Minggu, 26 Oktober 2014

CERPEN "SATU BINTANG"

Tidak dapat dipungkiri setiap orang mempunyai bagian indah dan buruk dalam hidup. Itukah yang disebut kenangan.

Ada saat dimana seseorang menujukan sikap dengan raut wajah bukan perkataan. Itukah yang disebut ekspresi

 

Itulah kalimat seorang gadis pada lembar pertama dalam sebuah diary. Tiara lupa kapan terakhir kali menulis, dia sedang memulai lagi.

***

 

Kita tidak pernah bisa hidup sendiri. Kita perlu seseorang karena bersama mereka kita memulai kehidupan.

 

Bipp..bipp... Suara itu terdengar berulang kali. Tiara memaksakan diri meraih ponsel di atas meja.

 

“Jam tujuh pagi, oh Tuhan ini hari minggu. Adakah orang selain dia?” Tiara menekan tanda jawab. Belum juga menarik napas untuk mengomel, teriakan kencang di telinga berhasil membungkamnya.

 

“Bangun Lemot, kamu masih tidur? Kasihan sekali rezekimu di patuk ayam.”

 

“Jangan bertele-tele! langsung saja, ada apa?” namun suara Tiara tidak kalah nyaring.

 

“Galak sekali. Aku kelaparan, kak Juna masak apa? aku akan datang ke rumah untuk minta makan.”

 

“Bawel!” Suara Dirga tidak mampu menghilangkan kantuk yang memberatkan mata.

 

“Dasar bocah dibangunkan bukan bilang terima kasih, malah ketus.”

 

“Telepon lagi kalau aku sudah siap bangun, oke!”

 

“Kapan?”

 

“Nanti.” Tiara menutup panggilan, mematikan ponsel. Dia kembali menyandarkan kepala pada bantal, tertidur.

***

 

Seharian ini Tiara fokus pada laptop. Dia duduk santai tetapi siapa yang tahu otaknya sedang bergulat dengan tugas kuliah. Jemari cantik menggantung di atas tanda enter.

 

“Sepertinya aku melupakan sesuatu. Aku sudah mandi, makan lalu kembali ke kamar dan persediaan cemilan masih banyak.”

 

Bibir berceloteh, mata berhenti menyusuri setiap kata dalam dokumen. Dia sangat teliti, satu kata salah saja rambut akan berantakan.

 

Tiara menepuk kening. “Oh Tuhan, dimana ponselku?”

 

Setelah berhasil membuat kamar berantakan seperti kapal pecah. Dia menemukan ponsel di bawah tempat tidur. 

Ketika diaktifkan ada empat pesan memenuhi layar dari Dirga.

Pesan ke 1: Aku sedikit terlambat karena ada perlu dengan Lista.

Pesan ke 2: Lemot, aku telah mengambil keputusan yang menurutku terbaik. Bisakah kita bicara? Angkat teleponnya!

Pesan ke 3: Aku jadi tambah lapar. Ra, kenapa tidak aktif ?

Pesan ke 4: Lemot, kamu tidak merespon. Mau bersikap menjengkelkan seperti ini? membuatku kesal tingkat negara.

 

Tiara menunjukan ekspresi datar. Dia terbiasa menghadapi kemarahan Dirga. 

 

Pesan balasan dari Tiara: Kalau sudah membaik, nanti sore aku tunggu di rumah.

 

Berprilakulah seperti biasa sesudah kamu marah! Jangan mengungkit alasan kemarahan! Pelajari kesalahan kamu sebelumnya, tidak perlu menyalahkan oranglain! Bercerminlah! lakukan yang terbaik jika kamu sudah tahu dimana letak kesalahan!

 

“Ara, Dirga menunggu di bawah.” Juna memanggil dari luar kamar Tiara sebelum dia kembali ke kamarnya sendiri.

 

“Iya kak, aku akan segera menemuinya.” Tiara menuruni tangga dengan anggun, mencari sosok Dirga. Dia menemukan Dirga duduk santai di ruang makan.

 

“Enak, datang kesini langsung makan?” Tiara melotot saat tahu jatah makanannya telah habis.

 

“Hatiku sedang hampa, Ra. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi pada perutku.” dia mengelus bagian perut pertanda kenyang.

 

“Baiklah, aku sering mendengar ini dari tuan Dirga. Aku mengomelpun makanan itu tidak akan kembali di atas meja.”

Dirga tertawa puas, melihat ekspresi sedih Tiara menatap piring yang sudah kosong.

 

“Lista bilang aku sulit dimengerti, komunikas­i antara kita sudah tidak sejalan. Apa aku berubah? Aku tetap Dirga yang apa adanya, ganteng, baik dan ada banyak hal yang wanita suka.”

 

“Terlalu percaya diri. Mungkin kamu telah melakukan kesalahan.” Tiara menanggapi dengan wajah ketus.

 

“Ra, lelaki protektif  karena sayang, mengantisipasi ceweknya membuat kesalahan. Cewek beranggapan dikekang. Aku cuek merasa tidak disayang, serba salah.”

 

“Tingkah laku yang kita anggap baik kadang tidak sesuai keinginan pasangan. Apa kamu tidak sayang Lista sehingga bersikap sepasrah ini?” mengamati wajah Dirga yang terlihat santai setelah putus.

 

“Tidak mungkin orang menjalani hubungan tanpa rasa sayang. Ra, aku dan Lista memilih untuk berteman. Meskipun kenyataannya pertemanan setelah putus itu tidak mungkin terjadi.”

 

“Apa ini ada hubungannya dengan kabar kedekatan Lista dengan oranglain?”

 

“Aku tahu kabar itu sudah lama, tidak pernah mengungkitnya.”

 

“Kenapa tidak berusaha bertahan?”

 

“Tidak perlu memaksa hati bila kita sendiri atau oranglain merasa tidak nyaman. Jika bukan jodoh  sekuat apapun usahaku, kita tidak akan bersatu. Jika sudah waktunya, terjadilah kuasa Tuhan yang tidak terduga. Tinggal doa dan usahanya saja yang diperkuat.”

 

Dirga bukan hanya mengutarakan masalah tetapi di balik itu ada pelajaran yang bisa Tiara pahami.

 

“Apa di depanku, kamu berpura-pura tegar?”

 

“Ra, aku memang lelaki tegar.”

 

“Aku tidak yakin. Apa sedikitpun kamu tidak menyesal memutuskan Lista?”

 

“Menyesal hanya akan menyiksa diri sendiri. Bayangkan saja jika aku meratapi perpisahan ini sedangkan dia bahagia, sudah jelas aku yang rugi. Jadi apapun keputusan yang sudah aku ambil, aku akan bersikap lapang dada tanpa benci yang bisa saja merusak hatiku. Aku sudah ikhlas seperti melepas beban yang menghantui seminggu ini. Lagipula aku tidak siap hubungan jarak jauh.”

 

“Memang sulit jika belum pernah menjalani hubungan jarak jauh.”

 

“Itu kamu paham. Apa kak Juna kembali ke kamar?”

 

“Iya, dia sibuk dengan pekerjaan kantor.”

 

“Aku akan meminta izin untuk menginap di malam terakhirku.”

 

“Jangan berbicara seperti itu! Apa kamu pulang ke kampung halaman untuk melupakanku?”

 

”Tentu saja tidak. Mana mungkin aku melupakan gadis bawel.” Dirga berlalu dengan senyuman, meninggalkan Tiara terpaku di depan meja makan.

***

 

Lelah memaksakan hati bersama orang yang tidak tau kenyamanan. Berjalan ke arahnya seperti menempuh jalan gelap dan seram. Menatap matanya seperti menghadapi serigala yang siap menerkam. Setiap perkataan seperti petir menyambar telinga, nada bicara yang menghakimi, memojokan dan memaki. Tidak ada yang berarti. Apa ini yang dinamakan sayang? Aku ingin menjauh, akankah Allah izinkan?

 

Tiara memandang langit hitam, ruang yang membawa pikiran ke alam mimpi. Atap adalah tempat nyaman kedua setelah kamar. Lagu coldplay mengalun merdu, dilayar ponsel tertera nama Noval.

 

Noval Ardiaga. Nama berwibawa tetapi tidak cocok jika disesuaikan dengan kepribadian Noval. Lelaki keras kepala, pemarah, pencemburu dan pemilik hati yang sensitif.

 

“Tiara, apa yang kamu lakukan? Turunlah!” Tiara mendapati seseorang menunggu di halaman rumah.

 

“Baiklah, tunggu!” dengan penuh semangat dia mempercepat langkah kakinya. Belum sempat Tiara tersenyum menyambut kedatangan kekasihnya. Dia sudah terlebih dulu disuguhi wajah masam.

 

“Bagaimana responmu Dirga memutuskan Lista?” Noval langsung saja mengajukan pertanyaan.

 

“Darimana kamu tau?”

 

“Jangan mengalihkan pembicaraan! Apa alasan mereka putus?” wajahnya penuh selidik.

 

“Mereka berpisah karena tidak siap menjalani hubungan jarak jauh. Besok Dirga akan kembali ke kampung halaman.” Tiara masih santai menanggapi Noval.

 

“Akan lebih baik, dia pergi tanpa kembali.” jawabnya dengan ekspresi yang datar, lebih tepatnya kesal. Sehingga memancing amarah Tiara.

 

“Apa kebencian tanpa alasanmu belum menghilang? Padahal dia bersikap baik padamu. Bisakah kamu memperlakukan orang sebagaimana dia memperlakukanmu! Jangan seegois ini!”

 

“Kamu membelanya? Aku tahu, kamu pasti senang mereka putus. Kenyataannya kamu berharap Dirga suka padamu. Bertekuk lututlah dan memohon!” nadanya mulai meninggi.

 

“Aku bosan mendengar tuduhan ini. Bisakah kamu menghargai perasaanku?” Tiara tau bagaimana menghadapi Noval. Noval tidak suka disalahkan, namun Tiara perlu membela diri.

 

“Kamu tidak suka?” ledeknya.

 

“Iya, kamu selalu mencari kesalahanku lalu membahasnya berulang kali. Padahal apa yang kamu lihat selama ini adalah jawaban dari keraguanmu. Apa yang membuatmu tidak percaya kami berteman?”

 

“Berteman? Apa itu yang orang pikirkan setelah melihat kebersamaan kalian? Tidak, orang berpikir kalian menjalin hubungan. Teman itu bersikap sewajarnya bukan selalu terlihat bersama dibanding dengan kekasihnya.” Noval masih saja memojokkan Tiara.

 

“Apa ketakutanmu selama ini jadi kenyataan? Tidak kan. Kamu mendengar kabar dari luar dan menyiksa diri dengan pikiran buruk tentang kekasihmu sehingga apa yang aku lakukan tetaplah salah.”

 

“Bagus sekali omonganmu. Ini yang diajarkan Dirga? Membangkang. Aku tidak setuju pacarku dekat dengan lelaki yang pernah dia suka atau masih disuka. Jangan-jangan kamu sedang berusaha mendapatkan hati Dirga.” Noval menajamkan mata.

 

“Silahkan berpikiran seperti itu jika kamu sudah tidak percaya lagi padaku. Itu hak mu!” Jika Tiara balas dengan umpatan kemungkinan dia yang akan menangis.

 

“Aku tidak akan seperti ini kalau kamu menuruti perkataanku untuk tidak dekat dengan teman lelaki.”

 

“Dirga temanku sejak pertama kali dia tinggal di kontrakan samping rumah. Tidak ada alasan untuk memutuskan tali silaturahmi.”

 

“Munafik, ini bukan peringatan pertama atau kedua kali. Dulu sebelum dia hadir, hubungan kita baik-baik saja. Kita mau serius tetapi sikap kamu meragukan. Kamu dekat dengan Dirga, menunjukan kamu berengsek. Pikir pake otak! memang lelaki mana yang tidak sakit hati.” suaranya mulai bergetar.

 

“Pernahkah aku curiga padamu? Sekalipun tidak. Aku selalu mengabarkan semua kegiatanku. Begitupun tentang Dirga, aku tertarik sikapnya yang baik, tidak lebih. Aku tidak merahasiakan apa-apa.”

 

“Apa ucapanmu bisa dipercaya? Aku rasa tidak.”

 

“Kamu menutup kepercayaan itu. Aku membebaskanmu berteman dengan siapa saja. Pernahkah aku marah saat kamu pergi keluar berdua dengan perempuan? tidak karena aku membuang rasa curiga.”

 

“Aku benar-benar pergi dengan teman. Kamu? Apa pantas kalian disebut teman, munafik.” Noval menahan diri untuk mengumpat.

 

“Caramu menilai seseorang, tidak pantas. Dirga dirumah memang bisa seharian tetapi lebih sering mengobrol dengan kak Juna.”

 

“Alasan. Jangan berbicara seolah-olah kamu yang paling benar dan mengajariku! Lelaki itu ingin mencari perhatian. Jangan jadi tolol! Bukannya kamu senang dia sering kerumah.” Noval memperlihatkan senyum sinisnya.

 

Air di ujung matanya mengering. Perkataan lembut atau permohonan maaf tidak berarti. Diam lebih menjelaskan ketidaksukaan. Tiara melangkah pergi, menjauhi Noval yang mengomel.

 

“Aku belum selesai. Apa kamu tidak dengar?”

 

“Bisakah kamu berbicara lembut pada perempuan?” matanya mendelik.

 

“Kamu pikir aku marah tanpa alasan. Menghindar saja terus!”

 

Noval melajukan motor dengan cepat. Malam yang dingin berhasil membekukan hati Tiara.

***

 

Tidak bisakah pahami aku? Aku  sangat menghormatimu. Aku yang bersamamu adalah perempuan yang tidak pernah menyembunyikan apapun. Aku tidak mau menjadi oranglain untuk terlihat baik. Namun kepercayaanmu padaku telah sirna sehingga aku menjadi yang terburuk dalam segala hal. 

Kamu selalu membanggakan kekasih oranglain. Apa aku tidak berarti apa-apa? Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu bahagia? Setiap ucapan dan kelakuanku selalu salah. Apa yang terjadi? Apakah aku pantas untuk dimaki?

 

Cahaya redup menyembunyikan seorang gadis. Dia melindungi telinga dengan earphone. Pilihan paling efektif yaitu mendengarkan lagu rock dan menyanyikan lagu tersebut dengan suara keras. Namun suara yang menggelegar telah mengusik kenyamanan oranglain.

Panggilan masuk di ponsel berhasil menyadarkan.

 

“Kenapa telepon? Memang Kakak dimana? Aku belum mengunci pagar.”

 

“Heh bocah, sejak tadi Abangmu ini ada dirumah. Nyanyianmu sangat mengganggu. Suara kodok di dekat kolam ikan jauh lebih bagus. Berhenti pamer suara, ini sudah malam. Oke!”

 

“Iya, maaf.” Dia mematikan sambungan. Juna terkejut dengan tanggapan santai adiknya.

 

“Tumben bocah ini tidak bawel.”

 

Biasanya Tiara membalas omelan kak Juna tetapi saat ini perasaannya terluka. Dia menatap kalender kecil di atas meja.

“Tanggal yang buruk di tahun ini, bulan april.” Tiara menutupi tanggal dengan tulisan berduka.

 

Aku pernah merasa terpuruk di bulan april tahun lalu. Orangtuaku terkena demam berdarah. Mereka dirawat selama dua minggu di rumah sakit. Aku benar-benar takut kehilangan. Tahun ini, di bulan yang sama. Aku merasakan kesedihan lagi tetapi tidak ada alasan untuk terpuruk. Aku yakin ini bukan masalah yang sulit.

 

Dia sengaja memberikan tanda disetiap tanggal sebagai pengingat. Baru saja menghela nafas, seseorang mengetuk pintu.

 

“Ra, boleh aku masuk?”

 

“Masuk saja!”

 

Tiara duduk di bawah ranjang. Dirga menggigil, kemurungan Tiara membuat suasana kamar menjadi seram.

 

“Hey.” Tidak ada jawaban, Dirga duduk dihadapannya. Memandangi  wajah gadis itu.

 

“Apa yang terjadi?” selidiknya.

 

“Tidak apa-apa.” Tiara semakin menenggelamkan wajahnya pada rambut panjang yang tergerai.

 

“Harusnya seorang gadis bahagia kedatangan kekasih. Apa kalian bertengkar?”

 

“Bisakah aku melupakan ini secepat mengedipkan mata.”

 

“Ada masalah apa?”

 

“Aku sudah biasa mendengar dia menghakimi. Sedikit kesalahan saja, aku akan mendapat kritik dahsyat.”

 

“Kenapa dia seperti itu?”

 

“Dia memancing perdebatan. Bisakah aku diperlakukan baik? Umur tidak menjamin seseorang dewasa.” Tiara menatap Dirga dengan tangisan yang pecah, mengetuk iba Dirga.

 

“Tidak akan ada acara yang sudah kami rencanakan. Kenapa mudah sekali seseorang mengucapkan janji, tapi tidak untuk di tepati.”

 

“Serius?”

 

“Tadi aku mendapat telepon dari Bunda yang menyampaikan pesan dari Noval. Beliau tidak menyangka ini akan terjadi tetapi aku setuju dengan keputusan Noval.”

 

“Apa kak Juna tahu? Bagaimana reaksi orangtuamu?”

 

“Kak Juna belum tahu, justru yang tahu pertama kali adalah orangtuaku. Bunda terlebih dulu membicarakan masalah ini pada mereka. Mereka sempat khawatir dengan keadaanku tetapi aku pastikan ini jalan keluar terbaik. Orangtuaku mengerti.”

 

“Kamu selalu ceria, sulit untukku menebak orang sepertimu terbebani atau tidak.”

 

“Aku dan Noval nantinya akan punya kehidupan masing-masing. Bertemu dengannya seperti orang asing yang tidak pernah jumpa.” Tiara tersenyum kecut.

 

“Perpisahan bukan halangan untuk saling bertegursapa. Kita tidak tau rencana Allah untuk hidup kita. Ada kemungkinan Allah menjauhkanmu dari dia karena tidak mau kamu semakin terluka atau bisa saja dia masih jodohmu yang perlu memantaskan diri.” Dirga menyemangati Tiara.

 

“Aku tidak tau. Dir, saat ini aku hanya ingin melupakan. Kemudian memulai lagi, tentunya jadi lebih baik. Terima kasih sudah mau mendengar ceritaku.”

 

“Sama-sama lemot.” Dirga mengacak-acak rambut Tiara, keduanya tertawa lega.

***

 

Menjalani kehidupan ini, kita belajar untuk tegar, ikhlas, lapang dada dan semangat. Dengan menyebut namaMu dalam setiap helaan napas, kebahagian dan kesedihan yang aku rasakan adalah anugerah. Engkau tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan.

 

Ketika cobaan itu datang bertubi-tubi. Sebagai manusia, Bolehkah menangis? Bolehkah berteriak? Bolehkah mengeluh dan meratap? Ketika orang di sekitar seakan buta dan tuli. Apakah mereka ingin aku meminta belas kasih? Aku tidak akan memohon. Aku memilikimu Allah. Di sini, dimanapun aku berada. Engkau akan senantiasa membantuku.

 

Empat bulan tanpa kabar setelah Dirga pindahan. Dia kembali ke daerah asal, berkumpul bersama keluarga dan melanjutkan kuliah setelah menunda karena fokus bekerja. Tiara tidak tahu nomer kontak Dirga yang baru, begitupun kak Juna.

 

Tiara berbaring di atap, membuka jejaring social yang sudah lama tidak dibuka. Dia mengonfirmasi orang yang meminta pertemanan. Tidak lama ada chat masuk.

 

“Boleh minta nomer kamu?”

 

“Untuk apa? Aku jarang membalas pesan, apalagi kalau lagi moody.”

 

“Sebagai tanda pertemanan. Aku bisa mengatasi orang yang sering moody. ”

Tiara tidak pernah memberitahu nomernya pada sembarang orang.

 

“Tidak mau.”

 

“Ayolah, jika kamu merasa terganggu, block saja nomerku. Bagaimana?”

 

“Gimana kalau kita tebak-tebakan?”

 

“Boleh, apa tebakkannya?”

 

“Sejak bulan apa aku memulai posting di blog? (itu nomer awal). Tanggal berapa Kakakku (Trian Arbijuna) pertama kali memposting video ke youtobe? tanggal berapa Coldplay konser pertama kali di Indonesia? Aku mempunyai berapa saudara?  Berapa nomer rumahku? Berapa dua angka terakhir dari perkalian 2011x19? Jawabannya!”

 

“Beri aku waktu untuk menjawab!”

 

“Baiklah.”

 

Tiara yakin orang itu tidak akan berhasil karena dia sengaja memberikan pertanyaan pribadi.

 

“Nomermu -------------------. Benarkan?”

 

“Iya.” Tiara masih ragu.

 

“Terimakasih Lemot.”

 

“Dirga?”

 

”Maaf, baru mengabari. Ponselku menghilang saat perjalanan pulang. Setelah itu aktifitasku padat, aku harap kamu mengerti.”

 

“Terimakasih sudah memberi kabar.”

 

“Iya, kak Juna apa kabar?”

 

“Baik. Seminggu lagi dia akan menikah dengan Teh Giska.”

 

“Nanti sekalian kirim nomer kak Juna! Apa kamu tetap tinggal disana?”

 

“Iya, aku akan pulang ke rumah orangtua kalau sudah selesai kuliah.”

 

“Jangan dulu pindah kota sebelum aku berkunjung lagi!”  

 

Dirga tidak datang ke rumah Tiara seperti biasa tetapi tidak ada alasan untuk tidak memberi kabar. Setiap hari Dirga menyempatkan untuk mengirim chat karena dia tau Tiara bukan orang yang akan mengirim chat duluan.

 

“Apa karena tidak ada aku disana kamu selalu bersedih?”

 

“Percaya diri sekali. Kamu sering stalking ya?”

 

“Bagaimana tidak diperhatikan jika jejaring sosial sudah penuh dengan statusmu.”

 

“Apa kamu punya obat yang manjur untuk menghilangkan rasa galau?”

 

“Ada, minum baygon! Gratis tuh.”

 

“Hanya orang gila yang meminum cairan itu. Aku bisa melaporkanmu pada polisi atas tindakan KdP.”

 

“Apa maksud KdP?”

 

“Kekerasan dalam Pertemanan.”

 

“Apa ucapanku melukai? ini tidak bisa dibilang kekerasan.”

 

“Jelas saja. Bagaimana jka aku melakukan apa yang kamu katakan?”

 

“Aku yakin kamu masih percaya hukum Tuhan.”

 

“Semakin jauh dariku, kamu semakin pintar.”

 

“Aku bukan kamu, si lemot.”

 

“Aku pintar bukan si oon, tukang tanya ini itu. Ternyata sikap menjengkelkanmu belum menghilang.”

 

“Aku tahu kamu marah. Jika sudah tenang, hubungi aku lagi!”

 

”Baiklah.” Tiara pergi meninggalkan perpustakaan kampus. Dia tidak marah, namun waktunya membalas chat dari Dirga telah habis. Dia harus segera ke kelas.

***

 

Aku selalu mendengar keluh kesah setiap orang. Tanpa mengenal waktu, tanpa jeda. Aku cukup tersenyum dan memberi saran. Kamu pikir itu mudah dilakukan saat suasana hati buruk? Apa kamu bisa melakukannya?

 

Lihatlah aku! Yang kamu tahu aku cukup tegar, memberikan kamu solusi seakan aku bijaksana dalam menghadapi masalah. Nyatanya, aku diam ketika raga terperosok ke dasar sumur. Untuk keluar dari dasar harus bertumpu pada diri sendiri. Percuma berteriak meminta tolong pada oranglain karena mereka tidak akan peduli. Hanya sebagian orang jadi pendengar yang baik, kebanyakan mereka adalah pembicara yang hebat. Ingin di dengar tetapi sulit mendengar.

 

“Kemana saja Lemot? Aku mengirim chat daritadi tetapi baru kamu balas.”

 

“Aku malas membalas chat. Telepon saja!” Dirga menuruti permintaan Tiara.

 

“Halo Ara?"

 

“Kamu kenapa?”

 

“Apa kamu lihat statusku? Sekarang hubungan aku di gantung.”

 

“Beberapa hari kamu mengomel lewat status. Kenapa kamu tidak percaya diri?”

 

“Aku pecaya diri juga, dia tidak peduli. Menurut kamu bagaimana?”

 

“Kamu salah, sudah tau perempuan sensitif, statusnya bukan mengajak baikkan malah mengundang pertengkaran.”

 

“Usaha aku membujuk dia sampai mulut berbusa sama sekali tidak berarti.”

 

“Itu mulut kenapa tidak dijadikan mesin cuci sekalian?” Dirga tertawa.

 

“Ini serius, tidak ada yang perlu ditertawakan!”

 

“Iya maaf, terus aku harus bagaimana?”

 

“Jangan menunjukan emosi kamu ke dia apalagi didepan publik! Tunjukan betapa pengertiannya kamu!”

 

“Ceritanya, kita cinta lama bersemi kembali. Jadi aku tahu gimana sikap dia. Dia saja bilang: Aku tidak tahu kenapa bersikap cuek membuat aku santai. Dia santai aku terlupakan.”

 

“Miris sekali nasibmu, nak.”

 

“Begitulah mama, anakmu butuh pembelaan karena ditelantarkan pacar.”

 

“Apa kamu yakin ditelantarkan?”

 

“Kemarin dia upload foto suap-suapan dengan lelaki. Pacar mana yang tidak murka. Coba bayangkan kamu jadi korban?”

 

“Kenapa harus berada di bagian tersedih? Aku akan menerima tawaran scene yang senang saja.”

 

“Semua orang juga mau seperti itu. Ara, kita longdistance tetapi dia tidak jaga sikap. Kedepannya mana bisa aku percaya dia.”

 

“Aku pikir kamu anti longdistance.”

 

“Kita longdistance karena dia kuliah diluar daerah yang bisa ditempuh dalam waktu 2 jam. Sebenarnya kita tinggal di satu komplek, bukan beda kota.”

 

“Oh, jadi apa kendala semenjak longdistance?”

 

 “Dia selalu ada alasan jika bertemu. Bilangnya: maaf aku tidak bisa lama-lama karena setelah ini ada jam kuliah; aku sedang kumpul dengan teman, nanti aku hubungi kamu; kita ketemu lain waktu saja, aku cape. Ya aku tahu dia sibuk tetapi menyempatkan sebentar, apa sesulit itu?”

 

“Memilih bertahan dengan sikap dia itu keputusanmu. Ini pelajaran supaya kamu lebih memahami dia. Tidak ada yang sempurna, manusia tidak luput dari salah. Tidak ada manusia yang memiliki sikap sesuai yang kita mau.”

 

“Ini yang kedua kali. Sudah lama kita berpisah, aku sengaja mendatangi rumahnya untuk silaturahmi. Hingga aku menunggu kesempatan. Dia janji akan menjaga sikap. Namun kini kesalahannya terulang.”

 

“Kamu sudah bicara langsung, membahas masalah kalian?”

 

“Sudah. Ketika aku bahas, dia menjadi keras kepala kalau salah tidak mau disalahkan.”

 

 “Longdistance atau tidak bukan jaminan hubungan akan baik. Kalian harus saling percaya, menjaga komunikasi, kondisikan hubungan dalam zona nyaman bukan mendahulukan ego masing-masing.”

 

“Iya nyaman persis hidup kamu saat ini.”

 

“Apapun yang terjadi anggap saja ujian. Mampu atau tidak melewatinya, hasilnya akan berpengaruh pada kehidupan sendiri bahkan melibatkan oranglain. Mau mundur atau hadapi?”

 

“Aku memilih untuk menghadapi ujian ini, Ra. Apa yang harus aku lakukan untuk merebut hatinya?”

 

“Luluhkan sikap keras bukan dengan cara keras! Jangan biarkan sikap buruk kamu yang dulu terjadi lagi! Buatlah dia merasa kamu tidak posesif!”

 

 “Aku membebaskan, asal jangan kelewat batas! Sudah jelas dia tidak tahu aturan, masa upload foto seperti itu. Aku mau percaya bagaimana.”

 

“Apa yang kamu mau dari hubungan kalian? Katakan padanya!”

 

“Aku ingin ada komitmen dan tanggungjawab. Apa salahnya, kita sudah dewasa. Serius sedikit tidak salah kan?”

 

“Sudah benar. Dir, jika masalah ini membuatmu menyerah, maka masalah-masalah selanjutnya juga tidak bisa teratasi. Untuk kebaikan hubungan kalian aku sarankan kalian untuk bertemu, membicarakan masalah kalian dengan kepala dingin. Ingat publik tidak perlu tau masalah yang kalian hadapi! Cukup kalian bicarakan berdua saja! Jangan lari dari masalah!”

 

“Iya lemot. Terimakasih.”

 

“Sama-sama.”

 

“Kamu tidak kuliah?”

 

“Ini juga mau berangkat kuliah.”

 

“Belajar yang rajin! Dikelas jangan Lemot!”

 

“Akan aku usahakan supaya fokus.”

***

 

Sebulan berlalu, Tiara mempunyai teman baru di rumah. Waktu luang Teh Giska selalu membuat kue. Terkadang mereka mendapat pesanan  dari tetangga, dua tangan tidaklah cukup.

 

Tiara mengucek mata, menatap ke luar jendela, tirai sengaja dibuka sejak malam.

 

“Alhamdulillah, sejuk sekali. Pagi langit, pagi dingin, pagi hujan, pagi seseorang yang akan menjadi pendampingku. Semoga Allah memudahkan jalan kita hari ini.”

 

Tiara menurunkan kedua kaki ke bawah ranjang. Ketika dia akan berdiri, tiba-tiba ponsel didekat bantal berdering. Dia membaca beberapa pesan yang dikirim dari nama yang sama, Dirga. Tidak lama ada pesan baru.

 

“Pasti belum mandi.”

 

“Iya, baru beranjak dari kasur, lihat layar ponsel, gila pesan banyak banget kalau tidak segera dibalas takut di bilang artis sombong.”

 

“Haduh, pantesan ada aroma tidak enak. Kalimat selanjutnya tidak terbaca, sebagian teks rusak. ”

 

“Ya lupakan saja."

 

“Tumben pagi ini tidak update status?”

 

“Lagi bokek. Mama belum teransfer, Kak Juna juga irit. Jadi akhir-akhir ini aku harus menggunakan uang seperlunya.”

 

“Belajar menabung! Jika ada keperluan mendadak, kamu tidak perlu minta.”

 

“Iya, aku akan membuat daftar keperluan supaya dompet tidak cepat kosong .”

 

“Aku sangat mendukung. Ra, cepat mandi! Nanti aroma wangi gadis lemot bakal terhirup sampai sini. Aku tambah kangen.”

 

"Aku mandi juga bukan karena menuruti permintaanmu."

 

"Iya aku tau. Apa acaramu hari ini?"

 

Tiara menuruni tangga menuju dapur, membantu Teh Giska merapihkan kue kedalam dus. Belum juga Tiara mengetik pesan balasan, Dirga menelepon.

 

“Lemot” nadanya merajuk seperti anak kecil ditinggal pergi ibunya.

 

“Kunaon?” Tiara membalasnya dengan nada tinggi yang bisa memekikan telinga.

“Yeh.. Satu tahun bales smsna.”

 

“Aku lagi sibuk membantu Teh Giska. Baru juga ditinggal beberapa menit. Jangan takut kehilangan gitu dong!”

 

“Lah teuing dasar Lemot bikin emosi. Aku daritadi tuh mau tanya.”

 

“Iya, ada apa?”

 

“Kalau mau mention di twitter gimana?”

 

“Cari tulisan refly!”

 

“Gimana tambah followers?”

 

“Follow aku @TDianti_ atau @Dianti_08 , ambil di followed atau kamu search sendiri mau siapa yang di follow.”

 

 “Menulis status tetapi muncul di facebook gimana? Jangan bosen aku tanya-tanya!”

 

“Ribet, dieukeun geura alamat jeung pasword twitterna! Biasanya juga bertanya 24 jam.”

 

“Ulah teuing engke nu aya twitter anyar urang rajit. Kata siapa? Aku bisa pake ilmu sok tahu kalau dalam keadaan mendesak.”

 

“Iya kamu memang paling ahli.”

 

“Lalu bagimana caranya?”

 

“Cara apa?”

 

“Perlu dijitak biar tidak lemot? Gimana cara terhubung ke facebook? Sama Gimana cara memasang background, pakai gambar sendiri?”

 

“Kalau background ke setting, design, terus dibagian bawah change background image, cari gambar yang akan digunakan, sudah selesai tinggal save change.”

 

“Aku coba dulu.”

 

“Sudah di coba?”

 

“Iya, cuma terhubung ke facebook disconect. Coba Lemot lihat berubah tidak?”

 

“Apanya yang berubah? Kalau mengajukan pertanyaan jangan borongan! aku jadi bingung.”

 

“Si Lemot! Tugasmu sudah selesai, terima kasih mentorku.”

 

“Oke.”

***

 

Tiara sibuk dengan tugas dari kampus. Dia tidak ada waktu untuk bermalas-malasan. Setelah menyelesaikan tugas, dia segera menyapu halaman karena nanti sore ada acara arisan keluarga Teh Giska. Jika dia tidak melakukan apa-apa, kak Juna akan mengomel.

 

Tiara bersandar pada pohon di samping kolam ikan. Tanpa sadar matanya terpejam, keheningan pelan-pelan mengajak terlelap. Panggilan di ponsel berhasil membuyarkan kantuk.

 

“Kemana saja lemot?”

 

“Ada oon, kenapa?”

 

“Cewek aku belum ada kabar. Tadi waktu di kampus tidak bilang kalau keserempet. Aku malah mendengar ini dari oranglain.” Dirga kesal.

 

“Tidak memberi kabar bukan berarti melupakan. Mungkin ada alasan kenapa dia tidak cerita.”

 

“Alasan apa?”

 

“Dia tidak mau kamu khawatir, baik sekali bukan?”

 

“Baik? Harusnya dia bilang kalau ada masalah. Apa fungsi aku sebagai pacar cuma status saja?”

 

Tiara tidak bermaksud menggurui tetapi dia ingat sering mendapat prasangka buruk dari Noval. Setiap perempuan tidak ingin diperlakukan seperti itu. Mereka butuh privasi dan dipercaya.

 

“Dia punya alasan. Apalagi pacarnya adalah lelaki cerewet. Belum selesai masalah ini, malah datang masalah lain. Meskipun kamu mendengar berita dari orang lain, ada yang salah? Yang penting sekarang kamu beri dia perhatian.” Tiara menggerutu kesal.

 

“Baiklah. Aku akan minta maaf karena khawatir berlebihan sehingga membuatnya tidak nyaman. Apa yang akan kamu lakukan setelah aku menutup telepon?”

 

“Aku akan mandi untuk menghadiri acara penting.”

 

“Ada janji sama pacar? Kapan kamu cerita tentang pacar baru?”

 

“Siapa yang pacaran? Penggosip. Hari ini ada acara arisan keluarga Teh Giska bukan kencan.”

 

“Aku dengar Noval sudah punya pacar.”

 

“Iya aku tau, lalu bagaimana?” suara Tiara mengecil.

 

“Kapan kamu akan melangkah? Aku tau kamu itu tipikal yang setia tapi masa iya masih setia pada dia yang bukan milikmu lagi. Aku ingatkan lagi, carilah lelaki yang baik, menjagamu, memahamimu dan menerimamu. Jangan terpaku pada seseorang yang tidak memberikan kepastian! Perempuan tidak hanya menunggu tapi juga harus mencari. Carilah lelaki yang serius!”

 

“Dir, saat ini aku sendiri karena belum ada yang cocok.”

 

“Cocok dalam hal apa?”

 

“Punya tujuan yang sama untuk serius bukan tentang pacar.”

 

“Aku sangat mendukungmu! Jika kamu menemukannya, kenalkan padaku. Biar aku bisikan padanya kalau kamu adalah perempuan baik.”

 

“Tidak perlu dibisikan, dia akan tau bagaimana sikapku dengan sendirinya karena belum tentu oranglain menilai sama.”

 

“Iya Ra, aku memang tidak tau kamu sepenuhnya. Tetapi aku salah satu orang yang merasakan kebaikanmu.”

 

“Alhamdulillah, ada apa nih?”

 

“Aku hanya ingin memujimu saja, yang selalu bersikap tegar.”

 

“Sudahlah Dir, aku harus segera mandi.”

 

“Baiklah gadis lemot.”

 

Panggilan terputus, Tiara beranjak masuk untuk bersiap-siap.

***

 

Cara Allah menyampaikan rasa sayangnya memang sangat luar biasa. Aku tidak mengharuskan dia berada di sampingku. Dengan melihat dia tersenyum dan tertawa, aku merasa sudah membahagiakan seseorang.

 

“Gama, apa yang kamu lakukan? kita sudah melewati jalan ini.”

 

“Benarkah?” Gama benar-benar tidak merasa kalau sudah melewati jalan ini sebelumnya.

 

“Apa kamu mengantuk?” aku sangat khawatir.

 

“Tidak, aku masih terjaga. Apa ada tempat yang ingin kamu kunjungi?”

 

“Aku jarang keluar rumah, tidak tau jalan apalagi tempat nongkrong.” aku hanya bisa tertawa  kaku. Jangan tanya padaku tentang tempat karena aku tifikal orang yang senang menghabiskan waktu dirumah.

 

“Kita seperti orang yang tersesat di kota sendiri. Mungkin kamu pikir tingkahku sangat aneh.” Tanyanya. Dia menghentikan motor di pinggir jalan.

 

 “Aku pikir kamu mengajak jalan karena sudah menentukan tempat.”

 

“Ra, aku terlalu terburu-buru mengajakmu pergi saat tau hari ini kamu ada waktu luang.”

 

“Santai saja! Aku malah mengkhawatirkan keadaanmu. Kamu butuh istirahat karena baru saja pulang kerja.”

 

“Tidak masalah, aku baik-baik saja. Aku hanya tidak tahu kemana tujuan kita.”

 

“Kita tidak perlu mencari tempat yang jauh. Berada disini saja aku sudah senang, apalagi melihat pemandangan kota di malam hari. Yang penting kita punya waktu untuk mengobrol.”

 

”Ini pertama kali kita jalan bersama. Aku sangat gugup sampai lupa harus berhenti. Aku ingin terus memutari jalan yang sama, tidak bosan asalkan bersamamu.” Gama tersenyum membuat jantungku berdegup kencang.

 

“Jangan berbicara seperti itu nanti ada yang salah dengan tingkahku!”

 

Gama tertawa. “Ra, aku senang meskipun tanpa persiapan. Setidaknya aku bisa mengatakan apa yang ingin aku sampaikan secara langsung.” Aku tidak mampu berbicara.

 

“Jangan melamun! kita istirahat sebentar disini tidak masalah kan?”

 

“Iya tidak apa-apa.” Aku mengikuti Gama duduk di tepi jalan tidak jauh dari Masjid Agung, dekat taman kota.

 

Setelah mengobrol beberapa menit, Gama meninggalkanku sendiri. Setelah itu, dia datang membawa es krim.

 

“Gam, kamu lucu sekali saat makan es krim.” wajahnya memerah, aku jadi serba salah.

 

“Kamu pasti mendengar kabar di kampus kalau aku ini playboy Ra. Bagaimana pendapat kamu ketika mendengarnya?”

 

“Aku tidak pernah berkomentar. Bukan tutup telinga atau membelamu,  tetapi aku tidak suka orang menilai tanpa berkaca pada dirinya sendiri.” sekilas aku melihat Gama tersenyum simpul, lalu wajahnya serius.

 

“Menurutmu aku bagaimana?”

 

“Kamu berhak hidup.”

 

“Maksudmu?” Gama menerka ucapanku.

 

“Setiap manusia berhak menjalani kehidupan sesuai pilihannya. Dan harus terima resiko yang dia dapat dari pilihan itu, bisa saja baik atau sebaliknya. Baik juga belum tentu orang suka. Namun setidaknya kamu berguna. Lain jika kamu menjalani kehidupan yang buruk, hidupmu hanya akan dibalut penyesalan.”

 

“Benar Ra, sebelumnya aku mau minta maaf.”

 

“Untuk apa?”

 

“Aku tau kamu pernah didatangi beberapa perempuan yang dekat denganku. Mereka yang tidak paham kalau kamu sahabatku, sehingga menjadikamu sasaran kemarahan.”

 

“Tidak perlu kamu khawatirkan. Pertama kali di marahi pacarmu waktu SMA, menjadikanku terbiasa.  Aku tidak heran kamu bisa dekat dengan banyak perempuan. Kamu punya daya tarik sendiri yang membuat mereka nyaman.” Aku mengatakan apa yang terlintas dikepalaku.

 

“Kedekatanku dengan mereka masih wajar. Keberanianku untuk menggoda jika dibandingkan es krim juga lebih cepat meleleh.” kami tertawa. 

 

Aku sedikit ragu, memang dia terlihat cuek namun selama kami duduk ada beberapa perempuan tidak lepas memperhatikan. Namun Gama mengalihkan pandangan dengan fokus berbicara padaku.

 

“Kita harus segera pergi!” ajaknya.

 

“Kemana?”

 

“Tempat yang spesial untuk perempuan.”

 

“Baiklah aku ikut.” Aku mengikutinya dengan penuh semangat.

 

Aku mengikuti Gama masuk toko, disana lebih banyak pernak-pernik yang berhubungan dengan perempuan.

 

“Apa tidak salah kita datang ke tempat ini?”

 

“Tidak. Memang kenapa?”

 

“Jangan bilang kamu mau mengenakan aksesories.”

 

“Maksudmu mengenakan ini?” Gama memakai bando berbentuk telinga kelinci, menirukan gaya imut. Seketika kami tertawa.

 

“Pakailah sampai kita pulang!” pintaku.

 

“Aku tidak akan melakukannya meskipun kamu merengek. Ini untukmu saja, pasti lucu jika kamu yang pakai.”

 

“Ini tidak akan cocok.”

 

“Siapa yang bilang? Kamu perempuan harus terbiasa dengan aksesories seperti ini.”

 

“Aku tidak percaya diri.”

 

“Kamu harus percaya diri! Kamu istimewa, siapa yang akan meyakini kelebihan maupun kekuranganmu jika bukan kamu sendiri.”

 

“Akan aku coba.” Gama memakaikan bando itu dikepalaku.

 

 Kami berkeliling di toko, membuat kegaduhan, mencoba berbagai barang hanya untuk berfoto. Padahal disana sudah jelas dilarang mengambil foto. Setelah itu, Gama menarik tanganku pada rak boneka.

 

“Lihatlah boneka itu!”

 

”Lucu sekali, warnanya bagus, bulunya sangat lembut.” Tanpa diduga, Gama memesan boneka itu.

 

“Simpanlah! Aku memberi boneka ini tanpa maksud apa-apa. Aku tidak mau kamu berpikir ini jaminan agar kita bersama. Jika kamu berpikir seperti itu, apabila terjadi pepisahan pada akhirnya boneka ini menjadi luapan kebencian. Ini milikmu, tidak ada sangkut paut denganku!”

 

“Terimakasih Gama.”

 

Perjalanan singkat yang berkesan.

***

 

Tiara menutup diary, tersenyum. Gama adalah lelaki baik tetapi hubungan mereka tidak lebih dari sahabat. Tiara menghempaskan badan di atas tempat tidur. Ada panggilan masuk diponsel.

 

“Lemot?” suaranya pelan.

 

“Iya, ceritakan saja!” Tiara sudah paham mood Dirga seperti apa.

 

“Aku tidak ada masalah. Gimana jadi jalan?” Dirga mengalihkan pembicaraan. Namun Tiara tetap tidak bisa mengacuhkan perasaan Dirga.

 

“Bohong, ceritakan ada apa? Aku baru sampai rumah 15 menit yang lalu.”

 

“Kalau kamu bosan atau butuh teman. Aku siap menerima pesan selama 24 jam. Kamu jika tidak dihubungi duluan, tenggelam tanpa kabar.”

 

“Aku ingin mendengar ceritamu hari ini, mulailah!”

 

“Aku takut kamu bosan.”

 

“Tidak, katakan saja!”

 

“Apa kamu lihat status hubunganku?”

 

“Seharian aku tidak membuka media sosial. Apa yang terjadi?”

 

“Dia mengganti status hubungan. Padahal dia sendiri yang memperumit.”

 

“Tenangkan hatimu! seseorang yang mencintai memang harus lebih sabar. Bahkan pengorbanan mereka jauh lebih besar untuk mempertahankan.”

 

“Aku menyerah. Lemot bantu aku!”

 

“Bantu apa?”

 

“Konfirmasi hubungan kita. Tolonglah!”

 

“Kenapa harus aku? Nanti aku di labrak bagaimana?”

 

“Kejauhan mau melabrak juga. Tenang, nanti aku membelamu! Memanas-manasi dia, mau?”

 

“Dasar, kamu banyak maunya. Apa tidak takut putus?”

 

“Sudah putus, makanya tolong bantu! Harapan aku cuma kamu. Gimana? Lemot sayang sama oon kan?”

 

“Iya, kalau kamu sudah memelas jadi tidak tega. Hubungan ini cuma pura-pura kan?”

 

“Sebentar aku ganti status pasangan. Konfirmasi hubungan kita!”

 

“Iya, tenang!”

 

“Cepat konfirmasi lemot!”

 

“Sudah bawel.”

 

“Ingat kita jadian tanggal 11!”

 

“Oke!”

***

 

Tidak ada yang berubah dengan persahabatanku, status palsu hubunganku dan Dirga hanya kak Juna dan Teh Giska yang tahu. Demi sahabat, aku pasrah di bully Avril, mantan Dirga. Beruntung jarak kita jauh, jadi pertengkaran yang terjadi hanya omong kosong. Aku sudah terbiasa menghadapi makian. Dirga dan teman-temannya yang tidak aku kenal justru membelaku. 

Gara-gara status baru itu, Noval berpikir dugaannya selama ini benar. Dia berhak menilai tetapi yang tahu benar hidupku hanya Allah. Seakan siap dengan resiko didepan karena ini keputusan yang telah aku ambil.

 

“Lemot, jangan cuek begitu! Dasar si hati dingin. Ini anak pasti punya niat balas dendam.”

 

“Aku bersikap biasa saja, sudah cuek sejak dulu.”

 

“Apa kamu tidak takut di kutuk?”

 

“Tidak, kutukan itu berlaku hanya untuk anak yang nakal.”

 

“Dasar, jangan keseringan buka media sosial, belajar sana!”

 

“Justru aku sedang belajar lewat ponsel.”

 

“Kamu yang rugi kalau tidak patuh, belajar itu untuk kebaikanmu.”

 

“Iya, aku tahu. Maksudku aku sedang diskusi dengan teman melalui chat.”

 

“Oh begitu penjelasannya.”

 

“Makanya jangan menilai orang sepengetahuanmu saja.”

 

“Iya, maaf! Ara, cacing perutku kelaparan. Bisakah kamu transfer nasi?”

 

“Bank mana yang buka cabang transfer nasi?”

 

“Padahal kalau tau, aku akan mengajakmu ke suatu tempat.”

 

“Memangnya kamu mau kemana?”

 

“Hari ini aku dan teman-teman akan bakar ikan di pinggir pantai. Rencana sedikit tertunda karena menunggu hujan reda.”

 

“Menyenangkan sekali kalau bisa ikut. Sayangnya, kampung halamanmu bukan tempat yang bisa aku tempuh dalam waktu 5 menit.”

 

“Suatu hari aku akan menjemputmu. Kita wisata kuliner sepuasnya.”

 

“Dalam pikiranmu hanya makanan. Gendut baru tahu rasa.”

 

“Tenang saja! Badanku tidak berubah, wajahku juga tetap tampan.”

 

“Ya tuan Dirga aku sangat mengerti ucapanmu.”

 

“Bisakah kamu memujiku sekali saja? Apa salahnya membuat hati orang senang. Harusnya kamu akui kalau aku memang tampan.”

 

“Aku akan kataan itu lewat mimpi. Aku mau tidur, oon.”

 

“Dasar Lemot.”

***

 

Aku pernah merasakan suka. Saking luar biasanya, aku akan berteriak ketika ingatanku kembali pada moment bersama. Apa dia juga merasakan hal yang sama?

Ketika rasa suka itu berbanding sama dengan rasa sakit. Aku memutuskan untuk tidak menjalin hubungan, sebelum benar-benar siap.

Allah, apa saat ini aku bermimpi? Apa ini kenyataan yang harus aku terima? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku menghadapinya? Semoga keputusan yang aku ambil adalah jalan yang Engkau ridhoi. Sama seperti sebelumnya, aku tidak akan menyesal. Aku akan menguatkan diri.

Malam ini, seseorang menelepon Tiara untuk menyanyikan sebuah lagu.

”Maaf jika permainan gitarku kurang bagus. Yang penting isi lagu ini tersampaikan.”

 

This is how I feel

Whenever I’m with you

Everything is all about you

Too good to be true

Somehow I just can’t believe

You can lay your eyes on me

If this is a fairytale

I wish it wil end happily

Even now we are apart

I can feel you here next to me

Here and now I will love

Stay with me

Let me love you

With all my heart

You are the one for me

You are the light in my soul

Let me hold you

With my arm

I wanna feel love again

I wanna feel love again

I wanna feel love again

And I know

Love is you

 

 “Apa kamu masih mendengarku?”

 

“Iya.” Ya Allah, aku harus mengatakan apa?

 

“Jawaban yang singkat. Aku berharap kata yang sama terucap untuk membalas perasaanku.”

 

“Aku tidak bisa.” suaranya tiba-tiba tersendat.

 

“Aku ingin mengungkapkan perasaan yang  selama ini tersimpan rapat.”

 

“Maafkan aku Dirga!”

 

“Selama kita saling mengenal, kamu tidak luluh dengan perkataan romantis. Apa kenyamanan bersamaku sebagai sahabat tidak akan berubah?”

 

“Tidak, kamu akan tetap jadi sahabat terbaik.”

 

“Aku tau kita tidak akan lebih dari itu. Suaramu serak. Lemot, aku jadi serba salah mau bicara apa. Aku baik-baik saja.”

 

“Aku tidak yakin.”

 

“Sedih ketika mendengar penolakanmu tetapi aku lega sudah tau jawabanya.”

 

“Aku menghargai usahamu. Aku pernah berkata menyukai sikapmu tetapi menjadi pacar bukanlah pilihan yang tepat.”

 

“Itulah yang sulit dari kamu.”

 

“Sulit bagaimana?”

 

“Kamu sulit memahami lelaki yang melakukan pendekatan. Aku pikir kita punya perasaan yang sama, ternyata keliru. Namun mengenalmu sejak lama membuat aku terbiasa dengan sikapmu.”

 

“Aku merasa bersikap sewajarnya.”

 

“Kamu tidak menyukai lelaki yang menyanjung berlebihan, jengkel dengan kalimat atau perlakuan romantis. Sungguh gadis aneh.”

 

“Kenapa?”

 

“Kebanyakan perempuan menyukai hal manis tetapi kamu sebaliknya. Malah membencinya.”

 

“Bukan benci tetapi mendapat ekspresi keromantisan atau kata sanjungan adalah hal yang luar biasa. Jika mereka mencari kesempurnaan, tidak akan mereka dapatkan dariku. Aku wanita biasa yang ingin perlakuan berbeda. Bisakah seorang lelaki menunjukan ketertarikan dengan tindakkan yang lebih tulus?”

 

“Bagaimana dengan janji atau lamaran?”

 

“Janji apa? Ide yang bagus jika langsung melamar, mungkin akan jadi pengalaman menarik.”

 

“Aku pernah berjanji tidak akan membiarkanmu sendiri. Bagaimana jika aku melanggarnya?”

 

“Dirga, kebersamaan ada batasnya. Manusia tidak bisa menjeda waktu.”

 

“Bagaimana jika berjanji mencintai selamanya?”

 

“Katakan saja pada pasanganmu! Janji itu mudah diucapkan namun sulit di tepati jika tidak sungguh-sungguh. Jika kamu menyakiti perasaan tulus seseorang, dia akan sulit melupakan kesalahanmu.”

 

“Kamu adalah perempuan yang tegar, namun nyatanya rapuh. Tidak ada yang tahu kesedihanmu karena kamu tidak tunjukan. Tanpa kamu sadari, aku pernah mendengar kamu menangis dan mengomel tidak jelas.”

 

“Kapan?”

 

“Dulu, ketika aku menginap di rumah.”

 

“Aku tidak pernah melakukannya lagi.”

 

“Baguslah, aku tidak mau kamu bersedih, meratap, frustasi apalagi pergi dari hidupku!”

 

“Sudah jangan baper gitu Dir. Kamu sahabatku.”

 

“Iya tau.”

 

Mereka kembali bersahabat, Dirga menerima keputusan Tiara. Saling bertukar pikiran adalah salah satu obat pelipur lara. Mereka berusaha bersifat seperti tidak terjadi apa-apa. Meskipun Dirga kadang tidak sengaja mengungkapkan perasaan tetapi tidak ada yang membahasnya lebih jauh.

***

 

Tiara baru tiba di kamar setelah seharian sibuk dikampus dan mengerjakan tugas dikosan teman. Dia melihat tanda lingkaran pada kalender di atas meja. Dia ingat tanggal ini spesial. Dia segera menelepon seseorang.

 

“Happy anniversary status palsu hubungan kita.”

 

“Happy anniversary juga lemotku. Tidak terasa hubungan kita sudah satu tahun.”

 

“Iya harusnya kita mendapat penghargaan karena berakting menjadi artis dan aktor terbaik.”

 

“Aku merasa dapat penghargaan karena tidak pernah mempunyai masalah dengan hubungan kita.”

 

“Apa kamu sibuk? Aku mau minta bantuan.”

 

“Hanya sibuk mengerjakan tugas kampus. Ada apa?”

 

“Aku ada tugas membuat puisi. Bisakah kamu kerjakan?”

 

“Apa tidak salah anak komputer mengerjakan tugas anak sastra.”

 

“Anggap saja pengalaman merasakan berat menjadi sastrawan. Jika kamu sibuk, tidak perlu memaksakan.”

 

“Bukannya kamu sering membuat puisi?”

 

“Imajinasiku sedang tidak jalan.”

 

“Tidak percaya, biasanya paling bisa.”

 

“Aku sedang malas berpikir puitis.”

 

“Tumben sekali anak rajin berubah drastis. Seorang pemalas tidak akan naik kelas loh.”

 

“Aku sedang mengerjakan tiga cerpen yang harus dikumpulkan secepatnya. Tolong bantu aku!”

 

“Akan aku usahakan.”

 

“Terimakasih. Jangan copypaste punya orang lain!”

 

“Iya kalau tidak kuat, aku akan lambaikan tangan ke kamera.”

 

“Aku yakin kamu pasti bisa! Pokoknya kamu yang terbaik.”

 

“Ya ampun, aku baru saja mendengar pujian. Apa kamu galau jadi malas mengerjakan tugas?”

 

“Tidak, bagaimana kuliahmu?”

 

“Hari ini libur, aku masih menempel di kasur.”

 

“Sebutan pemalas itu cocoknya buat orang yang masih santai di kasur di siang hari.”

 

“Dasar tidak mau kalah.” Sepeti itulah Dirga yang ku kenal, tidak pernah membuatku bosan.

***

 

Selama 2 bulan ini dia lebih banyak menceritakan seorang yang dia suka di media sosial. Dia tidak berbicara padaku tentang perempuan itu, aku tidak berani menanyakan.

 

“Lemot?”

 

“Iya, kenapa?”

 

“Aku mau meminta solusi, boleh?”

 

“Apa yang ingin kamu tanyakan?”

 

“Membedakan arti kedekatan perempuan sama kita, gimana? misalnya yang suka dan dekat biasa.”

 

“Biasanya kalau perempuan yang suka ketika kamu mendekat, dia akan merespon dengan baik supaya kamu tertarik. Sebaliknya perempuan yang mengganggap teman, akan menghindari kamu menyatakan perasaan.”

 

“Masalahnya kita belum sempat berbicara langsung hanya bertemu selintas. Kalau dihubungi, dia seperti memberi lampu hijau. Aku takut salah sangka, nanti malu sendiri. Aku harus bagaimana?”

 

“Tanpa bertemu, kita tidak tahu kebenaran dari sikap dia. Tidak terlihat ekspresi atau tingkahnya bagaimana. Kenapa malu? bukankah kamu memegang kendali dalam hal penembakan. Coba ajak ketemu, biar langsung pendekatan!”

 

“Orang yang jatuh cinta mendadak bego. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Ingin mengatakan sesuatu tetapi takut salah paham. Aku tahu alamat rumah dia tetapi tidak berani mendatangi.”

 

 “Jika kamu diam, itu salah besar. Kebanyakan perempuan tidak berani mengungkapkan perasaan.”

 

“Aku sedang tidak percaya diri.”

 

“Dir, sikap baik, ramah dan penyayangmu padaku sebagai sahabat telah berhasil membuatku bertahan di sekitarmu. Jika kamu lakukan pada hubungan nanti, aku rasa kalian tidak akan punya masalah yang berat. Asalkan kamu jangan egois lagi!”

 

“Aku ingin lebih baik dalam membina hubungan.”

 

“Jadikan dia niat kamu menjadi lebih baik! Selebihnya Allah pasti mengatur rencanamu. Perlakukan perempuan yang kamu suka melebihi kasih sayangmu padaku. Semua perempuan pasti bahagia.”

 

“Jujur! Apa kamu pernah menyukaiku?”

 

“Iya, siapa perempuan yang tidak senang dapat perlakuan baik dari lawan jenis.”

 

“Kamu memang penuh teka-teki, mengenalmu bukan jaminan mengetahui rahasiamu.”

 

“Gerogi pernah di taksir?”

 

“Tentu saja. Sejak mengenalmu, aku berharap kamu sandaran terakhir. Kenapa tidak katakan suka dari dulu?”

 

“Jika harus ada ikatan, aku ingin lebih dari sekedar pacaran.”

 

“Aku belum sanggup ke tahap yang kamu harapkan.”

 

“Iya, tidak masalah. Itu hanya penjelasan kenapa aku menolakmu.”

 

“Kamu tahu perasaanku. Mungkin rasa ini akan hilang jika aku menyukai oranglain, biasanya seperti itu. Aku akan menjadi orang jahat jika masih menyukaimu dibanding pacarku.”

 

“Iya aku mengerti. Hapuslah perasaanmu padaku!”

 

“Namun rasa kagum padamu tidak akan hilang.”

 

“kagum?”

 

“Iya, sikap seperti kamu jarang ditemui. Kamu itu cuek dan kurang peka. Namun aku merasakan perjuangan yang berkesan meskipun harus berakhir menjadi sahabat.”

 

“Adakah sisi baik dari seorang Tiara?”

 

“Ada, kamu periang, baik, lucu, pokoknya di ajak mengobrol apa saja tidak bosan. Aku jadi tidak berhenti cerita. Maaf jika kamu terganggu!”

 

“Aku tidak terganggu. Ketika kamu cerita banyak hal, rasanya seperti aku orang terdekatmu.”

 

“Aku ingin memiliki pacar yang mampu mendengar keluh kesahku.”

 

“Tidak semua orang jadi pendengar. Jangan paksakan pacarmu mengikuti keinginan! Bukankah lebih baik dia menunjukan diri apa adanya.”

 

“Iya lemot, aku akan mengingat ini! Kamu yang terbaik, meskipun gadis pertama yang mematahkan hati.”

 

“Apa yang kamu lihat tidak sepenuhnya benar, aku juga punya sikap negatif. Siapa tahu perempuan yang kamu taksir jauh lebih baik.”

 

“Aamiin. Sebenarnya aku sering minder karena kamu cuek, tidak pernah mengirim kabar duluan. Padahal aku berharap mendapat kabar.”

 

“Ternyata kamu memang mengidolakanku. Aku akan menganggapmu fans sejati.”

 

“Iya anggap saja begitu, aku ingin kamu bahagia. Hanya saja harapanku untuk memilikimu sepertinya harus berhenti disini. Kenapa kamu ditakdirkan jadi sahabat terbaik? Kenapa kamu menyenangkan? Kenapa kamu mendengar keluh kesah tanpa bosan? Aku jadi tidak bisa menjauh. Kenapa kamu bertahan jadi sahabat tanpa tergoyahkan sedikitpun untuk menjadi milikku? padahal aku selalu memberi kesempatan. Kenapa kita harus terpisahkan? Kenapa kamu tidak tinggal disini saja?”

 

Allah, aku bahagia sampai air mata ini menetes. Aku telah berkata jujur pada seseorang, lega sekali. Timbal baliknya, dia juga berkata jujur. Dia, seseorang yang mengajarkanku banyak hal. Segala sesuatu yang aku punya saat ini adalah titipan dariMU. Aku akan terus menjaga sikap.

***

         

Tiara mendukung Dirga supaya berani mengutarakan perasaan pada perempuan yang disuka.

Tanggal 1 Februari, Tiara membuka jejaring sosial dilaptop, mengklik 42 pemberitahuan. Dia merasa sedih  setelah membaca semua komentar, ucapan prihatin, tidak percaya dan ucapan bahagia. Semua tertuang pada satu pembaharuan, status hubungan. Dirga ternyata sudah mengganti hubungan mereka tanpa memberitahu.

Tiara membaca semua komentar tentang kandasnya hubungan Lemon (Lemot dan Oon). Tanpa tanggapan dari Tiara atau Dirga. Bahkan Dirga tidak menghubunginya.

 

Seperti itulah lelaki. Dia menyatakan suka pada perempuan tetapi dia akan lupa sekejap saat menyukai perempuan lain. Inilah ketakutanku. Kita  masih dalam zona sahabat, Dir. Apa ada yang salah sehingga aku harus dijauhi? Ya, kamu memang punya pacar, kenapa aku dicampakan? Apa aku merusak kebahagianmu? Apa kamu lupa kita saling kenal?

 

Tiara semakin menjaga jarak dari Dirga. Apalagi setelah tahu antara Dirga atau pacarnya telah menghapus pertemanan di aplikasi chat.

 

Aku bukan orang yang akan mencari masalah dengan siapa-siapa, aku menerima perlakuanmu.

 

Tiara keluar dari kamar, tidak ada jadwal kuliah. Dia duduk di depan televisi tanpa tujuan untuk menonton. Tangan mengganti chanel tanpa henti. Teh Giska memperhatikan dari arah dapur, mengerti adiknya tidak ingin diganggu. Tiara menghentikan gerak tangan saat ada panggilan di ponsel.

 

“Lemot apa kabar?”

 

“Baik.”

 

“Si mantan tidak pernah menyapa. Sombong sekali.”

 

“Siapa? mantan siapa? memaksa seseorang untuk menyapa, tidak baik.” Jawabnya ketus.

 

“Tidak apa-apa kalau tidak mau mengaku. Mungkin selama ini hanya aku yang menganggap status kita nyata.”

 

“Oh, aku memilih tidak mau tau.” Mendengar jawaban itu Dirga menarik nafas.

 

“Apa kamu sibuk?”

 

“Aku sibuk mengerjakan tugas kuliah.”

 

“Sesibuk apa, silaturahmi harus tetap jalan.”

 

“Aku tidak punya waktu mengetik pesan dan melakukan panggilan pada seseorang.” jawab Tiara ketus.

 

“Jangan kebanyakan menghindar! mirip sopir bajai.”

 

“Nanti aku menyapa, mau sehari tiga kali.”

 

“Itu minum obat. Aku benar-benar menunggumu menyapa. Apa kamu malu Lemot?”

 

“Kenapa harus malu?”

 

“Wajahmu kelihatan merah merona, pertanda malu apa marah? Jangan mencari alasan!”

 

“Jika sekarang kamu ada dihadapanku. Pilihanku adalah menendangmu sekuat tenaga. Makin banyak alasan, makin pintar orang tersebut menyembunyikan perasaan.”

 

“Apa kamu ada masalah?”

 

“Tidak ada.”

 

“Bohong! apa aku perlu menjitakmu?”

 

“Jitak saja! Maka bibirku akan berkata jujur bahwa aku merindukanmu.”

 

“Apa kamu serius mengatakannya?”

 

“Lupakan! Aku rasa lidahku sedang tidak bersahabat.”

 

“Kenapa? Haruskah aku melepaskan panah asmara dewa amor ke hatimu.”

 

“Aku sudah kebal sama panah, seperti mati rasa.”

 

“Lemot, aku memberanikan diri menghubungimu tetapi semakin kamu mendekat. Aku akan kembali pada perasaan itu, semakin sulit untuk menampiknya. Adakah cara untuk bersikap seperti tidak terjadi apa-apa?”

 

“Dir, secara tidak langsung kamu menyuruhku pergi dari kehidupanmu. Jika itu maumu, aku akan menjauh. Jangan mencari jika kamu merasa kehilangan! Aku tidak ingin dibutuhkan ketika ada masalah saja. Aku tidak terima diperlakukan seperti ini. Akan semakin sakit saat membaca pesan dan menerima panggilanmu. Oleh karena itu, pergilah, jangan kembali!”

 

“Maaf.” Tiara tidak membalas ucapannya, dia segera mematikan sambungan, menangis.

***

 

Entah kenapa aku sulit melupakanmu. Acara pernikahan ini terasa biasa. Aku duduk sendiri. Mengacuhkan orang disekitar, bahkan tidak bertegur sapa dengan orang yang aku kenal. Aku menjauh dari Teh Giska dan kak Juna. Banyak orang datang bersama pasangan, berbeda denganku. Aku ingin Dirga menemani di sini.

 

Melihat acara sakral yang dilakukan seseorang, siapa lagi kalau bukan Noval. Dia mengikat janji pernikahan dengan seorang perempuan, bukan aku.

Ibu Noval memeluk erat, air matanya menetes. Apa aku terlihat menyedihkan? tersenyum adalah usaha terbaik ketika mendapat bagian bersalaman dengan Noval dan istrinya di pelaminan. Mungkin jika aku dan Noval tidak egois. Hari ini aku yang berada di sampingnya tetapi aku yakin bisa bangkit.

 

Saat aku kembali duduk, tanpa sadar sudut mata berair. Tiba-tiba aku merasa masuk ke alam sunyi. Aku pergi meninggalkan gedung tanpa berpamitan. Semua akan lebih baik nantinya.




 

Terima kasih

Ini ceritaku... Dilarang copypaste!

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar