Jumat, 18 Mei 2018

CERPEN "ROTASI"


Hari ini hujan pertama setelah 3 bulan lalu dilanda kemarau panjang. 

Tanah tandus, dedaunan kering, cuaca panas seakan menjadi kenangan yang kelam, namun saat sapaan hujan itu muncul. Bukan hanya tumbuhan yang kembali tumbuh subur. Namun aku juga seakan punya tenaga untuk menyapa lagi kehidupan. Ini bukan tentang keluhan tapi tentang renungan.

 

***

Perjalanan asmaraku tidak singkat, enam tahun lamanya. Kenapa memilih bertahan selama itu? Halo, apa yang kamu pikiran gaya pacaran zaman sekarang? Tidak seperti itu.

Biar aku jelaskan, dia tidak romantis, tidak banyak uang, tidak tampan tetapi bagiku dia punya nilai lebih dari lelaki lain. Salah satunya kenyamanan, penuh dukungan, tentunya ke arah yang lebih baik. Bagaimana mungkin aku bisa melepasnya?

Geo adalah lelaki yang menjagaku seperti anak perempuannya. Kasih sayang yang tidak aku dapatkan dari Ayah. Ayah yang tidak menjalankan perannya dengan baik. Kenapa? Ayah menjadi temperamen semenjak gulung tikar. Dia tidak segan memukul, berkata kasar, perlakuan yang Ibu dan aku terima setiap hari jika menurutnya kami salah. Saat itu Geo menjadi pelindungku, tempat berbagi keluh kesah.

Kami bukan pasangan yang sempurna, pertengkaran sudah pasti ada. Namun kami bisa melewati berbagai rintangan. 

Sempat ada orang yang berpikiran lain, kenapa kami bisa bertahan. Tuduhan ini datang dari sahabatku, Lisna. Mengapa bisa berpikiran seburuk itu? Itu tergantung pengalaman masing-masing.

Tiba-tiba Lisna membahas hubunganku dengan Geo. Dia berargumen bahwa pacaran yang kami jalani pasti tidak sehat, sudah terjadi "sesuatu". Aku hanya bisa tertawa sinis, dia dengan bodohnya punya asumsi seperti itu. Menyamakan dirinya denganku, sungguh tidak etis.

 

“Jangan samakan aku dengan tumpukan sampah di lingkunganmu. Sudah tau busuk, tetapi kamu malah ikut terjerumus?" Aku menanggapinya dengan kesal, karena suasana hatiku sedang tidak baik. 

 

"Terjerumus?" Seakan dirinya tidak bersalah.

 

"Aku bukan kamu yang mau memilih bersama seseorang, lalu menyerahkan semua hal yang dia inginkan. Bagaimana mungkin kita bersikap tenang, melakukan hal tersebut tanpa punya ikatan resmi."

 

"Kamu tau apa? Aku melakukan itu atas dasar suka sama suka. Bukan paksaan."

 

"Aku pikir kamu berkata seperti itu karena tidak pernah merasakan dicintai dan mencintai yang sesungguhnya. Pada dasarnya kamu menyukai seseorang demi sebongkah emas kan? Aku benci orang serakah. Pikiran sempit membuatmu terjerumus semakin dalam. Pintarlah! Ingat Tuhan! batasan itu ada aturan, melewati batas sudah ada hukumnya. Jika kamu sudah tau melewati batas namun tetap melakukannya. Berarti kamu tidak lebih baik dari pikiranmu tentang oranglain.” Saat itu hubunganku dan Lisna renggang karena aku terlalu menyinggungnya.

***

 

Kebanyakan pasangan memilih berlibur bersama dengan jalan-jalan ke berbagai kota. Berbeda denganku yang menjadikan Mall sebagai tempat rekreasi. Kami bertemu disela istirahat. Geo bekerja di salah satu restoran di Mall, tidak jauh dari kantorku. Aktifitas kita yaitu memperhatikan toko sambil berkhayal suatu hari dapat membeli salah satu barang di sana.

 

          “Tandai saja dulu!” Geo berkata seperti itu ketika langkahku terhipnotis pakaian di salah satu etalase.

 

        "Aku hanya menadainya. Nanti beli yang mirip di pasar saja. Lihatlah harganya mahal!" Mengeryitkan dahi.


        "Jika kamu mau, doakan aku suatu saat memberikan yang lebih baik dari ini." Tanggapan Geo membuatku tertawa nyaring.

 

 "Aku sudah dapat yang lebih baik dari semuanya yaitu memilikimu." Aku senang melihat pipinya merah.

 

"Selalu saja berkata seperti itu membuatku malu saja." Tangannya mengelus lembut kepalaku.

 

Aku tidak pernah meminta apapun dari Geo. Jika Geo memberiku hadiah maka akan aku kembalikan. Bukan tidak menghargainya, namun hubungan kami belum sangat jelas. Lain jika dia suamiku, aku akan menerima apapun itu. Oleh karena itu, tidak pernah ada perayaan dalam hubungan kami.

Hanya saja ini yang akan Geo lakukan saat gajian. Aku tidak boleh menolak. Aku akan datang sebagai tamu di restoran tempat dia bekerja.

 

“Ini menu spesial untuk nona, makanlah dengan nyaman!" Kami tertawa. Hal sederhana yang membuatku tidak berhenti bersyukur memilikinya.

 

Namun kebahagianku bukanlah kebahagian Ayah. Beliau sangat tidak suka hubungan kami. Malam ini menjadi puncak kemarahannya.

 

Ayah memberi isyarat Geo untuk pulang. Dia yang sudah menungguku lembur di kantor, lalu mengantar pulang. Seakan tidak ada artinya bagi Ayah. Padahal diluar hujan deras, namun Geo sangat mengerti keadaan itu. Diapun pamit pulang. Uluran tangannya Ayah tampik begitu saja. Ya Tuhan.

 

“Kenapa Ayah bersikap seperti itu? Apa yang salah dengan Geo?” tanyaku meminta penjelasan. Ruang tamu ini selalu suram apalagi jika kami berkumpul di sana, tidak ada raut kebahagiaan.

 

“Masa depannya, kamu kuliah dan bekerja lantas dia. Pekerjaannya belum pasti. Bagaimana masa depanmu?”

 

“Masa depanku dengan Geo akan baik-baik saja. Kami tidak masalah merangkak dari bawah, bukankah keluarga kita juga seperti itu?”

 

“Cukup, ini untuk kebaikanmu. Ayah tidak mau anak Ayah hidup susah.” Sorot mata yang dulu sangat aku takuti kini seakan menjadi hal biasa.

 

“Ya aku tau arah perbicaraan Ayah.” Aku meninggalkan Ayah yang kesal. Ibu diam saja, lantas aku mendapat pembelaan dari siapa.

 

Ayah semakin protektif atau lebih tepatnya temperamen. Semenjak Kevin datang kerumah untuk mengajakku menikah. Siapa Kevin? Dia lelaki 35 tahun, lelaki mapan pemilik perusahaan tempat aku bekerja.

 

Aku tidak menyangka dengan keseriusan itu karena dikantor kami hanya sebatas atasan dan karyawan. Tidak ada gelagat yang mencurigakan. Hingga akhirnya dia mendatangi kediamanku.

 

“Saya serius ingin menikahi Lia. Saya sudah mapan, umur juga sudah matang. Saya senang dengan kepribadian Talia yang periang, semangat bekerja seperti melihat diri sendiri ketika muda saat merintis usaha.” Dia berusaha meyakinkan orangtua, membuatku kesal.

 

“Saya senang sekali dengan niat Pak Kevin tetapi bukan saya yang memutuskan. Talia mungkin akan menjawab.” Ayah dan ibu menatap penuh harap.

 

“Aku pikir-pikir dulu Pak.” Seakan siap dengan kemarahan yang akan aku terima dari Ayah.

 

“Iya tidak apa-apa. Saya tunggu jawabannya sampai minggu depan.”

 

Ingin ku mengumpat di depan wajahnya. “B____, lo pikir gue mau sama lo." Mungkin jika Merry rekan kerjaku berada di posisi ini. Dia akan menerima lamaran itu tanpa menunggu seminggu. Sebenarnya bisa saja aku bilang tidak saat itu tapi Ayah dan Ibu akan bertengkar.

 

***

Kevin benar-benar menyogok Ayah dan Ibu dengan kata-kata manis, menjamin keluarga kami, membiayai kuliah, setelah menikah dia ingin aku fokus menjadi ibu rumah tangga, mengubah kepemilikkan salah satu apartemen atas namaku. Aku seperti ratu bukan? Tetapi bukan itu yang aku inginkan. Namun Ayah seakan dibutakan harta. Hingga setiap malam pembahasan tentang lamaran itu tidak berhenti.

 

"Bagaimana sudah kamu pikirkan untuk menerima Kevin?" Baru saja aku selesai makan dan ingin kembali ke kamar untuk beristirahat. Ayah menghentikan langkahku.

 

“Ayah, tolong mengertilah aku bukan anak kecil yang harus diatur dalam berbagai hal. Aku berhak menentukan pilihan.”

 

“Lia, kamu satu-satunya anak Ayah. Ayah berharap banyak padamu.” Wajahnya iba, Ayah tidak pernah memohon. Namun kali ini dia lakukan demi oranglain.

 

“Aku tidak menyukai Kevin. Aku ingin menikah dengan Geo, yah.” penjelasanku.

 

“Pikirkanlah keluarga kita! Bukan tentang hidupmu. Ayah ingin kita punya kehidupan yang lebih baik.” mendengar perkataannya sakit sekali. Keluargaku memang sederhana namun baru kali ini Ayah meratapi keadaan kami.

 

“Aku tau tujuan Ayah. Namun caranya bukan memaksaku menikah dengan orang yang tidak aku suka. Apa salahnya mensyukuri apa yang kita punya.” rasanya dadaku ingin meledak, namun aku harus bersikap tenang menghadapi Ayah.

 

“Ayah bersyukur Allah bukakan jalan yang baik melalui Kevin. Kamu menolak kesempatan itu?” wajahnya mulai memerah.

 

“Aku menolaknya. Alasan lainnya karena kita beda agama.”

 

“Masalah itu akan Ayah bicarakan dengan Kevin. Tidak ada yang sulit.” Ayah masih bersikeras.

 

“Jika dia berubah keyakinan karena aku, apa dia benar-benar mencintai agama kita?”

 

“Tentu saja. Orang yang mencintai akan melakukan pengorbanan apapun.” 

 

Ayah tidak berhenti mengagumi Kevin, telingaku hampir terbakar. Ibu memperhatikan tanpa mengucapkan sepatah kata. Aku yakin, jika membelaku dia hanya akan dituduh istri yang tidak hormat terhadap suami. Dia akan mendapat pukulan keras.

 

“Kenapa Ayah bisa seyakin itu? Yah, yang paling utama dalam pernikahan adalah imam yang baik. Agama itu bukan paksaan. Jika dia terpaksa mengikuti agama kita apa itu bisa disebut beriman?”

 

“Pintar sekali sudah bisa membantah orang tua. Ayah yakin dia sungguh-sungguh. Lia, dia akan jadi suami yang baik untukmu dalam segala hal.”

 

“Segala hal yang membuat hidup duniamu bahagia dengan bergelimang harta, mungkin itu maksudmu. Kenapa manusia hidup seegois itu, menyakiti oranglain atau dirinya demi kepentingan dunia semata.” Ayah menghampiriku, tamparan keras mendarat dipipi. Ibu terperanjat, sudut matanya berair. Lain dengan mataku yang menolak untuk menangis, namun rasanya sakit sekali ketika orangtua memaksa hal yang tidak aku khendaki.

 

“Pergaulanmu dengan Geo membuatmu berpikiran sempit. Kamu semakin berani membantah. Bagaimana masa depan orangtuamu ini tanpa kamu Lia?” Ayah membentak, ibu tertunduk lesu.

 

“Geo tidak bersalah. Kenapa Ayah selalu mencemaskan masa depan, saat ini bukankah kita bahagia? Ini sudah lebih dari cukup.”

 

“Kalau ada yang lebih tuh ya dipilih, jangan di sia-siakan! memang kamu hidup hanya pakai perasaan.” Ayah sangat kesal.

 

“Apa salahnya menyukai seseorang yang paling sederhana dimuka bumi. Siapa tau dia paling mulia dimata Allah. Geo memang sedang merintis usaha tetapi aku yakin dia sangat bertanggung jawab."

 

“Sampai kapan dia merintis, lantas jadi sukses. Kapan dia membahagiakanmu? Sanggupkah kalian melewati kesederhanaan itu sampai kalian menikah? Ayah tidak mau anakmu nanti hidup seperti ini, dibesarkan tanpa apa-apa.” 

 

Aku kesal Ayah merendahkan diri. Lantas pernikahan aku dengan Kevin sudah seperti aku mengemis padanya. Sungguh rendah sekali martabat perempuan dimata orang-orang yang berkuasa.

 

“Aku tidak kecewa dibesarkan seperti ini. Kebahagiaan itu tidak dilihat dari dia memiliki banyak uang tetapi dari kasih sayang yang ia terima. Di dunia ini tidak ada yang miskin. Sampai kapanpun kita tidak akan merasa cukup jika tidak bersyukur, lebih parahnya kita terus tenggelam dalam rasa iri terhadap sesuatu yang lebih. Namun ketika kita mensyukuri nikmat yang kita terima setiap hari. Kita adalah orang yang selalu bahagia. Mau sampai kapan terus mengeluh sama keadaan?” Aku memojokan Ayah, namun bukan dia jika mengalah.

 

“Ayah tidak mau tau. Berikan jawaban iya saat Kevin datang ke rumah kita!”

 

Perkataanku seakan hanya satu kerikil kecil yang menyentuh permukaan kulit, tidak membekas, sapuan tangan menjatuhkannya kepermukaan, terinjak lalu hancur. Bagaimana jika kalian berada di posisiku? Siapa yang akan kalian pilih, lelaki yang membuat nyaman atau membuatmu mapan? Siapa sih yang tidak ingin hidup dengan lelaki yang bisa membuat nyaman sekaligus mapan. Namun kini aku punya pilihan yang berbeda, Geo atau Kevin.

 

***

 

Ibu membuka pintu kamarku perlahan. Ku perhatikan geriknya. Dia datang ke kamarku saat Ayah asik menonton televisi.

 

"Apa ibu mengganggu mu?" Ibu ragu untu menghampiriku.

 

Aku terduduk di tepi ranjang. Lembaran kertas berhamburan,  sangat berantakan. Bukan karena tidak aku bereskan namun baru saja aku membuatnya terbang tidak tentu arah karena kesal mendengar ocehan Ayah membahas lamaran Kevin.

 

"Bu, aku lelah. Aku salah apa? Apa aku sedang di uji Allah untuk melatih kesabaran?" Air mataku menetes. Ibu duduk disamping, mengelus lembut punggungku.

 

"Ini bukan salah mu. Kita orangtua yang memaksakan khendak pada satu-satunya anak yang kami miliki. Sehingga setiap hari membuatmu cemas." Suaranya serak.

 

"Bu." Aku memeluknya erat. "Maaf, apa yang aku usahakan untuk membahagiakan Ayah dan Ibu rasanya masih kurang, sangat kurang jika dibandingkan kasih sayang kalian selama ini. Tetapi aku akan terus berusaha."

 

"Talia, kami membebanimu dengan banyak keinginan. Ibu tidak bisa berbuat apa-apa saat Ayah memojokkanmu. Ibu minta maaf nak." Air mata yang hangat membasahi pundaku.

 

"Tidak apa-apa bu, aku tidak ingin melihat Ibu terluka karenanya." Pelukan ini sedikit membuatku lega. Walaupun kegelisahan itu tetap membayangi. Rasa tidak nyaman setiap berada di kantor dan rumah yang tidak bisa aku hindari.

***

Aku menunggu Geo di  dekat parkiran. Kami berencana bertemu saat jam istirahat. Dia berjalan kearahku dengan sangat gusar, seperti menyembunyikan sesuatu. Namun aku sambut dengan senyuman.

 

“Lia, maaf membuatmu menunggu lama.”

 

“Tidak perlu minta maaf. Aku akan berdiri disini tanpa lelah menunggumu walaupun harus berjam-jam.” Aku menggoda, namun Geo sangat serius. Biasanya dia menimpali candaan namun kali ini tidak.

 

“Bagaimana kabar Ayahmu?”

 

“Baik, kita mau jalan kemana?” Aku berusaha mencairkan suasana karena sepertinya Geo sedang banyak pikiran.

 

“Lia, kita berhenti saja sampai disini.” Tatapan kosong itu, hatiku tiba-tiba tersengat.

 

“Maksudmu?” aku berpikir kalau Geo baru saja mengatakan hal yang salah.

 

“Kita putus.” Mendengar penjelasannya, tanganku mulai dingin, gemetar.

 

“Kenapa tiba-tiba mengatakan ini, kamu pasti bercanda?” masih tidak percaya dengan apa yang barusan aku dengar.

 

“Aku serius, percuma saja kita jalani jika orangtuamu tidak merestui. Aku bisa apa, aku bukan anak orang kaya yang bisa mengabulkan segala keinginanmu.” Geo tersenyum getir. Rasanya aku ingin menangis namun tidak bisa.

 

“Memang aku minta apa? Aku tidak memintamu mengabulkan permohonan. Aku menerima kekurangan, menghargai kelebihanmu. Jangan dengarkan Ayahku! kita hidup bukan untuk diatur orang. Kenapa kamu seperti ini?”

 

“Lia, ayahmu tidak suka padaku. Selama 6 tahun tidak ada perubahan yang berarti, bukannya jadi baik malah tambah buruk.” Geo kesal. Dia yang biasanya tegar terlihat lemah hari ini.

 

“Geo, aku tidak peduli apa yang oranglain katakan, aku mencintaimu karena kebaikanmu, sikap dewasa yang mengayomi serta memahamiku, kesederhanaan yang selama ini kita jalani. Aku mohon jangan menyerah! Aku memperjuangkanmu.”

 

“Maaf Lia, aku menyerah.” Dia menarik nafas panjang.

 

“Ayo kita meminta restu orangtuaku. Kita buktikan pada mereka bahwa kita mampu menjalani hidup sesuai dengan rencana yang sudah kita susun.” Aku menggenggam tangannya, namun terperanjat saat Geo menepis.

 

“Lia jangan bodoh. Doa orangtua akan selalu menyertaimu. Aku yakin hidupmu lebih baik tanpa aku. Terimalah keputusanku! Jalanilah masa depanmu dengan Kevin. Jangan pernah mengecewakan orangtuamu!” perkatannya seperti petir di siang bolong. Aku tertunduk, terisak, menutup telinga dari ocehan Geo.

 

“Terus saja kalian menyebut nama Kevin, kevin, kevin. Aku muak mendengar orang selalu membanggakan dia. Kamu saja yang menikah dengannya. Kita tukar posisi saja brengsek.” Aku tidak kuat lagi dengan rasa sesak yang menyerang dada.

 

“Lia, jangan seperti ini!” Geo merentangkan tangannya untuk memeluk, namun aku mendorong badannya sampai mengenai pagar pembatas.

 

“Tinggalkan aku sendiri! Pergi dariku! itu kan yang kamu inginkan.” Kecewaku sudah diambang batas.

 

“Lia, aku minta maaf.” Suaranya yang lembut tidak mampu meredakan amarah. Aku sangat benci dikasihani.

 

“Aku bilang pergi!” Aku menatap tajam sehingga dia paham, melangkah pergi, meninggalkanku. Saat tidak lagi terlihat sosok Geo, aku mulai menangis.

 

Kamu pikir aku apa, boneka yang seenaknya kamu berikan pada oranglain. Seakan 6 tahun tidak berarti apa-apa, berhenti untuk memperjuangkan. Ya, aku perempuan cengeng, lemah dalam menghadapi masalah seperti ini. Aku bahkan tidak peduli dengan tatapan orang yang melihatku terduduk di tanah, menangis tersedu-sedu.

 

Setelah kejadian itu, aku terbaring di rumah sakit. Kevin dan orangtuaku berada di ruang tunggu. Tante bilang semua biaya ditanggung Kevin, Geo yang pertama menawarkan Ayah tolak.

 

Aku sangat terpukul dan ingin membuang jasadku di suatu tempat, namun aku belum mati. Aku merasakan perutku seakan digoncang, kepalaku berputar-putar, mual yang mendera membuat badanku lemas. Berulang kali aku berdoa, pasrah akan kehendak Tuhan. Aku telah mendapat hukuman dunia atas kesalahan ini.

 

“Aku baik-baik saja Geo.” aku memberi isyarat pada Geo yang mengkhawatirkanku dibalik pintu. Dia tersenyum membuat lega. 

 

Aku tidak ingat siapa yang membawaku ke rumah sakit tetapi aku senang melihat Geo disini. Meskipun dia tidak diizinkan masuk kedalam ruangan.

 

“Tuhan, pria itu sangat sabar dengan cacian. Sapaan hangat tetap dia tunjukan pada Ayahku yang angkuh. Salahkah jika aku sayang padanya?”

 

Tante baru saja masuk, membisikan suatu pesan. “Geo pamit pulang. Semoga lekas sembuh! Jangan khawatir, aku tetap sahabatmu.” Aku mengangguk pelan, ingin menangis.

 

Geo hanya berani menyampaikan pesan pada tante. Tanteku yang mengabarkan pada Geo kalau aku dirawat di rumah sakit. Dia tidak tau kalau kami sudah berpisah.

Kenapa aku disini? Aku memandang sorot mata Ibu dan tante yang merasa iba, Ayah yang marah, Geo yang merasa bersalah dan Kevin kecewa.

 

Aku berada disini karena sangat frustasi, pikiranku sempit sehingga memilih menenggak sebuah *tidak untuk ditiru*. Jika kamu bilang aku tidak waras. Silahkan! Bagaimana jika kita tukar posisi saja? Saat ini aku memilih menjalani hidup oranglain daripada berada di jasadku. Ya Tuhan maafkan aku lupa untuk bersyukur. 

Hari ini aku merasa jadi manusia paling hina, hampir saja aku mati dengan cara yang tidak Allah sukai. Hukuman yang harus aku rasakan saat ini dari kecerobohanku, rasanya bukan apa-apa jika dibandingkan dengan siksaan yang akan aku terima jika aku mati.

 

***

 

Setelah kejadian itu, Ayah bukannya memberikan aku hak pilih. Namun dia semakin mantap menikahkan aku dengan Kevin. Sebulan lagi kami akan menikah. Begitulah rencana yang sudah diatur, apa dia jodohku? Aku tidak tau, tetapi ketika Geo benar-benar menyerah dan orangtua ku memohon. Aku mengambil keputusan untuk mengabulkan permintaan orangtua ku.

 

Gaun panjang yang menjuntai indah, riasan yang membuatku jadi tatapan setiap orang, bagai ratu sehari. Senyuman mereka ku balas dengan ikhlas, namun sejak kemarin sudut mataku menahan kesedihan.

 

“Lia, ini Yuke pemegang saham di perusahaanku di daerah ……….” Kevin mengenalkanku pada seorang perempuan dengan tatapan aneh, sinis, mungkin cuma perasaanku saja. Tetapi hal itu ku rasakan saat dikenalkan pada semua kerabat Kevin.

 

Aku benar-benar menikah dengan Kevin. Sebulan kita lewati dengan baik-baik saja. Memang awalnya aku merasa tidak nyaman dengan perubahan hidupku. Aku tinggal di apartemen yang lumayan megah di wilayah ini, namun dengan penilaian yang buruk. Orang bilang apartemen ini kebanyakan ditempati wanita simpanan.

 

Ku jalani hari-hari seperti perempuan lain yang sudah menikah. Apa kabar orangtua ku? Mereka mendapat fasilitas kontrakan yang cukup besar, seperti keinginan Ayah.

 

Semakin lama aku semakin tau perangai Kevin, tempramen, pelit dan overprotektif. Aku hanya mendapat jatah uang belanja yang sedikit sehingga harus bisa menambah penghasilan sendiri. Aku membuat kue dan menjual secara online, dengan modal yang aku punya selepas berhenti bekerja. 

Kevin mudah marah ketika aku melakukan kesalahan, pukulan, kata kasar dan tamparan menjadi hal biasa. Entah kenapa dia mirip dengan Ayah. Tapi aku tetap menghormatinya.

***

 

Hujan turun sangat deras, aku menunggu Sheril di lobi kampus. Kami janjian akan bertemu dosen untuk konsultasi tentang judul skripsi. Aku sama sekali tidak mengecek ponsel, setelah selesai konsultasi barulah aku sadar ada 20 panggilan tak terjawab dari Kevin. Aku mencoba menghubunginya kembali.

 

“B*****, a**** lo kemana aja, selingkuh lo? dari tadi gue telepon. Awas aja lo kalau balik gue mampusin.” Aku sengaja mengeraskan suaranya, saat itu lobi sepi dan Sheril penasaran dengan ceritaku mengenai perangai Kevin.

 

“Daritadi aku dikampus ketemu dosen. Kan sudah izin, ini baru selesai dan aku mau mengabarkan.”

 

“Bacot lo. Emang lo a****.” Suaranya makin meninggi. 

 

Kevin sangat overprotektif, dia sangat tidak suka jika aku tidak memberi kabar, harus jelas pergi dengan siapa, tidak diizinkan pergi dengan oranglain kecuali ke kampus. Jika pergi kemana-mana Kevin akan selalu ikut meskipun harus mengganti jadwal ke kantor.

 

“Maunya bagaimana? Apa harus standby terus sama ponsel? Kuliahku tidak akan selesai.” aku ikut kesal.

 

“Mending lo gak usah kuliah, kuliah aja masih bego. Gak punya otak aja belagu.” Ucapnya tanpa memikirkan perasaanku.

 

“B………...”. bathinku menjerit. Rasanya ingin memaki. Namun akan ada pukulan keras setelah ini. Sheril disampingku bergidig apalagi aku yang hampir tiap hari mendengar omelannya.

 

“Balik sekarang, gue gak mau tau. Lo harus ada di rumah jam 4. Kalau lo berani keluar sama orang, lo tau sendiri hukumannya a*****.”

 

“Ini jam 3 butuh waktu 2 jam ke apartement. Bagaimana bisa aku datang tepat waktu di jam yang macet.”

 

“Banyak alasan. Balik atau gue laporin ke bokap kalau lo gak nurut. Kapan sih lo bisa berguna buat gue? Mau Ayah lo tau.” Gertakan yang selalu aku terima. Aku akan mendapat omelan lagi jika terus membantah Kevin.

 

Semakin hari semakin jelas, kalau aku tidak mendapat pembelaan dari siapapun. Ketika luka memar itu membawaku masuk rumah sakit dengan santainya Ayah memarahiku, baginya itu hukuman yang baik buat istri yang membantah suami. Padahal aku hanya melakukan pembelaan atas hak ku untuk mendapat perlakuan baik dan perlindungan.

 

***

Kehidupan Kevin sangat terbalik dengan ku. Namun dia tidak mau aku mengikuti kebiasaan buruknya. Menurutnya berada dirumah lebih cocok untuk seorang istri. Setiap mengalami masalah di kantor, Kevin lebih senang berada di diskotik. Aku sudah melarangnya, namun tidak akan dia dengarkan.

 

Malam ini aku mendapat kabar kalau Kevin kecelakaan saat sedang mabuk. Mobilnya terguling menabrak pembatas, satu korban perempuan meninggal, lalu Kevin dan satu perempuan lainnya selamat.

 

Aku menemaninya di kamar inap. Ibu dan Ayah sedang dalam perjalanan. Tiba-tiba perempuan paruh baya menghampiriku.

 

“Ini kamar Kevin?” tanyanya, terlihat sangat letih.

 

“Iya benar bu, ada apa bu? Beliau belum sadar.”

 

“Saya hanya ingin menyampaikan  sesuatu pada Kevin.” Ucapannya terhenti ketika Ibu dan Ayah memasuki ruangan. Dia menatap orangtuaku dengan penuh kekesalan.

 

“Mumpung ada orangtuanya Kevin, saya mau meminta pertanggungjawaban Kevin terhadap bayi yang dikandung anak saya.” Ibu dan Ayah terperanjat dengan pernyataan yang ditujukan.

 

“Maksud ibu apa? Kalau ngomong jangan sembarangan.” Ayah geram.

 

“Saya memang orang miskin pak, tapi  bagaimanapun anak saya perlu pertanggungjawaban. Saya baru tau masalah ini. Kevin harus menikahi anak saya. Cucu saya harus punya orangtua yang lengkap.” Seketika ruangan hening. Dadaku dihantam keras, Ayah dan Ibu menjadi gusar.

 

“Nanti bicarakan saat Kevin sadar bu.” Ibu berusaha menenangkan.

 

Apakah aku harus menangis? Aku merasa tidak ikhlas jika suamiku melakukan kesalahan ini. Apa aku sayang pada Kevin? Jawabanya iya. Enam bulan kami menjalani rumah tangga. Tidak mungkin aku tidak punya perasaan apa-apa. Pukulan, cacian yang aku terima bukan malah membuatku menjauhi Kevin tetapi sedikit demi sedikit aku belajar memahami, tidak mengulang kesalahan, ingin yang terbaik di hadapannya. Sebagai istri, aku sangat menghormati setiap keputusan, mengikuti semua peraturan tanpa menolak selama itu yang terbaik.

 

Namun Kevin ternyata menduakanku. Kevin memintaku keluar dari apartement, karena perempuan itu akan tinggal disana. Aku bisa apa? Ayah dan Ibu juga tidak berbuat banyak. Seakan menerima perlakuan Kevin padaku.

 

Aku menjalani aktifitas dengan gunjingan para tetangga yang terus menanyakan kenapa sekarang aku lebih lama tinggal di rumah orangtua. Semakin sering mendengar itu, aku semakin kuat “Hidupku baik-baik saja. Semua ini terjadi atas campur tangan Allah. Allah menjagaku, menjauhkanku dari orang-orang jahat. Aku bersyukur dan yakin Allah mempersiapkan kehidupan yang baik.”

***

Aku berjalan bersama Luki menuju ruang persidangan. Luki teman yang aku kenal sekitar 1 bulan lewat media sosial. Sebenarnya kami pertama kali bertemu dalam acara yang diadakan situs traveling. Tanpa pikir panjang aku ikut dalam rombongan tersebut saat Kevin berada di luar negeri. Luki menjadi salah satu panitia. Dia tipikal lelaki cuek. Seakan tidak ada satupun perempuan yang mampu memikatnya. Namun tanpa diduga, aku mendapat sapaan darinya di media sosial.

 

Ketika Luki datang menyapa, hidupku sedang dalam keadaan sulit. Sikap Luki yang dewasa membuatku tidak sungkan menceritakan masalah yang sedang aku alami. Sehingga kami menjadi teman baik.

 

     Aku tidak butuh dikasihani, yang aku perlukan adalah dukungan. Ketika berhadapan dengan seseorang yang aku cintai namun dia menghianati. Setengah hatiku seakan beku. Antara menerima dan tidak perpisahan ini. Perpisahan dalam hidup pasti ada, namun rasanya ini terlalu berliku.

 

Tidak banyak pembelaan, aku menerima cacian dan tuduhan yang dia lontarkan. Dia masih berstatus suamiku jadi aku tetap menghormatinya. Seakan aku terlalu pasrah menerima jalan yang sudah di takdirkan. 

 

 

 

Terimakasih

Ini Ceritaku, dilarang copypaste!

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar