangkan Shafa diluar kota.” Kenan paham situasi.
“Oh begitu.” raut wajah
Ilman penuh tanya. Namun dia memilih tidak mengajukan pertanyaan lagi.
“Kalian canggung sekali.
Aku akan emosi jika menghabiskan waktu melihat kalian seperti sedang
interview.” Kenan memecah keheningan.
“Aku sulit mencairkan
suasana.” Ilman gelisah.
“Tidak masalah. Aku akan
seperti itu jika di posisimu. Kalau boleh tau, apa yang sedang kamu lakukan di
sini?”
“Aku ada janji dengan
teman. Kenan, apa pekerjaan membuatmu sangat sibuk?”
“Tidak juga. Jika terlalu
sibuk, aku akan stress karena tidak punya waktu untuk menganggu hidup Shafa.”
Ilman terdiam sejenak.
“Jika ada waktu senggang,
berkunjunglah ke rumah!”
“Apa tidak masalah jika
menginap? Aku hanya takut mengganggu. Apa kamu sudah punya pendamping?” Kenan
sengaja memancing obrolan.
“Belum. Bagaimana
denganmu?”
“Kita bernasib sama.”
Mereka tertawa, Shafa seperti orang asing berada di tengah keduanya.
“Anak-anak tongkrongan
sering menanyakanmu. Libur kerja kita biasa kumpul. Hubungi nomerku!” Ilman
memberikan kartu nama.
“Baiklah, aku akan
ikut meramaikan.”
”Aku tunggu kunjunganmu!”
“Siapkan saja hidangan yang
enak! ibumu pintar memasak, apa beliau sedang menunggu calon menantu yang bisa
masak?”
“Tidak juga, ibu lebih
senang berkenalan dengan yang mampu menempatkan diri.”
“Syukurlah, aku termasuk
kriteria dengan bonus menghibur.” Kenan mengelus dada, mengundang tawa.
“Aku bingung mau bicara apa
pada Shafa. Bertanya kerjaan, sudah. Tanya apa lagi?” dua lelaki itu saling
melirik.
“Pertanyaan sih banyak, apa
dia punya pacar? Apa sudah bersuami atau mungkin memiliki anak?” Kenan
menyenggol tubuh Shafa, matanya melotot.
“Apa perlu aku
mengulang pertanyaan yang sama?” Ilman ragu. Kenan memakan es krim seakan
memberi waktu untuk Shafa.
“Aku tidak punya pacar,
belum menikah dan punya anak. Apa ada pertanyaan lagi?”
“Kamu tidak kreatif. Shafa
tidak suka pertanyaan itu.” Kenan sengaja menjahili Ilman.
“Benar juga, itu terlalu
basa-basi.” Ilman tertawa canggung.
“Kalian butuh bicara, aku
akan meninggalkan kalian berdua. Jika butuh aku, pangggil saja!”
Kenan menghampiri anak-anak
yang bermain skateboard tidak jauh dari taman, memberi ruang.
“Maaf! aku tidak pandai
memulai percakapan.” Ilman menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Kenan benar, kita harus
bicara. Tanyakan apa yang perlu kamu ketahui! Jangan merasa aku akan menerkam!”
“Aku berharap ada pertemuan
lagi setelah ini.”
“Aku minta maaf
karena dulu bersikap tidak menyenangkan.” Suara Shafa gemetar.
“Situasi waktu itu yang
memperburuk keadaan, aku memahaminya.”
“Jika ingat, yang ada hanya
kenangan buruk untuk hubungan kita.” mata mereka saling beradu.
“Aku tidak merasa begitu.
Masa lalu punya tempat tersendiri dalam ingatan.”
“Ambil yang positif dan
bermanfaat untuk masa depan saja!”
“Itu saran yang baik.
Bagaimana jika kamu terapkan untuk dirimu!” Ilman berhasil memojokan Shafa, dia
tersenyum menang.
“Shafa, pernahkah kamu
merasa tiba-tiba langit menghadirkan wajah seseorang? Menurutmu itu
pertanda apa?”
“Apa kamu sedang
mengantungkan harapan?” Shafa menerka.
“Entahlah, seseorang yang
menggantungkan harapan tanpa memulai akan berakhir sia-sia.”
“Waktu terus berganti,
mungkin langit menyampaikan rindu. Tidak dapat dipungkiri setiap orang akan
rindu sapaan seseorang yang pernah ada di ingatan.”
“Apa Tuhan menakdirkan
pasangan yang terpisah untuk saling bertelepati?”
“Aku tidak yakin. Jika
waktu membawa seseorang saling berjauhan. Akankah jarak mengajarkan mereka
untuk setia?”
“Setia tidak diukur dari
jarak. Namun terwujud jika keduanya memiliki tujuan yang sama. Tidak ada yang
sia-sia jika saling mempertahankan.” Ilman meyakinkan.
“Realita saja, kita adalah
manusia yang seringkali salah memprediksi pertanda.”
“Kamu masih takut akan
perpisahan?” Pertanyaan yang mampu membuat Shafa salah tingkah.
“Kita tidak tau apa yang terjadi
besok, begitu juga perasaan dapat berubah kapanpun.”
“Sekian lama kita berpisah,
aku tetap menyukaimu.” Ilman menatap penuh harap.
“Jangan mengambil keputusan
terlalu cepat!”
“Maaf, jika membuatmu tidak
nyaman! Aku harus bagaimana?” Ilman menatap serius.
“Jika kamu sudah yakin!
Datanglah dan katakan sekali lagi! Keluargaku akan menyambutmu.” Shafa
memandangi Ilman termenung. Tidak berani berujar.
“Jangan terbebani! Kamu
yang tentukan mau melangkah ke depan atau mundur. Apapun pilihanmu, aku
tetaplah Shafa.”
“Sudah selesai ngobrolnya?”
Kenan menghampiri dengan nafas yang tidak teratur.
“Sudah.” jawab Shafa.
“Shafa, aku sarankan kamu
harus coba! Ini beneran seru. Aku merasa tua jika bermain dengan mereka. Baru
main beberapa menit saja kaki terasa kaku sampai jatuh berkali-kali.”
“Tidak mau, sebaiknya kita
pulang. Kamu juga butuh istirahat!”
“Baiklah, bagaimana kalau
lanjut ngobrol dengan Ilman di warung Mang Kamil, kita jadi kesana kan?” Shafa
mengiyakan.
“Terimakasih tawarannya
tapi aku mau mampir ke toko seberang, ada barang yang harus di beli. Aku
pamit.”
“Baiklah.” Kenan menjabat
tangan Ilman, begitu juga Shafa.
Ilman melangkah pergi.
Kenan tidak mendengar sepatah katapun dari Shafa.
“Apa terjadi sesuatu? Si
Ilman seperti orang yang baru saja tersambar petir.”
“Tidak terjadi apa-apa. Aku
mengajukan penawaran. Sepertinya dia belum siap, aku tidak memaksa.”
“Penawaran apa?”
“Rahasia.” Shafa berlalu
meninggalkan Kenan yang penasaran.
“Shafa, ayolah! Aku ingin
tau penawaran apa?” Kenan mengejar Shafa yang menghindar.
***
Apakah aku berlebihan? Tidak. Kamu akan mengerti jika berada
disituasiku. Semakin berumur, kita dituntut untuk hidup berpasangan,
sebagaimana diperintahkan oleh Tuhan.
Jadi, kenapa kamu tidak berpasangan? siapa yang kamu tunggu?
Apakah kamu menunggu lamaran? Pertanyaan yang sentimentil.
Jika tau hubungan itu harus didasari cinta. Maka serahkan hatimu
untuk mengalami perjalanan, sedih dan bahagia yang tidak bisa dihindari.
Ini kehidupan, sejalan bukan berarti tanpa rintangan. Ujian yang kita hadapi
cepat selesai atau tidak, tergantung bagaimana cara menyikapinya.
Seseorang yang memutuskan mencintai akan melakukan tugas sebagai
pasangan, tanpa ada keterpaksaan seperti menerima kekurangan dan menghargai
kelebihan masing-masing.
Di usiaku ini, sudah banyak kisah yang terlalui. Lalu apa
penyebabnya masih sendiri? Tuhan punya maksud tertentu. Jika seseorang menuntut
segala hal. Lalu, akankah dia menerima orang yang ingin hidup sesuai dengan
dirinya?
Kamu siapa sehingga pantas untuk menikah dengan seseorang? Jadilah
diri sendiri! Jika dia tidak menerima keadaanmu maka tinggalkan! siapakah yang
harus dipertahankan? Dia yang tidak menuntutmu jadi oranglain.
Terimakasih
Ini ceritaku.. DILARANG
COPYPASTE!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar