Tidak dapat dipungkiri setiap orang mempunyai bagian indah dan buruk dalam hidup. Itukah yang disebut kenangan.
Ada saat dimana seseorang
menujukan sikap dengan raut wajah bukan perkataan. Itukah yang disebut ekspresi
Itulah kalimat seorang
gadis pada lembar pertama dalam sebuah diary. Tiara lupa kapan terakhir kali
menulis, dia sedang memulai lagi.
***
Kita tidak pernah bisa
hidup sendiri. Kita perlu seseorang karena bersama mereka kita memulai
kehidupan.
Bipp..bipp... Suara itu
terdengar berulang kali. Tiara memaksakan diri meraih ponsel di
atas meja.
“Jam tujuh pagi, oh Tuhan
ini hari minggu. Adakah orang selain dia?” Tiara menekan tanda jawab. Belum
juga menarik napas untuk mengomel, teriakan kencang di telinga berhasil
membungkamnya.
“Bangun Lemot, kamu masih
tidur? Kasihan sekali rezekimu di patuk ayam.”
“Jangan bertele-tele!
langsung saja, ada apa?” namun suara Tiara tidak kalah nyaring.
“Galak sekali. Aku
kelaparan, kak Juna masak apa? aku akan datang ke rumah untuk minta makan.”
“Bawel!” Suara Dirga tidak
mampu menghilangkan kantuk yang memberatkan mata.
“Dasar bocah dibangunkan
bukan bilang terima kasih, malah ketus.”
“Telepon lagi kalau aku
sudah siap bangun, oke!”
“Kapan?”
“Nanti.” Tiara menutup
panggilan, mematikan ponsel. Dia kembali menyandarkan kepala pada bantal,
tertidur.
***
Seharian ini Tiara fokus
pada laptop. Dia duduk santai tetapi siapa yang tahu otaknya sedang bergulat
dengan tugas kuliah. Jemari cantik menggantung di atas tanda enter.
“Sepertinya aku melupakan
sesuatu. Aku sudah mandi, makan lalu kembali ke kamar dan persediaan cemilan
masih banyak.”
Bibir berceloteh, mata
berhenti menyusuri setiap kata dalam dokumen. Dia sangat teliti, satu kata
salah saja rambut akan berantakan.
Tiara menepuk kening. “Oh
Tuhan, dimana ponselku?”
Setelah berhasil membuat
kamar berantakan seperti kapal pecah. Dia menemukan ponsel di bawah tempat
tidur.
Ketika diaktifkan ada empat
pesan memenuhi layar dari Dirga.
Pesan ke 1: Aku sedikit
terlambat karena ada perlu dengan Lista.
Pesan ke 2: Lemot, aku
telah mengambil keputusan yang menurutku terbaik. Bisakah kita bicara?
Angkat teleponnya!
Pesan ke 3: Aku jadi tambah
lapar. Ra, kenapa tidak aktif ?
Pesan ke 4: Lemot, kamu
tidak merespon. Mau bersikap menjengkelkan seperti ini? membuatku kesal tingkat
negara.
Tiara menunjukan ekspresi
datar. Dia terbiasa menghadapi kemarahan Dirga.
Pesan balasan dari Tiara:
Kalau sudah membaik, nanti sore aku tunggu di rumah.
Berprilakulah seperti biasa
sesudah kamu marah! Jangan mengungkit alasan kemarahan! Pelajari kesalahan kamu
sebelumnya, tidak perlu menyalahkan oranglain! Bercerminlah! lakukan yang
terbaik jika kamu sudah tahu dimana letak kesalahan!
“Ara, Dirga menunggu di
bawah.” Juna memanggil dari luar kamar Tiara sebelum dia kembali ke kamarnya
sendiri.
“Iya kak, aku akan segera
menemuinya.” Tiara menuruni tangga dengan anggun, mencari sosok Dirga. Dia
menemukan Dirga duduk santai di ruang makan.
“Enak, datang kesini
langsung makan?” Tiara melotot saat tahu jatah makanannya telah habis.
“Hatiku sedang hampa, Ra.
Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi pada perutku.” dia mengelus bagian
perut pertanda kenyang.
“Baiklah, aku sering
mendengar ini dari tuan Dirga. Aku mengomelpun makanan itu tidak akan kembali
di atas meja.”
Dirga tertawa puas, melihat
ekspresi sedih Tiara menatap piring yang sudah kosong.
“Lista bilang aku sulit
dimengerti, komunikasi antara kita sudah tidak sejalan. Apa aku berubah? Aku
tetap Dirga yang apa adanya, ganteng, baik dan ada banyak hal yang wanita
suka.”
“Terlalu percaya diri.
Mungkin kamu telah melakukan kesalahan.” Tiara menanggapi dengan wajah ketus.
“Ra, lelaki protektif
karena sayang, mengantisipasi ceweknya membuat kesalahan. Cewek
beranggapan dikekang. Aku cuek merasa tidak disayang, serba salah.”
“Tingkah laku yang kita
anggap baik kadang tidak sesuai keinginan pasangan. Apa kamu tidak sayang Lista
sehingga bersikap sepasrah ini?” mengamati wajah Dirga yang terlihat santai
setelah putus.
“Tidak mungkin orang
menjalani hubungan tanpa rasa sayang. Ra, aku dan Lista memilih untuk berteman.
Meskipun kenyataannya pertemanan setelah putus itu tidak mungkin terjadi.”
“Apa ini ada hubungannya
dengan kabar kedekatan Lista dengan oranglain?”
“Aku tahu kabar itu sudah
lama, tidak pernah mengungkitnya.”
“Kenapa tidak berusaha
bertahan?”
“Tidak perlu memaksa hati
bila kita sendiri atau oranglain merasa tidak nyaman. Jika bukan jodoh
sekuat apapun usahaku, kita tidak akan bersatu. Jika sudah waktunya, terjadilah
kuasa Tuhan yang tidak terduga. Tinggal doa dan usahanya saja yang diperkuat.”
Dirga bukan hanya
mengutarakan masalah tetapi di balik itu ada pelajaran yang bisa Tiara pahami.
“Apa di depanku, kamu
berpura-pura tegar?”
“Ra, aku memang lelaki
tegar.”
“Aku tidak yakin. Apa
sedikitpun kamu tidak menyesal memutuskan Lista?”
“Menyesal hanya akan
menyiksa diri sendiri. Bayangkan saja jika aku meratapi perpisahan ini
sedangkan dia bahagia, sudah jelas aku yang rugi. Jadi apapun keputusan yang
sudah aku ambil, aku akan bersikap lapang dada tanpa benci yang bisa saja
merusak hatiku. Aku sudah ikhlas seperti melepas beban yang menghantui seminggu
ini. Lagipula aku tidak siap hubungan jarak jauh.”
“Memang sulit jika belum
pernah menjalani hubungan jarak jauh.”
“Itu kamu paham. Apa kak
Juna kembali ke kamar?”
“Iya, dia sibuk dengan
pekerjaan kantor.”
“Aku akan meminta izin
untuk menginap di malam terakhirku.”
“Jangan berbicara seperti
itu! Apa kamu pulang ke kampung halaman untuk melupakanku?”
”Tentu saja tidak. Mana
mungkin aku melupakan gadis bawel.” Dirga berlalu dengan senyuman, meninggalkan
Tiara terpaku di depan meja makan.
***
Lelah memaksakan hati
bersama orang yang tidak tau kenyamanan. Berjalan ke arahnya seperti menempuh
jalan gelap dan seram. Menatap matanya seperti menghadapi serigala yang siap
menerkam. Setiap perkataan seperti petir menyambar telinga, nada bicara yang
menghakimi, memojokan dan memaki. Tidak ada yang berarti. Apa ini yang
dinamakan sayang? Aku ingin menjauh, akankah Allah izinkan?
Tiara memandang langit
hitam, ruang yang membawa pikiran ke alam mimpi. Atap adalah tempat nyaman
kedua setelah kamar. Lagu coldplay mengalun merdu, dilayar ponsel tertera nama
Noval.
Noval Ardiaga. Nama
berwibawa tetapi tidak cocok jika disesuaikan dengan kepribadian Noval. Lelaki
keras kepala, pemarah, pencemburu dan pemilik hati yang sensitif.
“Tiara, apa yang kamu
lakukan? Turunlah!” Tiara mendapati seseorang menunggu di halaman rumah.
“Baiklah, tunggu!” dengan
penuh semangat dia mempercepat langkah kakinya. Belum sempat Tiara tersenyum menyambut
kedatangan kekasihnya. Dia sudah terlebih dulu disuguhi wajah masam.
“Bagaimana responmu Dirga
memutuskan Lista?” Noval langsung saja mengajukan pertanyaan.
“Darimana kamu tau?”
“Jangan mengalihkan
pembicaraan! Apa alasan mereka putus?” wajahnya penuh selidik.
“Mereka berpisah karena
tidak siap menjalani hubungan jarak jauh. Besok Dirga akan kembali ke kampung
halaman.” Tiara masih santai menanggapi Noval.
“Akan lebih baik, dia pergi
tanpa kembali.” jawabnya dengan ekspresi yang datar, lebih tepatnya kesal.
Sehingga memancing amarah Tiara.
“Apa kebencian tanpa
alasanmu belum menghilang? Padahal dia bersikap baik padamu. Bisakah kamu
memperlakukan orang sebagaimana dia memperlakukanmu! Jangan seegois ini!”
“Kamu membelanya? Aku tahu,
kamu pasti senang mereka putus. Kenyataannya kamu berharap Dirga suka padamu.
Bertekuk lututlah dan memohon!” nadanya mulai meninggi.
“Aku bosan mendengar
tuduhan ini. Bisakah kamu menghargai perasaanku?” Tiara tau bagaimana
menghadapi Noval. Noval tidak suka disalahkan, namun Tiara perlu membela diri.
“Kamu tidak suka?”
ledeknya.
“Iya, kamu selalu mencari
kesalahanku lalu membahasnya berulang kali. Padahal apa yang kamu lihat selama
ini adalah jawaban dari keraguanmu. Apa yang membuatmu tidak percaya kami
berteman?”
“Berteman? Apa itu yang
orang pikirkan setelah melihat kebersamaan kalian? Tidak, orang berpikir kalian
menjalin hubungan. Teman itu bersikap sewajarnya bukan selalu terlihat bersama
dibanding dengan kekasihnya.” Noval masih saja memojokkan Tiara.
“Apa ketakutanmu selama ini
jadi kenyataan? Tidak kan. Kamu mendengar kabar dari luar dan menyiksa diri
dengan pikiran buruk tentang kekasihmu sehingga apa yang aku lakukan tetaplah
salah.”
“Bagus sekali omonganmu.
Ini yang diajarkan Dirga? Membangkang. Aku tidak setuju pacarku dekat dengan
lelaki yang pernah dia suka atau masih disuka. Jangan-jangan kamu sedang
berusaha mendapatkan hati Dirga.” Noval menajamkan mata.
“Silahkan berpikiran
seperti itu jika kamu sudah tidak percaya lagi padaku. Itu hak mu!” Jika Tiara
balas dengan umpatan kemungkinan dia yang akan menangis.
“Aku tidak akan seperti ini
kalau kamu menuruti perkataanku untuk tidak dekat dengan teman lelaki.”
“Dirga temanku sejak
pertama kali dia tinggal di kontrakan samping rumah. Tidak ada alasan untuk
memutuskan tali silaturahmi.”
“Munafik, ini bukan peringatan
pertama atau kedua kali. Dulu sebelum dia hadir, hubungan kita baik-baik saja.
Kita mau serius tetapi sikap kamu meragukan. Kamu dekat dengan Dirga,
menunjukan kamu berengsek. Pikir pake otak! memang lelaki mana yang tidak sakit
hati.” suaranya mulai bergetar.
“Pernahkah aku curiga
padamu? Sekalipun tidak. Aku selalu mengabarkan semua kegiatanku. Begitupun
tentang Dirga, aku tertarik sikapnya yang baik, tidak lebih. Aku tidak
merahasiakan apa-apa.”
“Apa ucapanmu bisa
dipercaya? Aku rasa tidak.”
“Kamu menutup kepercayaan
itu. Aku membebaskanmu berteman dengan siapa saja. Pernahkah aku marah saat
kamu pergi keluar berdua dengan perempuan? tidak karena aku membuang rasa
curiga.”
“Aku benar-benar pergi
dengan teman. Kamu? Apa pantas kalian disebut teman, munafik.” Noval menahan
diri untuk mengumpat.
“Caramu menilai seseorang,
tidak pantas. Dirga dirumah memang bisa seharian tetapi lebih sering mengobrol
dengan kak Juna.”
“Alasan. Jangan berbicara
seolah-olah kamu yang paling benar dan mengajariku! Lelaki itu ingin mencari
perhatian. Jangan jadi tolol! Bukannya kamu senang dia sering kerumah.” Noval
memperlihatkan senyum sinisnya.
Air di ujung matanya
mengering. Perkataan lembut atau permohonan maaf tidak berarti. Diam lebih
menjelaskan ketidaksukaan. Tiara melangkah pergi, menjauhi Noval yang
mengomel.
“Aku belum selesai. Apa
kamu tidak dengar?”
“Bisakah kamu berbicara
lembut pada perempuan?” matanya mendelik.
“Kamu pikir aku marah tanpa
alasan. Menghindar saja terus!”
Noval melajukan motor
dengan cepat. Malam yang dingin berhasil membekukan hati Tiara.
***
Tidak bisakah pahami aku?
Aku sangat menghormatimu. Aku yang bersamamu adalah perempuan yang tidak
pernah menyembunyikan apapun. Aku tidak mau menjadi oranglain untuk terlihat baik.
Namun kepercayaanmu padaku telah sirna sehingga aku menjadi yang terburuk dalam
segala hal.
Kamu selalu membanggakan
kekasih oranglain. Apa aku tidak berarti apa-apa? Apa yang harus aku lakukan
untuk membuatmu bahagia? Setiap ucapan dan kelakuanku selalu salah. Apa yang
terjadi? Apakah aku pantas untuk dimaki?
Cahaya redup menyembunyikan
seorang gadis. Dia melindungi telinga dengan earphone. Pilihan paling efektif
yaitu mendengarkan lagu rock dan menyanyikan lagu tersebut dengan suara keras.
Namun suara yang menggelegar telah mengusik kenyamanan oranglain.
Panggilan masuk di ponsel
berhasil menyadarkan.
“Kenapa telepon? Memang
Kakak dimana? Aku belum mengunci pagar.”
“Heh bocah, sejak tadi
Abangmu ini ada dirumah. Nyanyianmu sangat mengganggu. Suara kodok di dekat
kolam ikan jauh lebih bagus. Berhenti pamer suara, ini sudah malam. Oke!”
“Iya, maaf.” Dia mematikan
sambungan. Juna terkejut dengan tanggapan santai adiknya.
“Tumben bocah ini tidak
bawel.”
Biasanya Tiara membalas
omelan kak Juna tetapi saat ini perasaannya terluka. Dia menatap kalender kecil
di atas meja.
“Tanggal yang buruk di
tahun ini, bulan april.” Tiara menutupi tanggal dengan tulisan berduka.
Aku pernah merasa terpuruk
di bulan april tahun lalu. Orangtuaku terkena demam berdarah. Mereka dirawat
selama dua minggu di rumah sakit. Aku benar-benar takut kehilangan. Tahun ini,
di bulan yang sama. Aku merasakan kesedihan lagi tetapi tidak ada alasan untuk
terpuruk. Aku yakin ini bukan masalah yang sulit.
Dia sengaja memberikan
tanda disetiap tanggal sebagai pengingat. Baru saja menghela nafas, seseorang
mengetuk pintu.
“Ra, boleh aku masuk?”
“Masuk saja!”
Tiara duduk di bawah
ranjang. Dirga menggigil, kemurungan Tiara membuat suasana kamar menjadi seram.
“Hey.” Tidak ada jawaban,
Dirga duduk dihadapannya. Memandangi wajah gadis itu.
“Apa yang terjadi?”
selidiknya.
“Tidak apa-apa.” Tiara
semakin menenggelamkan wajahnya pada rambut panjang yang tergerai.
“Harusnya seorang gadis
bahagia kedatangan kekasih. Apa kalian bertengkar?”
“Bisakah aku melupakan ini
secepat mengedipkan mata.”
“Ada masalah apa?”
“Aku sudah biasa mendengar
dia menghakimi. Sedikit kesalahan saja, aku akan mendapat kritik dahsyat.”
“Kenapa dia seperti itu?”
“Dia memancing perdebatan.
Bisakah aku diperlakukan baik? Umur tidak menjamin seseorang dewasa.” Tiara
menatap Dirga dengan tangisan yang pecah, mengetuk iba Dirga.
“Tidak akan ada acara yang
sudah kami rencanakan. Kenapa mudah sekali seseorang mengucapkan janji, tapi
tidak untuk di tepati.”
“Serius?”
“Tadi aku mendapat telepon
dari Bunda yang menyampaikan pesan dari Noval. Beliau tidak menyangka ini akan
terjadi tetapi aku setuju dengan keputusan Noval.”
“Apa kak Juna tahu?
Bagaimana reaksi orangtuamu?”
“Kak Juna belum tahu,
justru yang tahu pertama kali adalah orangtuaku. Bunda terlebih dulu
membicarakan masalah ini pada mereka. Mereka sempat khawatir dengan keadaanku
tetapi aku pastikan ini jalan keluar terbaik. Orangtuaku mengerti.”
“Kamu selalu ceria, sulit
untukku menebak orang sepertimu terbebani atau tidak.”
“Aku dan Noval nantinya
akan punya kehidupan masing-masing. Bertemu dengannya seperti orang asing yang
tidak pernah jumpa.” Tiara tersenyum kecut.
“Perpisahan bukan halangan
untuk saling bertegursapa. Kita tidak tau rencana Allah untuk hidup kita. Ada
kemungkinan Allah menjauhkanmu dari dia karena tidak mau kamu semakin terluka
atau bisa saja dia masih jodohmu yang perlu memantaskan diri.” Dirga menyemangati
Tiara.
“Aku tidak tau. Dir, saat
ini aku hanya ingin melupakan. Kemudian memulai lagi, tentunya jadi lebih baik.
Terima kasih sudah mau mendengar ceritaku.”
“Sama-sama lemot.” Dirga
mengacak-acak rambut Tiara, keduanya tertawa lega.
***
Menjalani kehidupan ini,
kita belajar untuk tegar, ikhlas, lapang dada dan semangat. Dengan menyebut
namaMu dalam setiap helaan napas, kebahagian dan kesedihan yang aku rasakan
adalah anugerah. Engkau tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan.
Ketika cobaan itu datang
bertubi-tubi. Sebagai manusia, Bolehkah menangis? Bolehkah berteriak? Bolehkah
mengeluh dan meratap? Ketika orang di sekitar seakan buta dan tuli. Apakah
mereka ingin aku meminta belas kasih? Aku tidak akan memohon. Aku memilikimu
Allah. Di sini, dimanapun aku berada. Engkau akan senantiasa membantuku.
Empat bulan tanpa kabar
setelah Dirga pindahan. Dia kembali ke daerah asal, berkumpul bersama keluarga
dan melanjutkan kuliah setelah menunda karena fokus bekerja. Tiara tidak tahu
nomer kontak Dirga yang baru, begitupun kak Juna.
Tiara berbaring di atap,
membuka jejaring social yang sudah lama tidak dibuka. Dia mengonfirmasi orang
yang meminta pertemanan. Tidak lama ada chat masuk.
“Boleh minta nomer kamu?”
“Untuk apa? Aku jarang
membalas pesan, apalagi kalau lagi moody.”
“Sebagai tanda pertemanan.
Aku bisa mengatasi orang yang sering moody. ”
Tiara tidak pernah
memberitahu nomernya pada sembarang orang.
“Tidak mau.”
“Ayolah, jika kamu merasa
terganggu, block saja nomerku. Bagaimana?”
“Gimana kalau kita
tebak-tebakan?”
“Boleh, apa tebakkannya?”
“Sejak bulan apa aku
memulai posting di blog? (itu nomer awal). Tanggal berapa Kakakku (Trian
Arbijuna) pertama kali memposting video ke youtobe? tanggal berapa Coldplay
konser pertama kali di Indonesia? Aku mempunyai berapa saudara? Berapa
nomer rumahku? Berapa dua angka terakhir dari perkalian 2011x19? Jawabannya!”
“Beri aku waktu untuk
menjawab!”
“Baiklah.”
Tiara yakin orang itu tidak
akan berhasil karena dia sengaja memberikan pertanyaan pribadi.
“Nomermu
-------------------. Benarkan?”
“Iya.” Tiara masih ragu.
“Terimakasih Lemot.”
“Dirga?”
”Maaf, baru mengabari.
Ponselku menghilang saat perjalanan pulang. Setelah itu aktifitasku padat, aku
harap kamu mengerti.”
“Terimakasih sudah memberi
kabar.”
“Iya, kak Juna apa kabar?”
“Baik. Seminggu lagi dia
akan menikah dengan Teh Giska.”
“Nanti sekalian kirim nomer
kak Juna! Apa kamu tetap tinggal disana?”
“Iya, aku akan pulang ke
rumah orangtua kalau sudah selesai kuliah.”
“Jangan dulu pindah kota
sebelum aku berkunjung lagi!”
Dirga tidak datang ke rumah
Tiara seperti biasa tetapi tidak ada alasan untuk tidak memberi kabar. Setiap
hari Dirga menyempatkan untuk mengirim chat karena dia tau Tiara bukan orang
yang akan mengirim chat duluan.
“Apa karena tidak ada aku
disana kamu selalu bersedih?”
“Percaya diri sekali. Kamu
sering stalking ya?”
“Bagaimana tidak
diperhatikan jika jejaring sosial sudah penuh dengan statusmu.”
“Apa kamu punya obat yang
manjur untuk menghilangkan rasa galau?”
“Ada, minum baygon! Gratis
tuh.”
“Hanya orang gila yang
meminum cairan itu. Aku bisa melaporkanmu pada polisi atas tindakan KdP.”
“Apa maksud KdP?”
“Kekerasan dalam
Pertemanan.”
“Apa ucapanku melukai? ini
tidak bisa dibilang kekerasan.”
“Jelas saja. Bagaimana jka
aku melakukan apa yang kamu katakan?”
“Aku yakin kamu masih
percaya hukum Tuhan.”
“Semakin jauh dariku, kamu
semakin pintar.”
“Aku bukan kamu, si lemot.”
“Aku pintar bukan si oon,
tukang tanya ini itu. Ternyata sikap menjengkelkanmu belum menghilang.”
“Aku tahu kamu marah. Jika
sudah tenang, hubungi aku lagi!”
”Baiklah.” Tiara pergi
meninggalkan perpustakaan kampus. Dia tidak marah, namun waktunya membalas chat
dari Dirga telah habis. Dia harus segera ke kelas.
***
Aku selalu mendengar keluh
kesah setiap orang. Tanpa mengenal waktu, tanpa jeda. Aku cukup tersenyum dan
memberi saran. Kamu pikir itu mudah dilakukan saat suasana hati buruk? Apa kamu
bisa melakukannya?
Lihatlah aku! Yang kamu
tahu aku cukup tegar, memberikan kamu solusi seakan aku bijaksana dalam
menghadapi masalah. Nyatanya, aku diam ketika raga terperosok ke dasar sumur.
Untuk keluar dari dasar harus bertumpu pada diri sendiri. Percuma berteriak
meminta tolong pada oranglain karena mereka tidak akan peduli. Hanya sebagian
orang jadi pendengar yang baik, kebanyakan mereka adalah pembicara yang hebat.
Ingin di dengar tetapi sulit mendengar.
“Kemana saja Lemot? Aku
mengirim chat daritadi tetapi baru kamu balas.”
“Aku malas membalas chat.
Telepon saja!” Dirga menuruti permintaan Tiara.
“Halo Ara?"
“Kamu kenapa?”
“Apa kamu lihat statusku?
Sekarang hubungan aku di gantung.”
“Beberapa hari kamu
mengomel lewat status. Kenapa kamu tidak percaya diri?”
“Aku pecaya diri juga, dia
tidak peduli. Menurut kamu bagaimana?”
“Kamu salah, sudah tau
perempuan sensitif, statusnya bukan mengajak baikkan malah mengundang
pertengkaran.”
“Usaha aku membujuk dia
sampai mulut berbusa sama sekali tidak berarti.”
“Itu mulut kenapa tidak
dijadikan mesin cuci sekalian?” Dirga tertawa.
“Ini serius, tidak ada yang
perlu ditertawakan!”
“Iya maaf, terus aku harus
bagaimana?”
“Jangan menunjukan emosi
kamu ke dia apalagi didepan publik! Tunjukan betapa pengertiannya kamu!”
“Ceritanya, kita cinta lama
bersemi kembali. Jadi aku tahu gimana sikap dia. Dia saja bilang: Aku
tidak tahu kenapa bersikap cuek membuat aku santai. Dia santai aku
terlupakan.”
“Miris sekali nasibmu,
nak.”
“Begitulah mama, anakmu
butuh pembelaan karena ditelantarkan pacar.”
“Apa kamu yakin
ditelantarkan?”
“Kemarin dia upload foto
suap-suapan dengan lelaki. Pacar mana yang tidak murka. Coba bayangkan kamu
jadi korban?”
“Kenapa harus berada di
bagian tersedih? Aku akan menerima tawaran scene yang senang saja.”
“Semua orang juga mau
seperti itu. Ara, kita longdistance tetapi dia tidak jaga sikap. Kedepannya
mana bisa aku percaya dia.”
“Aku pikir kamu anti
longdistance.”
“Kita longdistance karena
dia kuliah diluar daerah yang bisa ditempuh dalam waktu 2 jam. Sebenarnya kita
tinggal di satu komplek, bukan beda kota.”
“Oh, jadi apa kendala
semenjak longdistance?”
“Dia selalu ada
alasan jika bertemu. Bilangnya: maaf aku tidak bisa lama-lama karena
setelah ini ada jam kuliah; aku sedang kumpul dengan teman, nanti aku hubungi
kamu; kita ketemu lain waktu saja, aku cape. Ya aku tahu dia sibuk
tetapi menyempatkan sebentar, apa sesulit itu?”
“Memilih bertahan dengan
sikap dia itu keputusanmu. Ini pelajaran supaya kamu lebih memahami dia. Tidak
ada yang sempurna, manusia tidak luput dari salah. Tidak ada manusia yang
memiliki sikap sesuai yang kita mau.”
“Ini yang kedua kali. Sudah
lama kita berpisah, aku sengaja mendatangi rumahnya untuk silaturahmi. Hingga
aku menunggu kesempatan. Dia janji akan menjaga sikap. Namun kini kesalahannya
terulang.”
“Kamu sudah bicara
langsung, membahas masalah kalian?”
“Sudah. Ketika aku bahas,
dia menjadi keras kepala kalau salah tidak mau disalahkan.”
“Longdistance atau
tidak bukan jaminan hubungan akan baik. Kalian harus saling percaya, menjaga
komunikasi, kondisikan hubungan dalam zona nyaman bukan mendahulukan ego
masing-masing.”
“Iya nyaman persis hidup
kamu saat ini.”
“Apapun yang terjadi anggap
saja ujian. Mampu atau tidak melewatinya, hasilnya akan berpengaruh pada
kehidupan sendiri bahkan melibatkan oranglain. Mau mundur atau hadapi?”
“Aku memilih untuk
menghadapi ujian ini, Ra. Apa yang harus aku lakukan untuk merebut hatinya?”
“Luluhkan sikap keras bukan
dengan cara keras! Jangan biarkan sikap buruk kamu yang dulu terjadi lagi!
Buatlah dia merasa kamu tidak posesif!”
“Aku membebaskan,
asal jangan kelewat batas! Sudah jelas dia tidak tahu aturan, masa upload foto
seperti itu. Aku mau percaya bagaimana.”
“Apa yang kamu mau dari
hubungan kalian? Katakan padanya!”
“Aku ingin ada komitmen dan
tanggungjawab. Apa salahnya, kita sudah dewasa. Serius sedikit tidak salah
kan?”
“Sudah benar. Dir, jika
masalah ini membuatmu menyerah, maka masalah-masalah selanjutnya juga tidak
bisa teratasi. Untuk kebaikan hubungan kalian aku sarankan kalian untuk
bertemu, membicarakan masalah kalian dengan kepala dingin. Ingat publik tidak
perlu tau masalah yang kalian hadapi! Cukup kalian bicarakan berdua saja!
Jangan lari dari masalah!”
“Iya lemot. Terimakasih.”
“Sama-sama.”
“Kamu tidak kuliah?”
“Ini juga mau berangkat
kuliah.”
“Belajar yang rajin!
Dikelas jangan Lemot!”
“Akan aku usahakan supaya
fokus.”
***
Sebulan berlalu, Tiara
mempunyai teman baru di rumah. Waktu luang Teh Giska selalu membuat kue.
Terkadang mereka mendapat pesanan dari tetangga, dua tangan tidaklah
cukup.
Tiara mengucek mata,
menatap ke luar jendela, tirai sengaja dibuka sejak malam.
“Alhamdulillah, sejuk
sekali. Pagi langit, pagi dingin, pagi hujan, pagi seseorang yang akan menjadi
pendampingku. Semoga Allah memudahkan jalan kita hari ini.”
Tiara menurunkan kedua kaki
ke bawah ranjang. Ketika dia akan berdiri, tiba-tiba ponsel didekat bantal
berdering. Dia membaca beberapa pesan yang dikirim dari nama yang sama, Dirga.
Tidak lama ada pesan baru.
“Pasti belum mandi.”
“Iya, baru beranjak dari
kasur, lihat layar ponsel, gila pesan banyak banget kalau tidak segera dibalas
takut di bilang artis sombong.”
“Haduh, pantesan ada aroma
tidak enak. Kalimat selanjutnya tidak terbaca, sebagian teks rusak. ”
“Ya lupakan saja."
“Tumben pagi ini tidak
update status?”
“Lagi bokek. Mama belum
teransfer, Kak Juna juga irit. Jadi akhir-akhir ini aku harus menggunakan uang
seperlunya.”
“Belajar menabung! Jika ada
keperluan mendadak, kamu tidak perlu minta.”
“Iya, aku akan membuat
daftar keperluan supaya dompet tidak cepat kosong .”
“Aku sangat mendukung. Ra,
cepat mandi! Nanti aroma wangi gadis lemot bakal terhirup sampai sini. Aku
tambah kangen.”
"Aku mandi juga bukan
karena menuruti permintaanmu."
"Iya aku tau. Apa
acaramu hari ini?"
Tiara menuruni tangga
menuju dapur, membantu Teh Giska merapihkan kue kedalam dus. Belum juga Tiara
mengetik pesan balasan, Dirga menelepon.
“Lemot” nadanya merajuk
seperti anak kecil ditinggal pergi ibunya.
“Kunaon?” Tiara membalasnya
dengan nada tinggi yang bisa memekikan telinga.
“Yeh.. Satu tahun bales
smsna.”
“Aku lagi sibuk membantu
Teh Giska. Baru juga ditinggal beberapa menit. Jangan takut kehilangan gitu
dong!”
“Lah teuing dasar Lemot
bikin emosi. Aku daritadi tuh mau tanya.”
“Iya, ada apa?”
“Kalau mau mention di
twitter gimana?”
“Cari tulisan refly!”
“Gimana tambah followers?”
“Follow aku @TDianti_ atau
@Dianti_08 , ambil di followed atau kamu search sendiri mau siapa yang di
follow.”
“Menulis status
tetapi muncul di facebook gimana? Jangan bosen aku tanya-tanya!”
“Ribet, dieukeun geura
alamat jeung pasword twitterna! Biasanya juga bertanya 24 jam.”
“Ulah teuing engke nu aya
twitter anyar urang rajit. Kata siapa? Aku bisa pake ilmu sok tahu kalau dalam
keadaan mendesak.”
“Iya kamu memang paling
ahli.”
“Lalu bagimana caranya?”
“Cara apa?”
“Perlu dijitak biar tidak
lemot? Gimana cara terhubung ke facebook? Sama Gimana cara memasang background,
pakai gambar sendiri?”
“Kalau background ke
setting, design, terus dibagian bawah change background image, cari gambar yang
akan digunakan, sudah selesai tinggal save change.”
“Aku coba dulu.”
“Sudah di coba?”
“Iya, cuma terhubung ke
facebook disconect. Coba Lemot lihat berubah tidak?”
“Apanya yang berubah? Kalau
mengajukan pertanyaan jangan borongan! aku jadi bingung.”
“Si Lemot! Tugasmu sudah
selesai, terima kasih mentorku.”
“Oke.”
***
Tiara sibuk dengan tugas
dari kampus. Dia tidak ada waktu untuk bermalas-malasan. Setelah
menyelesaikan tugas, dia segera menyapu halaman karena nanti sore ada acara
arisan keluarga Teh Giska. Jika dia tidak melakukan apa-apa, kak Juna akan
mengomel.
Tiara bersandar pada pohon
di samping kolam ikan. Tanpa sadar matanya terpejam, keheningan pelan-pelan
mengajak terlelap. Panggilan di ponsel berhasil membuyarkan kantuk.
“Kemana saja lemot?”
“Ada oon, kenapa?”
“Cewek aku belum ada kabar.
Tadi waktu di kampus tidak bilang kalau keserempet. Aku malah mendengar ini
dari oranglain.” Dirga kesal.
“Tidak memberi kabar bukan
berarti melupakan. Mungkin ada alasan kenapa dia tidak cerita.”
“Alasan apa?”
“Dia tidak mau kamu
khawatir, baik sekali bukan?”
“Baik? Harusnya dia bilang
kalau ada masalah. Apa fungsi aku sebagai pacar cuma status saja?”
Tiara tidak bermaksud
menggurui tetapi dia ingat sering mendapat prasangka buruk dari Noval. Setiap
perempuan tidak ingin diperlakukan seperti itu. Mereka butuh privasi dan
dipercaya.
“Dia punya alasan. Apalagi
pacarnya adalah lelaki cerewet. Belum selesai masalah ini, malah datang masalah
lain. Meskipun kamu mendengar berita dari orang lain, ada yang salah? Yang
penting sekarang kamu beri dia perhatian.” Tiara menggerutu kesal.
“Baiklah. Aku akan minta
maaf karena khawatir berlebihan sehingga membuatnya tidak nyaman. Apa yang akan
kamu lakukan setelah aku menutup telepon?”
“Aku akan mandi untuk
menghadiri acara penting.”
“Ada janji sama pacar?
Kapan kamu cerita tentang pacar baru?”
“Siapa yang pacaran?
Penggosip. Hari ini ada acara arisan keluarga Teh Giska bukan kencan.”
“Aku dengar Noval sudah
punya pacar.”
“Iya aku tau, lalu
bagaimana?” suara Tiara mengecil.
“Kapan kamu akan melangkah?
Aku tau kamu itu tipikal yang setia tapi masa iya masih setia pada dia
yang bukan milikmu lagi. Aku ingatkan lagi, carilah lelaki yang baik,
menjagamu, memahamimu dan menerimamu. Jangan terpaku pada seseorang yang tidak
memberikan kepastian! Perempuan tidak hanya menunggu tapi juga harus
mencari. Carilah lelaki yang serius!”
“Dir, saat ini aku sendiri
karena belum ada yang cocok.”
“Cocok dalam hal apa?”
“Punya tujuan yang sama
untuk serius bukan tentang pacar.”
“Aku sangat mendukungmu!
Jika kamu menemukannya, kenalkan padaku. Biar aku bisikan padanya kalau kamu
adalah perempuan baik.”
“Tidak perlu dibisikan, dia
akan tau bagaimana sikapku dengan sendirinya karena belum tentu oranglain
menilai sama.”
“Iya Ra, aku memang tidak
tau kamu sepenuhnya. Tetapi aku salah satu orang yang merasakan kebaikanmu.”
“Alhamdulillah, ada apa
nih?”
“Aku hanya ingin memujimu
saja, yang selalu bersikap tegar.”
“Sudahlah Dir, aku harus
segera mandi.”
“Baiklah gadis lemot.”
Panggilan terputus, Tiara
beranjak masuk untuk bersiap-siap.
***
Cara Allah menyampaikan
rasa sayangnya memang sangat luar biasa. Aku tidak mengharuskan dia berada di
sampingku. Dengan melihat dia tersenyum dan tertawa, aku merasa sudah membahagiakan
seseorang.
“Gama, apa yang kamu
lakukan? kita sudah melewati jalan ini.”
“Benarkah?” Gama
benar-benar tidak merasa kalau sudah melewati jalan ini sebelumnya.
“Apa kamu mengantuk?” aku
sangat khawatir.
“Tidak, aku masih terjaga.
Apa ada tempat yang ingin kamu kunjungi?”
“Aku jarang keluar rumah,
tidak tau jalan apalagi tempat nongkrong.” aku hanya bisa tertawa kaku.
Jangan tanya padaku tentang tempat karena aku tifikal orang yang senang
menghabiskan waktu dirumah.
“Kita seperti orang yang
tersesat di kota sendiri. Mungkin kamu pikir tingkahku sangat aneh.” Tanyanya.
Dia menghentikan motor di pinggir jalan.
“Aku pikir kamu
mengajak jalan karena sudah menentukan tempat.”
“Ra, aku terlalu terburu-buru
mengajakmu pergi saat tau hari ini kamu ada waktu luang.”
“Santai saja! Aku malah
mengkhawatirkan keadaanmu. Kamu butuh istirahat karena baru saja pulang kerja.”
“Tidak masalah, aku
baik-baik saja. Aku hanya tidak tahu kemana tujuan kita.”
“Kita tidak perlu mencari
tempat yang jauh. Berada disini saja aku sudah senang, apalagi melihat
pemandangan kota di malam hari. Yang penting kita punya waktu untuk mengobrol.”
”Ini pertama kali kita
jalan bersama. Aku sangat gugup sampai lupa harus berhenti. Aku ingin terus
memutari jalan yang sama, tidak bosan asalkan bersamamu.” Gama tersenyum
membuat jantungku berdegup kencang.
“Jangan berbicara seperti
itu nanti ada yang salah dengan tingkahku!”
Gama tertawa. “Ra, aku
senang meskipun tanpa persiapan. Setidaknya aku bisa mengatakan apa yang ingin
aku sampaikan secara langsung.” Aku tidak mampu berbicara.
“Jangan melamun! kita
istirahat sebentar disini tidak masalah kan?”
“Iya tidak apa-apa.” Aku
mengikuti Gama duduk di tepi jalan tidak jauh dari Masjid Agung, dekat taman
kota.
Setelah mengobrol beberapa
menit, Gama meninggalkanku sendiri. Setelah itu, dia datang membawa es krim.
“Gam, kamu lucu sekali saat
makan es krim.” wajahnya memerah, aku jadi serba salah.
“Kamu pasti mendengar kabar
di kampus kalau aku ini playboy Ra. Bagaimana pendapat kamu ketika
mendengarnya?”
“Aku tidak pernah
berkomentar. Bukan tutup telinga atau membelamu, tetapi aku tidak suka
orang menilai tanpa berkaca pada dirinya sendiri.” sekilas aku melihat Gama
tersenyum simpul, lalu wajahnya serius.
“Menurutmu aku bagaimana?”
“Kamu berhak hidup.”
“Maksudmu?” Gama menerka
ucapanku.
“Setiap manusia berhak
menjalani kehidupan sesuai pilihannya. Dan harus terima resiko yang dia dapat
dari pilihan itu, bisa saja baik atau sebaliknya. Baik juga belum tentu orang
suka. Namun setidaknya kamu berguna. Lain jika kamu menjalani kehidupan yang
buruk, hidupmu hanya akan dibalut penyesalan.”
“Benar Ra, sebelumnya aku
mau minta maaf.”
“Untuk apa?”
“Aku tau kamu pernah
didatangi beberapa perempuan yang dekat denganku. Mereka yang tidak paham kalau
kamu sahabatku, sehingga menjadikamu sasaran kemarahan.”
“Tidak perlu kamu
khawatirkan. Pertama kali di marahi pacarmu waktu SMA, menjadikanku
terbiasa. Aku tidak heran kamu bisa dekat dengan banyak perempuan. Kamu
punya daya tarik sendiri yang membuat mereka nyaman.” Aku mengatakan apa
yang terlintas dikepalaku.
“Kedekatanku dengan mereka
masih wajar. Keberanianku untuk menggoda jika dibandingkan es krim juga lebih
cepat meleleh.” kami tertawa.
Aku sedikit ragu, memang
dia terlihat cuek namun selama kami duduk ada beberapa perempuan tidak lepas
memperhatikan. Namun Gama mengalihkan pandangan dengan fokus berbicara padaku.
“Kita harus segera pergi!”
ajaknya.
“Kemana?”
“Tempat yang spesial untuk
perempuan.”
“Baiklah aku ikut.” Aku
mengikutinya dengan penuh semangat.
Aku mengikuti Gama masuk
toko, disana lebih banyak pernak-pernik yang berhubungan dengan perempuan.
“Apa tidak salah kita
datang ke tempat ini?”
“Tidak. Memang kenapa?”
“Jangan bilang kamu mau
mengenakan aksesories.”
“Maksudmu mengenakan ini?”
Gama memakai bando berbentuk telinga kelinci, menirukan gaya imut. Seketika
kami tertawa.
“Pakailah sampai kita
pulang!” pintaku.
“Aku tidak akan
melakukannya meskipun kamu merengek. Ini untukmu saja, pasti lucu jika kamu yang
pakai.”
“Ini tidak akan cocok.”
“Siapa yang bilang? Kamu
perempuan harus terbiasa dengan aksesories seperti ini.”
“Aku tidak percaya diri.”
“Kamu harus percaya diri!
Kamu istimewa, siapa yang akan meyakini kelebihan maupun kekuranganmu jika
bukan kamu sendiri.”
“Akan aku coba.” Gama
memakaikan bando itu dikepalaku.
Kami berkeliling di
toko, membuat kegaduhan, mencoba berbagai barang hanya untuk berfoto. Padahal
disana sudah jelas dilarang mengambil foto. Setelah itu, Gama menarik tanganku
pada rak boneka.
“Lihatlah boneka itu!”
”Lucu sekali, warnanya
bagus, bulunya sangat lembut.” Tanpa diduga, Gama memesan boneka itu.
“Simpanlah! Aku memberi
boneka ini tanpa maksud apa-apa. Aku tidak mau kamu berpikir ini jaminan agar
kita bersama. Jika kamu berpikir seperti itu, apabila terjadi pepisahan pada
akhirnya boneka ini menjadi luapan kebencian. Ini milikmu, tidak ada sangkut
paut denganku!”
“Terimakasih Gama.”
Perjalanan singkat yang
berkesan.
***
Tiara menutup diary,
tersenyum. Gama adalah lelaki baik tetapi hubungan mereka tidak lebih dari
sahabat. Tiara menghempaskan badan di atas tempat tidur. Ada panggilan masuk
diponsel.
“Lemot?” suaranya pelan.
“Iya, ceritakan saja!”
Tiara sudah paham mood Dirga seperti apa.
“Aku tidak ada masalah.
Gimana jadi jalan?” Dirga mengalihkan pembicaraan. Namun Tiara tetap tidak bisa
mengacuhkan perasaan Dirga.
“Bohong, ceritakan ada apa?
Aku baru sampai rumah 15 menit yang lalu.”
“Kalau kamu bosan atau
butuh teman. Aku siap menerima pesan selama 24 jam. Kamu jika tidak dihubungi
duluan, tenggelam tanpa kabar.”
“Aku ingin mendengar
ceritamu hari ini, mulailah!”
“Aku takut kamu bosan.”
“Tidak, katakan saja!”
“Apa kamu lihat status
hubunganku?”
“Seharian aku tidak membuka
media sosial. Apa yang terjadi?”
“Dia mengganti status
hubungan. Padahal dia sendiri yang memperumit.”
“Tenangkan hatimu!
seseorang yang mencintai memang harus lebih sabar. Bahkan pengorbanan mereka
jauh lebih besar untuk mempertahankan.”
“Aku menyerah. Lemot bantu
aku!”
“Bantu apa?”
“Konfirmasi hubungan kita.
Tolonglah!”
“Kenapa harus aku? Nanti
aku di labrak bagaimana?”
“Kejauhan mau melabrak
juga. Tenang, nanti aku membelamu! Memanas-manasi dia, mau?”
“Dasar, kamu banyak maunya.
Apa tidak takut putus?”
“Sudah putus, makanya
tolong bantu! Harapan aku cuma kamu. Gimana? Lemot sayang sama oon kan?”
“Iya, kalau kamu sudah
memelas jadi tidak tega. Hubungan ini cuma pura-pura kan?”
“Sebentar aku ganti status
pasangan. Konfirmasi hubungan kita!”
“Iya, tenang!”
“Cepat konfirmasi lemot!”
“Sudah bawel.”
“Ingat kita jadian tanggal
11!”
“Oke!”
***
Tidak ada yang berubah
dengan persahabatanku, status palsu hubunganku dan Dirga hanya kak Juna dan Teh
Giska yang tahu. Demi sahabat, aku pasrah di bully Avril, mantan Dirga.
Beruntung jarak kita jauh, jadi pertengkaran yang terjadi hanya omong kosong.
Aku sudah terbiasa menghadapi makian. Dirga dan teman-temannya yang tidak aku
kenal justru membelaku.
Gara-gara status baru itu,
Noval berpikir dugaannya selama ini benar. Dia berhak menilai tetapi yang tahu
benar hidupku hanya Allah. Seakan siap dengan resiko didepan karena ini
keputusan yang telah aku ambil.
“Lemot, jangan cuek begitu!
Dasar si hati dingin. Ini anak pasti punya niat balas dendam.”
“Aku bersikap biasa saja,
sudah cuek sejak dulu.”
“Apa kamu tidak takut di
kutuk?”
“Tidak, kutukan itu berlaku
hanya untuk anak yang nakal.”
“Dasar, jangan keseringan
buka media sosial, belajar sana!”
“Justru aku sedang belajar
lewat ponsel.”
“Kamu yang rugi kalau tidak
patuh, belajar itu untuk kebaikanmu.”
“Iya, aku tahu. Maksudku
aku sedang diskusi dengan teman melalui chat.”
“Oh begitu penjelasannya.”
“Makanya jangan menilai
orang sepengetahuanmu saja.”
“Iya, maaf! Ara, cacing
perutku kelaparan. Bisakah kamu transfer nasi?”
“Bank mana yang buka cabang
transfer nasi?”
“Padahal kalau tau, aku
akan mengajakmu ke suatu tempat.”
“Memangnya kamu mau
kemana?”
“Hari ini aku dan
teman-teman akan bakar ikan di pinggir pantai. Rencana sedikit tertunda karena
menunggu hujan reda.”
“Menyenangkan sekali kalau
bisa ikut. Sayangnya, kampung halamanmu bukan tempat yang bisa aku tempuh dalam
waktu 5 menit.”
“Suatu hari aku akan
menjemputmu. Kita wisata kuliner sepuasnya.”
“Dalam pikiranmu hanya
makanan. Gendut baru tahu rasa.”
“Tenang saja! Badanku tidak
berubah, wajahku juga tetap tampan.”
“Ya tuan Dirga aku sangat
mengerti ucapanmu.”
“Bisakah kamu memujiku
sekali saja? Apa salahnya membuat hati orang senang. Harusnya kamu akui kalau
aku memang tampan.”
“Aku akan kataan itu lewat
mimpi. Aku mau tidur, oon.”
“Dasar Lemot.”
***
Aku pernah merasakan suka.
Saking luar biasanya, aku akan berteriak ketika ingatanku kembali pada moment
bersama. Apa dia juga merasakan hal yang sama?
Ketika rasa suka itu berbanding
sama dengan rasa sakit. Aku memutuskan untuk tidak menjalin hubungan, sebelum
benar-benar siap.
Allah, apa saat ini aku
bermimpi? Apa ini kenyataan yang harus aku terima? Apa yang harus aku lakukan?
Bagaimana aku menghadapinya? Semoga keputusan yang aku ambil adalah jalan yang
Engkau ridhoi. Sama seperti sebelumnya, aku tidak akan menyesal. Aku akan
menguatkan diri.
Malam ini, seseorang
menelepon Tiara untuk menyanyikan sebuah lagu.
”Maaf jika permainan
gitarku kurang bagus. Yang penting isi lagu ini tersampaikan.”
This is how I feel
Whenever I’m with you
Everything is all about you
Too good to be true
Somehow I just can’t
believe
You can lay your eyes on me
If this is a fairytale
I wish it wil end happily
Even now we are apart
I can feel you here next to
me
Here and now I will love
Stay with me
Let me love you
With all my heart
You are the one for me
You are the light in my
soul
Let me hold you
With my arm
I wanna feel love again
I wanna feel love again
I wanna feel love again
And I know
Love is you
“Apa kamu masih
mendengarku?”
“Iya.” Ya Allah,
aku harus mengatakan apa?
“Jawaban yang singkat. Aku
berharap kata yang sama terucap untuk membalas perasaanku.”
“Aku tidak bisa.” suaranya
tiba-tiba tersendat.
“Aku ingin mengungkapkan
perasaan yang selama ini tersimpan rapat.”
“Maafkan aku Dirga!”
“Selama kita saling
mengenal, kamu tidak luluh dengan perkataan romantis. Apa kenyamanan bersamaku
sebagai sahabat tidak akan berubah?”
“Tidak, kamu akan tetap jadi
sahabat terbaik.”
“Aku tau kita tidak akan
lebih dari itu. Suaramu serak. Lemot, aku jadi serba salah mau bicara apa. Aku
baik-baik saja.”
“Aku tidak yakin.”
“Sedih ketika mendengar
penolakanmu tetapi aku lega sudah tau jawabanya.”
“Aku menghargai usahamu.
Aku pernah berkata menyukai sikapmu tetapi menjadi pacar bukanlah pilihan yang
tepat.”
“Itulah yang sulit dari
kamu.”
“Sulit bagaimana?”
“Kamu sulit memahami lelaki
yang melakukan pendekatan. Aku pikir kita punya perasaan yang sama, ternyata
keliru. Namun mengenalmu sejak lama membuat aku terbiasa dengan sikapmu.”
“Aku merasa bersikap
sewajarnya.”
“Kamu tidak menyukai lelaki
yang menyanjung berlebihan, jengkel dengan kalimat atau perlakuan romantis.
Sungguh gadis aneh.”
“Kenapa?”
“Kebanyakan perempuan
menyukai hal manis tetapi kamu sebaliknya. Malah membencinya.”
“Bukan benci tetapi
mendapat ekspresi keromantisan atau kata sanjungan adalah hal yang luar biasa.
Jika mereka mencari kesempurnaan, tidak akan mereka dapatkan dariku. Aku
wanita biasa yang ingin perlakuan berbeda. Bisakah seorang lelaki menunjukan
ketertarikan dengan tindakkan yang lebih tulus?”
“Bagaimana dengan janji
atau lamaran?”
“Janji apa? Ide yang bagus
jika langsung melamar, mungkin akan jadi pengalaman menarik.”
“Aku pernah berjanji tidak
akan membiarkanmu sendiri. Bagaimana jika aku melanggarnya?”
“Dirga, kebersamaan ada
batasnya. Manusia tidak bisa menjeda waktu.”
“Bagaimana jika berjanji
mencintai selamanya?”
“Katakan saja pada
pasanganmu! Janji itu mudah diucapkan namun sulit di tepati jika tidak
sungguh-sungguh. Jika kamu menyakiti perasaan tulus seseorang, dia akan sulit
melupakan kesalahanmu.”
“Kamu adalah perempuan yang
tegar, namun nyatanya rapuh. Tidak ada yang tahu kesedihanmu karena kamu tidak
tunjukan. Tanpa kamu sadari, aku pernah mendengar kamu menangis dan mengomel
tidak jelas.”
“Kapan?”
“Dulu, ketika aku menginap
di rumah.”
“Aku tidak pernah melakukannya
lagi.”
“Baguslah, aku tidak mau
kamu bersedih, meratap, frustasi apalagi pergi dari hidupku!”
“Sudah jangan baper gitu
Dir. Kamu sahabatku.”
“Iya tau.”
Mereka kembali bersahabat,
Dirga menerima keputusan Tiara. Saling bertukar pikiran adalah salah satu obat
pelipur lara. Mereka berusaha bersifat seperti tidak terjadi apa-apa. Meskipun
Dirga kadang tidak sengaja mengungkapkan perasaan tetapi tidak ada yang
membahasnya lebih jauh.
***
Tiara baru tiba di kamar
setelah seharian sibuk dikampus dan mengerjakan tugas dikosan teman. Dia
melihat tanda lingkaran pada kalender di atas meja. Dia ingat tanggal ini
spesial. Dia segera menelepon seseorang.
“Happy anniversary status
palsu hubungan kita.”
“Happy anniversary juga
lemotku. Tidak terasa hubungan kita sudah satu tahun.”
“Iya harusnya kita mendapat
penghargaan karena berakting menjadi artis dan aktor terbaik.”
“Aku merasa dapat
penghargaan karena tidak pernah mempunyai masalah dengan hubungan kita.”
“Apa kamu sibuk? Aku mau
minta bantuan.”
“Hanya sibuk mengerjakan
tugas kampus. Ada apa?”
“Aku ada tugas membuat
puisi. Bisakah kamu kerjakan?”
“Apa tidak salah anak
komputer mengerjakan tugas anak sastra.”
“Anggap saja pengalaman
merasakan berat menjadi sastrawan. Jika kamu sibuk, tidak perlu memaksakan.”
“Bukannya kamu sering
membuat puisi?”
“Imajinasiku sedang tidak
jalan.”
“Tidak percaya, biasanya
paling bisa.”
“Aku sedang malas berpikir
puitis.”
“Tumben sekali anak rajin
berubah drastis. Seorang pemalas tidak akan naik kelas loh.”
“Aku sedang mengerjakan
tiga cerpen yang harus dikumpulkan secepatnya. Tolong bantu aku!”
“Akan aku usahakan.”
“Terimakasih. Jangan
copypaste punya orang lain!”
“Iya kalau tidak kuat, aku
akan lambaikan tangan ke kamera.”
“Aku yakin kamu pasti bisa!
Pokoknya kamu yang terbaik.”
“Ya ampun, aku baru saja
mendengar pujian. Apa kamu galau jadi malas mengerjakan tugas?”
“Tidak, bagaimana
kuliahmu?”
“Hari ini libur, aku masih
menempel di kasur.”
“Sebutan pemalas itu
cocoknya buat orang yang masih santai di kasur di siang hari.”
“Dasar tidak mau
kalah.” Sepeti itulah Dirga yang ku kenal, tidak pernah membuatku
bosan.
***
Selama 2 bulan ini dia
lebih banyak menceritakan seorang yang dia suka di media sosial. Dia tidak
berbicara padaku tentang perempuan itu, aku tidak berani menanyakan.
“Lemot?”
“Iya, kenapa?”
“Aku mau meminta solusi,
boleh?”
“Apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Membedakan arti kedekatan
perempuan sama kita, gimana? misalnya yang suka dan dekat biasa.”
“Biasanya kalau perempuan
yang suka ketika kamu mendekat, dia akan merespon dengan baik supaya kamu
tertarik. Sebaliknya perempuan yang mengganggap teman, akan menghindari kamu
menyatakan perasaan.”
“Masalahnya kita belum
sempat berbicara langsung hanya bertemu selintas. Kalau dihubungi, dia seperti
memberi lampu hijau. Aku takut salah sangka, nanti malu sendiri. Aku harus
bagaimana?”
“Tanpa bertemu, kita tidak
tahu kebenaran dari sikap dia. Tidak terlihat ekspresi atau tingkahnya
bagaimana. Kenapa malu? bukankah kamu memegang kendali dalam hal penembakan.
Coba ajak ketemu, biar langsung pendekatan!”
“Orang yang jatuh cinta
mendadak bego. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Ingin mengatakan sesuatu
tetapi takut salah paham. Aku tahu alamat rumah dia tetapi tidak berani
mendatangi.”
“Jika kamu diam, itu
salah besar. Kebanyakan perempuan tidak berani mengungkapkan perasaan.”
“Aku sedang tidak percaya
diri.”
“Dir, sikap baik, ramah dan
penyayangmu padaku sebagai sahabat telah berhasil membuatku bertahan di
sekitarmu. Jika kamu lakukan pada hubungan nanti, aku rasa kalian tidak akan
punya masalah yang berat. Asalkan kamu jangan egois lagi!”
“Aku ingin lebih baik dalam
membina hubungan.”
“Jadikan dia niat kamu
menjadi lebih baik! Selebihnya Allah pasti mengatur rencanamu. Perlakukan
perempuan yang kamu suka melebihi kasih sayangmu padaku. Semua perempuan pasti
bahagia.”
“Jujur! Apa kamu pernah
menyukaiku?”
“Iya, siapa perempuan yang
tidak senang dapat perlakuan baik dari lawan jenis.”
“Kamu memang penuh
teka-teki, mengenalmu bukan jaminan mengetahui rahasiamu.”
“Gerogi pernah di taksir?”
“Tentu saja. Sejak
mengenalmu, aku berharap kamu sandaran terakhir. Kenapa tidak katakan suka dari
dulu?”
“Jika harus ada ikatan, aku
ingin lebih dari sekedar pacaran.”
“Aku belum sanggup ke tahap
yang kamu harapkan.”
“Iya, tidak masalah. Itu
hanya penjelasan kenapa aku menolakmu.”
“Kamu tahu perasaanku.
Mungkin rasa ini akan hilang jika aku menyukai oranglain, biasanya seperti itu.
Aku akan menjadi orang jahat jika masih menyukaimu dibanding pacarku.”
“Iya aku mengerti. Hapuslah
perasaanmu padaku!”
“Namun rasa kagum padamu
tidak akan hilang.”
“kagum?”
“Iya, sikap seperti kamu
jarang ditemui. Kamu itu cuek dan kurang peka. Namun aku merasakan perjuangan
yang berkesan meskipun harus berakhir menjadi sahabat.”
“Adakah sisi baik dari
seorang Tiara?”
“Ada, kamu periang,
baik, lucu, pokoknya di ajak mengobrol apa saja tidak bosan. Aku jadi
tidak berhenti cerita. Maaf jika kamu terganggu!”
“Aku tidak terganggu.
Ketika kamu cerita banyak hal, rasanya seperti aku orang terdekatmu.”
“Aku ingin memiliki pacar
yang mampu mendengar keluh kesahku.”
“Tidak semua orang jadi
pendengar. Jangan paksakan pacarmu mengikuti keinginan! Bukankah lebih baik dia
menunjukan diri apa adanya.”
“Iya lemot, aku akan
mengingat ini! Kamu yang terbaik, meskipun gadis pertama yang mematahkan hati.”
“Apa yang kamu lihat tidak
sepenuhnya benar, aku juga punya sikap negatif. Siapa tahu perempuan yang kamu
taksir jauh lebih baik.”
“Aamiin. Sebenarnya aku
sering minder karena kamu cuek, tidak pernah mengirim kabar duluan. Padahal aku
berharap mendapat kabar.”
“Ternyata kamu memang
mengidolakanku. Aku akan menganggapmu fans sejati.”
“Iya anggap saja begitu,
aku ingin kamu bahagia. Hanya saja harapanku untuk memilikimu sepertinya harus
berhenti disini. Kenapa kamu ditakdirkan jadi sahabat terbaik? Kenapa kamu
menyenangkan? Kenapa kamu mendengar keluh kesah tanpa bosan? Aku jadi tidak
bisa menjauh. Kenapa kamu bertahan jadi sahabat tanpa tergoyahkan sedikitpun
untuk menjadi milikku? padahal aku selalu memberi kesempatan. Kenapa kita harus
terpisahkan? Kenapa kamu tidak tinggal disini saja?”
Allah, aku bahagia sampai
air mata ini menetes. Aku telah berkata jujur pada seseorang, lega sekali.
Timbal baliknya, dia juga berkata jujur. Dia, seseorang yang mengajarkanku
banyak hal. Segala sesuatu yang aku punya saat ini adalah titipan dariMU. Aku
akan terus menjaga sikap.
***
Tiara mendukung Dirga
supaya berani mengutarakan perasaan pada perempuan yang disuka.
Tanggal 1 Februari, Tiara
membuka jejaring sosial dilaptop, mengklik 42 pemberitahuan. Dia merasa
sedih setelah membaca semua komentar, ucapan prihatin, tidak percaya dan
ucapan bahagia. Semua tertuang pada satu pembaharuan, status hubungan. Dirga ternyata
sudah mengganti hubungan mereka tanpa memberitahu.
Tiara membaca semua
komentar tentang kandasnya hubungan Lemon (Lemot dan Oon). Tanpa tanggapan dari
Tiara atau Dirga. Bahkan Dirga tidak menghubunginya.
Seperti itulah lelaki. Dia
menyatakan suka pada perempuan tetapi dia akan lupa sekejap saat menyukai
perempuan lain. Inilah ketakutanku. Kita masih dalam zona sahabat, Dir.
Apa ada yang salah sehingga aku harus dijauhi? Ya, kamu memang punya pacar,
kenapa aku dicampakan? Apa aku merusak kebahagianmu? Apa kamu lupa kita saling
kenal?
Tiara semakin menjaga jarak
dari Dirga. Apalagi setelah tahu antara Dirga atau pacarnya telah menghapus
pertemanan di aplikasi chat.
Aku bukan orang yang akan
mencari masalah dengan siapa-siapa, aku menerima perlakuanmu.
Tiara keluar dari kamar,
tidak ada jadwal kuliah. Dia duduk di depan televisi tanpa tujuan untuk
menonton. Tangan mengganti chanel tanpa henti. Teh Giska memperhatikan dari
arah dapur, mengerti adiknya tidak ingin diganggu. Tiara menghentikan gerak
tangan saat ada panggilan di ponsel.
“Lemot apa kabar?”
“Baik.”
“Si mantan tidak pernah
menyapa. Sombong sekali.”
“Siapa? mantan siapa?
memaksa seseorang untuk menyapa, tidak baik.” Jawabnya ketus.
“Tidak apa-apa kalau tidak
mau mengaku. Mungkin selama ini hanya aku yang menganggap status kita nyata.”
“Oh, aku memilih tidak mau
tau.” Mendengar jawaban itu Dirga menarik nafas.
“Apa kamu sibuk?”
“Aku sibuk mengerjakan
tugas kuliah.”
“Sesibuk apa, silaturahmi
harus tetap jalan.”
“Aku tidak punya waktu
mengetik pesan dan melakukan panggilan pada seseorang.” jawab Tiara ketus.
“Jangan kebanyakan
menghindar! mirip sopir bajai.”
“Nanti aku menyapa, mau
sehari tiga kali.”
“Itu minum obat. Aku
benar-benar menunggumu menyapa. Apa kamu malu Lemot?”
“Kenapa harus malu?”
“Wajahmu kelihatan merah
merona, pertanda malu apa marah? Jangan mencari alasan!”
“Jika sekarang kamu ada
dihadapanku. Pilihanku adalah menendangmu sekuat tenaga. Makin banyak alasan,
makin pintar orang tersebut menyembunyikan perasaan.”
“Apa kamu ada masalah?”
“Tidak ada.”
“Bohong! apa aku perlu
menjitakmu?”
“Jitak saja! Maka bibirku
akan berkata jujur bahwa aku merindukanmu.”
“Apa kamu serius
mengatakannya?”
“Lupakan! Aku rasa lidahku
sedang tidak bersahabat.”
“Kenapa? Haruskah aku
melepaskan panah asmara dewa amor ke hatimu.”
“Aku sudah kebal sama
panah, seperti mati rasa.”
“Lemot, aku memberanikan
diri menghubungimu tetapi semakin kamu mendekat. Aku akan kembali pada perasaan
itu, semakin sulit untuk menampiknya. Adakah cara untuk bersikap seperti tidak
terjadi apa-apa?”
“Dir, secara tidak langsung
kamu menyuruhku pergi dari kehidupanmu. Jika itu maumu, aku akan menjauh.
Jangan mencari jika kamu merasa kehilangan! Aku tidak ingin dibutuhkan ketika
ada masalah saja. Aku tidak terima diperlakukan seperti ini. Akan semakin sakit
saat membaca pesan dan menerima panggilanmu. Oleh karena itu, pergilah, jangan
kembali!”
“Maaf.” Tiara tidak
membalas ucapannya, dia segera mematikan sambungan, menangis.
***
Entah kenapa aku sulit
melupakanmu. Acara pernikahan ini terasa biasa. Aku duduk sendiri. Mengacuhkan
orang disekitar, bahkan tidak bertegur sapa dengan orang yang aku kenal. Aku
menjauh dari Teh Giska dan kak Juna. Banyak orang datang bersama pasangan, berbeda
denganku. Aku ingin Dirga menemani di sini.
Melihat acara sakral yang
dilakukan seseorang, siapa lagi kalau bukan Noval. Dia mengikat janji
pernikahan dengan seorang perempuan, bukan aku.
Ibu Noval memeluk erat, air
matanya menetes. Apa aku terlihat menyedihkan? tersenyum adalah usaha terbaik
ketika mendapat bagian bersalaman dengan Noval dan istrinya di pelaminan.
Mungkin jika aku dan Noval tidak egois. Hari ini aku yang berada di sampingnya
tetapi aku yakin bisa bangkit.
Saat aku kembali duduk, tanpa
sadar sudut mata berair. Tiba-tiba aku merasa masuk ke alam sunyi. Aku pergi
meninggalkan gedung tanpa berpamitan. Semua akan lebih baik nantinya.
Terima kasih
Ini ceritaku... Dilarang
copypaste!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar