Hari ini hujan pertama setelah 3 bulan lalu dilanda kemarau panjang.
Tanah tandus, dedaunan
kering, cuaca panas seakan menjadi kenangan yang kelam, namun saat sapaan hujan
itu muncul. Bukan hanya tumbuhan yang kembali tumbuh subur. Namun aku juga seakan
punya tenaga untuk menyapa lagi kehidupan. Ini bukan tentang keluhan tapi
tentang renungan.
***
Perjalanan asmaraku tidak
singkat, enam tahun lamanya. Kenapa memilih bertahan selama itu? Halo, apa yang
kamu pikiran gaya pacaran zaman sekarang? Tidak seperti itu.
Biar aku jelaskan, dia
tidak romantis, tidak banyak uang, tidak tampan tetapi bagiku dia punya nilai
lebih dari lelaki lain. Salah satunya kenyamanan, penuh dukungan, tentunya ke
arah yang lebih baik. Bagaimana mungkin aku bisa melepasnya?
Geo adalah lelaki yang
menjagaku seperti anak perempuannya. Kasih sayang yang tidak aku dapatkan dari
Ayah. Ayah yang tidak menjalankan perannya dengan baik. Kenapa? Ayah menjadi
temperamen semenjak gulung tikar. Dia tidak segan memukul, berkata kasar,
perlakuan yang Ibu dan aku terima setiap hari jika menurutnya kami salah. Saat
itu Geo menjadi pelindungku, tempat berbagi keluh kesah.
Kami bukan pasangan yang
sempurna, pertengkaran sudah pasti ada. Namun kami bisa melewati berbagai
rintangan.
Sempat ada orang yang
berpikiran lain, kenapa kami bisa bertahan. Tuduhan ini datang dari sahabatku,
Lisna. Mengapa bisa berpikiran seburuk itu? Itu tergantung pengalaman
masing-masing.
Tiba-tiba Lisna membahas
hubunganku dengan Geo. Dia berargumen bahwa pacaran yang kami jalani pasti
tidak sehat, sudah terjadi "sesuatu". Aku hanya bisa tertawa sinis,
dia dengan bodohnya punya asumsi seperti itu. Menyamakan dirinya denganku,
sungguh tidak etis.
“Jangan samakan aku dengan
tumpukan sampah di lingkunganmu. Sudah tau busuk, tetapi kamu malah ikut
terjerumus?" Aku menanggapinya dengan kesal, karena suasana hatiku sedang
tidak baik.
"Terjerumus?"
Seakan dirinya tidak bersalah.
"Aku bukan kamu yang
mau memilih bersama seseorang, lalu menyerahkan semua hal yang dia inginkan.
Bagaimana mungkin kita bersikap tenang, melakukan hal tersebut tanpa punya
ikatan resmi."
"Kamu tau apa? Aku
melakukan itu atas dasar suka sama suka. Bukan paksaan."
"Aku pikir kamu
berkata seperti itu karena tidak pernah merasakan dicintai dan mencintai yang
sesungguhnya. Pada dasarnya kamu menyukai seseorang demi sebongkah emas kan?
Aku benci orang serakah. Pikiran sempit membuatmu terjerumus semakin dalam.
Pintarlah! Ingat Tuhan! batasan itu ada aturan, melewati batas sudah ada
hukumnya. Jika kamu sudah tau melewati batas namun tetap melakukannya. Berarti
kamu tidak lebih baik dari pikiranmu tentang oranglain.” Saat itu hubunganku
dan Lisna renggang karena aku terlalu menyinggungnya.
***
Kebanyakan pasangan memilih
berlibur bersama dengan jalan-jalan ke berbagai kota. Berbeda denganku yang
menjadikan Mall sebagai tempat rekreasi. Kami bertemu disela istirahat. Geo
bekerja di salah satu restoran di Mall, tidak jauh dari kantorku. Aktifitas
kita yaitu memperhatikan toko sambil berkhayal suatu hari dapat membeli salah
satu barang di sana.
“Tandai
saja dulu!” Geo berkata seperti itu ketika langkahku terhipnotis pakaian di
salah satu etalase.
"Aku hanya menadainya. Nanti beli yang mirip di pasar saja. Lihatlah
harganya mahal!" Mengeryitkan dahi.
"Jika kamu mau, doakan aku suatu saat
memberikan yang lebih baik dari ini." Tanggapan Geo membuatku tertawa
nyaring.
"Aku sudah dapat
yang lebih baik dari semuanya yaitu memilikimu." Aku senang melihat
pipinya merah.
"Selalu saja berkata
seperti itu membuatku malu saja." Tangannya mengelus lembut kepalaku.
Aku tidak pernah meminta
apapun dari Geo. Jika Geo memberiku hadiah maka akan aku kembalikan. Bukan
tidak menghargainya, namun hubungan kami belum sangat jelas. Lain jika dia
suamiku, aku akan menerima apapun itu. Oleh karena itu, tidak pernah ada
perayaan dalam hubungan kami.
Hanya saja ini yang akan
Geo lakukan saat gajian. Aku tidak boleh menolak. Aku akan datang sebagai tamu
di restoran tempat dia bekerja.
“Ini menu spesial untuk
nona, makanlah dengan nyaman!" Kami tertawa. Hal sederhana yang membuatku
tidak berhenti bersyukur memilikinya.
Namun kebahagianku bukanlah
kebahagian Ayah. Beliau sangat tidak suka hubungan kami. Malam ini menjadi
puncak kemarahannya.
Ayah memberi isyarat Geo
untuk pulang. Dia yang sudah menungguku lembur di kantor, lalu mengantar
pulang. Seakan tidak ada artinya bagi Ayah. Padahal diluar hujan deras, namun
Geo sangat mengerti keadaan itu. Diapun pamit pulang. Uluran tangannya Ayah
tampik begitu saja. Ya Tuhan.
“Kenapa Ayah bersikap
seperti itu? Apa yang salah dengan Geo?” tanyaku meminta penjelasan. Ruang tamu
ini selalu suram apalagi jika kami berkumpul di sana, tidak ada raut
kebahagiaan.
“Masa depannya, kamu kuliah
dan bekerja lantas dia. Pekerjaannya belum pasti. Bagaimana masa depanmu?”
“Masa depanku dengan Geo
akan baik-baik saja. Kami tidak masalah merangkak dari bawah, bukankah keluarga
kita juga seperti itu?”
“Cukup, ini untuk
kebaikanmu. Ayah tidak mau anak Ayah hidup susah.” Sorot mata yang dulu sangat
aku takuti kini seakan menjadi hal biasa.
“Ya aku tau arah
perbicaraan Ayah.” Aku meninggalkan Ayah yang kesal. Ibu diam saja, lantas aku
mendapat pembelaan dari siapa.
Ayah semakin protektif atau
lebih tepatnya temperamen. Semenjak Kevin datang kerumah untuk mengajakku
menikah. Siapa Kevin? Dia lelaki 35 tahun, lelaki mapan pemilik perusahaan
tempat aku bekerja.
Aku tidak menyangka dengan
keseriusan itu karena dikantor kami hanya sebatas atasan dan karyawan. Tidak
ada gelagat yang mencurigakan. Hingga akhirnya dia mendatangi kediamanku.
“Saya serius ingin menikahi
Lia. Saya sudah mapan, umur juga sudah matang. Saya senang dengan kepribadian
Talia yang periang, semangat bekerja seperti melihat diri sendiri ketika muda
saat merintis usaha.” Dia berusaha meyakinkan orangtua, membuatku kesal.
“Saya senang sekali dengan
niat Pak Kevin tetapi bukan saya yang memutuskan. Talia mungkin akan menjawab.”
Ayah dan ibu menatap penuh harap.
“Aku pikir-pikir dulu Pak.”
Seakan siap dengan kemarahan yang akan aku terima dari Ayah.
“Iya tidak apa-apa. Saya
tunggu jawabannya sampai minggu depan.”
Ingin ku mengumpat di depan
wajahnya. “B____, lo pikir gue mau sama lo." Mungkin jika Merry
rekan kerjaku berada di posisi ini. Dia akan menerima lamaran itu tanpa menunggu
seminggu. Sebenarnya bisa saja aku bilang tidak saat itu tapi Ayah dan Ibu akan
bertengkar.
***
Kevin benar-benar menyogok
Ayah dan Ibu dengan kata-kata manis, menjamin keluarga kami, membiayai kuliah,
setelah menikah dia ingin aku fokus menjadi ibu rumah tangga, mengubah
kepemilikkan salah satu apartemen atas namaku. Aku seperti ratu
bukan? Tetapi bukan itu yang aku inginkan. Namun Ayah seakan dibutakan
harta. Hingga setiap malam pembahasan tentang lamaran itu tidak berhenti.
"Bagaimana sudah kamu pikirkan
untuk menerima Kevin?" Baru saja aku selesai makan dan ingin kembali ke
kamar untuk beristirahat. Ayah menghentikan langkahku.
“Ayah, tolong mengertilah
aku bukan anak kecil yang harus diatur dalam berbagai hal. Aku berhak
menentukan pilihan.”
“Lia, kamu satu-satunya
anak Ayah. Ayah berharap banyak padamu.” Wajahnya iba, Ayah tidak pernah
memohon. Namun kali ini dia lakukan demi oranglain.
“Aku tidak menyukai Kevin.
Aku ingin menikah dengan Geo, yah.” penjelasanku.
“Pikirkanlah keluarga kita!
Bukan tentang hidupmu. Ayah ingin kita punya kehidupan yang lebih baik.”
mendengar perkataannya sakit sekali. Keluargaku memang sederhana namun baru
kali ini Ayah meratapi keadaan kami.
“Aku tau tujuan Ayah. Namun
caranya bukan memaksaku menikah dengan orang yang tidak aku suka. Apa salahnya
mensyukuri apa yang kita punya.” rasanya dadaku ingin meledak, namun aku harus
bersikap tenang menghadapi Ayah.
“Ayah bersyukur Allah
bukakan jalan yang baik melalui Kevin. Kamu menolak kesempatan itu?” wajahnya
mulai memerah.
“Aku menolaknya. Alasan
lainnya karena kita beda agama.”
“Masalah itu akan Ayah
bicarakan dengan Kevin. Tidak ada yang sulit.” Ayah masih bersikeras.
“Jika dia berubah keyakinan
karena aku, apa dia benar-benar mencintai agama kita?”
“Tentu saja. Orang yang
mencintai akan melakukan pengorbanan apapun.”
Ayah tidak berhenti
mengagumi Kevin, telingaku hampir terbakar. Ibu memperhatikan tanpa mengucapkan
sepatah kata. Aku yakin, jika membelaku dia hanya akan dituduh istri yang tidak
hormat terhadap suami. Dia akan mendapat pukulan keras.
“Kenapa Ayah bisa seyakin
itu? Yah, yang paling utama dalam pernikahan adalah imam yang baik. Agama itu
bukan paksaan. Jika dia terpaksa mengikuti agama kita apa itu bisa disebut
beriman?”
“Pintar sekali sudah bisa
membantah orang tua. Ayah yakin dia sungguh-sungguh. Lia, dia akan jadi suami
yang baik untukmu dalam segala hal.”
“Segala hal yang membuat
hidup duniamu bahagia dengan bergelimang harta, mungkin itu maksudmu. Kenapa
manusia hidup seegois itu, menyakiti oranglain atau dirinya demi kepentingan
dunia semata.” Ayah menghampiriku, tamparan keras mendarat dipipi. Ibu
terperanjat, sudut matanya berair. Lain dengan mataku yang menolak untuk
menangis, namun rasanya sakit sekali ketika orangtua memaksa hal yang tidak aku
khendaki.
“Pergaulanmu dengan Geo
membuatmu berpikiran sempit. Kamu semakin berani membantah. Bagaimana masa
depan orangtuamu ini tanpa kamu Lia?” Ayah membentak, ibu tertunduk lesu.
“Geo tidak bersalah. Kenapa
Ayah selalu mencemaskan masa depan, saat ini bukankah kita bahagia? Ini sudah
lebih dari cukup.”
“Kalau ada yang lebih tuh
ya dipilih, jangan di sia-siakan! memang kamu hidup hanya pakai perasaan.” Ayah
sangat kesal.
“Apa salahnya menyukai
seseorang yang paling sederhana dimuka bumi. Siapa tau dia paling mulia dimata
Allah. Geo memang sedang merintis usaha tetapi aku yakin dia sangat
bertanggung jawab."
“Sampai kapan dia merintis,
lantas jadi sukses. Kapan dia membahagiakanmu? Sanggupkah kalian melewati
kesederhanaan itu sampai kalian menikah? Ayah tidak mau anakmu nanti hidup
seperti ini, dibesarkan tanpa apa-apa.”
Aku kesal Ayah merendahkan
diri. Lantas pernikahan aku dengan Kevin sudah seperti aku mengemis padanya.
Sungguh rendah sekali martabat perempuan dimata orang-orang yang berkuasa.
“Aku tidak kecewa
dibesarkan seperti ini. Kebahagiaan itu tidak dilihat dari dia memiliki banyak
uang tetapi dari kasih sayang yang ia terima. Di dunia ini tidak ada yang
miskin. Sampai kapanpun kita tidak akan merasa cukup jika tidak bersyukur, lebih
parahnya kita terus tenggelam dalam rasa iri terhadap sesuatu yang lebih. Namun
ketika kita mensyukuri nikmat yang kita terima setiap hari. Kita adalah orang
yang selalu bahagia. Mau sampai kapan terus mengeluh sama keadaan?” Aku
memojokan Ayah, namun bukan dia jika mengalah.
“Ayah tidak mau tau.
Berikan jawaban iya saat Kevin datang ke rumah kita!”
Perkataanku seakan hanya
satu kerikil kecil yang menyentuh permukaan kulit, tidak membekas, sapuan
tangan menjatuhkannya kepermukaan, terinjak lalu hancur. Bagaimana jika kalian
berada di posisiku? Siapa yang akan kalian pilih, lelaki yang membuat nyaman
atau membuatmu mapan? Siapa sih yang tidak ingin hidup dengan lelaki yang bisa
membuat nyaman sekaligus mapan. Namun kini aku punya pilihan yang berbeda, Geo
atau Kevin.
***
Ibu membuka pintu kamarku
perlahan. Ku perhatikan geriknya. Dia datang ke kamarku saat Ayah asik menonton
televisi.
"Apa ibu mengganggu
mu?" Ibu ragu untu menghampiriku.
Aku terduduk di tepi
ranjang. Lembaran kertas berhamburan, sangat berantakan. Bukan karena
tidak aku bereskan namun baru saja aku membuatnya terbang tidak tentu arah
karena kesal mendengar ocehan Ayah membahas lamaran Kevin.
"Bu, aku lelah. Aku
salah apa? Apa aku sedang di uji Allah untuk melatih kesabaran?" Air mataku
menetes. Ibu duduk disamping, mengelus lembut punggungku.
"Ini bukan salah mu.
Kita orangtua yang memaksakan khendak pada satu-satunya anak yang kami miliki.
Sehingga setiap hari membuatmu cemas." Suaranya serak.
"Bu." Aku
memeluknya erat. "Maaf, apa yang aku usahakan untuk membahagiakan Ayah dan
Ibu rasanya masih kurang, sangat kurang jika dibandingkan kasih sayang kalian
selama ini. Tetapi aku akan terus berusaha."
"Talia, kami
membebanimu dengan banyak keinginan. Ibu tidak bisa berbuat apa-apa saat Ayah
memojokkanmu. Ibu minta maaf nak." Air mata yang hangat membasahi pundaku.
"Tidak apa-apa bu, aku
tidak ingin melihat Ibu terluka karenanya." Pelukan ini sedikit membuatku
lega. Walaupun kegelisahan itu tetap membayangi. Rasa tidak nyaman setiap berada
di kantor dan rumah yang tidak bisa aku hindari.
***
Aku menunggu Geo di
dekat parkiran. Kami berencana bertemu saat jam istirahat. Dia berjalan
kearahku dengan sangat gusar, seperti menyembunyikan sesuatu. Namun aku sambut
dengan senyuman.
“Lia, maaf membuatmu
menunggu lama.”
“Tidak perlu minta maaf.
Aku akan berdiri disini tanpa lelah menunggumu walaupun harus berjam-jam.”
Aku menggoda, namun Geo sangat serius. Biasanya dia menimpali candaan
namun kali ini tidak.
“Bagaimana kabar Ayahmu?”
“Baik, kita mau jalan
kemana?” Aku berusaha mencairkan suasana karena sepertinya Geo sedang banyak
pikiran.
“Lia, kita berhenti saja
sampai disini.” Tatapan kosong itu, hatiku tiba-tiba tersengat.
“Maksudmu?” aku berpikir
kalau Geo baru saja mengatakan hal yang salah.
“Kita putus.” Mendengar
penjelasannya, tanganku mulai dingin, gemetar.
“Kenapa tiba-tiba
mengatakan ini, kamu pasti bercanda?” masih tidak percaya dengan apa yang
barusan aku dengar.
“Aku serius, percuma saja
kita jalani jika orangtuamu tidak merestui. Aku bisa apa, aku bukan anak orang
kaya yang bisa mengabulkan segala keinginanmu.” Geo tersenyum getir. Rasanya
aku ingin menangis namun tidak bisa.
“Memang aku minta apa? Aku
tidak memintamu mengabulkan permohonan. Aku menerima kekurangan, menghargai
kelebihanmu. Jangan dengarkan Ayahku! kita hidup bukan untuk diatur orang.
Kenapa kamu seperti ini?”
“Lia, ayahmu tidak suka
padaku. Selama 6 tahun tidak ada perubahan yang berarti, bukannya jadi baik
malah tambah buruk.” Geo kesal. Dia yang biasanya tegar terlihat lemah hari
ini.
“Geo, aku tidak peduli apa
yang oranglain katakan, aku mencintaimu karena kebaikanmu, sikap dewasa yang
mengayomi serta memahamiku, kesederhanaan yang selama ini kita jalani. Aku
mohon jangan menyerah! Aku memperjuangkanmu.”
“Maaf Lia, aku menyerah.”
Dia menarik nafas panjang.
“Ayo kita meminta restu
orangtuaku. Kita buktikan pada mereka bahwa kita mampu menjalani hidup sesuai
dengan rencana yang sudah kita susun.” Aku menggenggam tangannya, namun
terperanjat saat Geo menepis.
“Lia jangan bodoh. Doa
orangtua akan selalu menyertaimu. Aku yakin hidupmu lebih baik tanpa aku.
Terimalah keputusanku! Jalanilah masa depanmu dengan Kevin. Jangan pernah
mengecewakan orangtuamu!” perkatannya seperti petir di siang bolong. Aku tertunduk,
terisak, menutup telinga dari ocehan Geo.
“Terus saja kalian menyebut
nama Kevin, kevin, kevin. Aku muak mendengar orang selalu membanggakan dia.
Kamu saja yang menikah dengannya. Kita tukar posisi saja brengsek.” Aku tidak
kuat lagi dengan rasa sesak yang menyerang dada.
“Lia, jangan seperti ini!”
Geo merentangkan tangannya untuk memeluk, namun aku mendorong badannya sampai
mengenai pagar pembatas.
“Tinggalkan aku sendiri!
Pergi dariku! itu kan yang kamu inginkan.” Kecewaku sudah diambang batas.
“Lia, aku minta maaf.”
Suaranya yang lembut tidak mampu meredakan amarah. Aku sangat benci dikasihani.
“Aku bilang pergi!” Aku
menatap tajam sehingga dia paham, melangkah pergi, meninggalkanku. Saat tidak
lagi terlihat sosok Geo, aku mulai menangis.
Kamu pikir aku apa, boneka
yang seenaknya kamu berikan pada oranglain. Seakan 6 tahun tidak berarti
apa-apa, berhenti untuk memperjuangkan. Ya, aku perempuan cengeng, lemah dalam
menghadapi masalah seperti ini. Aku bahkan tidak peduli dengan tatapan orang yang
melihatku terduduk di tanah, menangis tersedu-sedu.
Setelah kejadian itu, aku
terbaring di rumah sakit. Kevin dan orangtuaku berada di ruang tunggu. Tante
bilang semua biaya ditanggung Kevin, Geo yang pertama menawarkan Ayah tolak.
Aku sangat terpukul dan
ingin membuang jasadku di suatu tempat, namun aku belum mati. Aku merasakan
perutku seakan digoncang, kepalaku berputar-putar, mual yang mendera membuat
badanku lemas. Berulang kali aku berdoa, pasrah akan kehendak Tuhan. Aku telah
mendapat hukuman dunia atas kesalahan ini.
“Aku baik-baik saja Geo.”
aku memberi isyarat pada Geo yang mengkhawatirkanku dibalik
pintu. Dia tersenyum membuat lega.
Aku tidak ingat siapa yang
membawaku ke rumah sakit tetapi aku senang melihat Geo disini. Meskipun dia
tidak diizinkan masuk kedalam ruangan.
“Tuhan, pria itu sangat
sabar dengan cacian. Sapaan hangat tetap dia tunjukan pada Ayahku yang angkuh.
Salahkah jika aku sayang padanya?”
Tante baru saja masuk,
membisikan suatu pesan. “Geo pamit pulang. Semoga lekas sembuh! Jangan
khawatir, aku tetap sahabatmu.” Aku mengangguk pelan, ingin menangis.
Geo hanya berani
menyampaikan pesan pada tante. Tanteku yang mengabarkan pada Geo kalau aku
dirawat di rumah sakit. Dia tidak tau kalau kami sudah berpisah.
Kenapa aku disini? Aku
memandang sorot mata Ibu dan tante yang merasa iba, Ayah yang marah, Geo yang
merasa bersalah dan Kevin kecewa.
Aku berada disini karena
sangat frustasi, pikiranku sempit sehingga memilih menenggak sebuah *tidak
untuk ditiru*. Jika kamu bilang aku tidak waras. Silahkan! Bagaimana jika kita
tukar posisi saja? Saat ini aku memilih menjalani hidup oranglain daripada
berada di jasadku. Ya Tuhan maafkan aku lupa untuk bersyukur.
Hari ini aku merasa jadi
manusia paling hina, hampir saja aku mati dengan cara yang tidak Allah sukai.
Hukuman yang harus aku rasakan saat ini dari kecerobohanku, rasanya bukan
apa-apa jika dibandingkan dengan siksaan yang akan aku terima jika aku mati.
***
Setelah kejadian itu, Ayah
bukannya memberikan aku hak pilih. Namun dia semakin mantap menikahkan aku
dengan Kevin. Sebulan lagi kami akan menikah. Begitulah rencana yang sudah
diatur, apa dia jodohku? Aku tidak tau, tetapi ketika Geo benar-benar menyerah
dan orangtua ku memohon. Aku mengambil keputusan untuk mengabulkan permintaan
orangtua ku.
Gaun panjang yang menjuntai
indah, riasan yang membuatku jadi tatapan setiap orang, bagai ratu
sehari. Senyuman mereka ku balas dengan ikhlas, namun sejak kemarin sudut
mataku menahan kesedihan.
“Lia, ini Yuke pemegang
saham di perusahaanku di daerah ……….” Kevin mengenalkanku pada seorang
perempuan dengan tatapan aneh, sinis, mungkin cuma perasaanku saja. Tetapi hal
itu ku rasakan saat dikenalkan pada semua kerabat Kevin.
Aku benar-benar menikah
dengan Kevin. Sebulan kita lewati dengan baik-baik saja. Memang awalnya aku
merasa tidak nyaman dengan perubahan hidupku. Aku tinggal di apartemen yang
lumayan megah di wilayah ini, namun dengan penilaian yang buruk. Orang bilang
apartemen ini kebanyakan ditempati wanita simpanan.
Ku jalani hari-hari seperti
perempuan lain yang sudah menikah. Apa kabar orangtua ku? Mereka mendapat
fasilitas kontrakan yang cukup besar, seperti keinginan Ayah.
Semakin lama aku semakin
tau perangai Kevin, tempramen, pelit dan overprotektif. Aku hanya mendapat
jatah uang belanja yang sedikit sehingga harus bisa menambah penghasilan
sendiri. Aku membuat kue dan menjual secara online, dengan modal yang aku punya
selepas berhenti bekerja.
Kevin mudah marah ketika
aku melakukan kesalahan, pukulan, kata kasar dan tamparan menjadi hal biasa.
Entah kenapa dia mirip dengan Ayah. Tapi aku tetap menghormatinya.
***
Hujan turun sangat deras,
aku menunggu Sheril di lobi kampus. Kami janjian akan bertemu dosen untuk
konsultasi tentang judul skripsi. Aku sama sekali tidak mengecek ponsel,
setelah selesai konsultasi barulah aku sadar ada 20 panggilan tak terjawab dari
Kevin. Aku mencoba menghubunginya kembali.
“B*****, a**** lo kemana
aja, selingkuh lo? dari tadi gue telepon. Awas aja lo kalau balik gue
mampusin.” Aku sengaja mengeraskan suaranya, saat itu lobi sepi dan Sheril
penasaran dengan ceritaku mengenai perangai Kevin.
“Daritadi aku dikampus
ketemu dosen. Kan sudah izin, ini baru selesai dan aku mau mengabarkan.”
“Bacot lo. Emang lo a****.”
Suaranya makin meninggi.
Kevin sangat overprotektif,
dia sangat tidak suka jika aku tidak memberi kabar, harus jelas pergi dengan
siapa, tidak diizinkan pergi dengan oranglain kecuali ke kampus. Jika pergi
kemana-mana Kevin akan selalu ikut meskipun harus mengganti jadwal ke kantor.
“Maunya bagaimana? Apa
harus standby terus sama ponsel? Kuliahku tidak akan selesai.” aku ikut kesal.
“Mending lo gak usah
kuliah, kuliah aja masih bego. Gak punya otak aja belagu.” Ucapnya tanpa
memikirkan perasaanku.
“B………...”. bathinku
menjerit. Rasanya ingin memaki. Namun akan ada pukulan keras setelah ini.
Sheril disampingku bergidig apalagi aku yang hampir tiap hari mendengar
omelannya.
“Balik sekarang, gue gak
mau tau. Lo harus ada di rumah jam 4. Kalau lo berani keluar sama orang, lo tau
sendiri hukumannya a*****.”
“Ini jam 3 butuh waktu 2
jam ke apartement. Bagaimana bisa aku datang tepat waktu di jam yang macet.”
“Banyak alasan. Balik atau
gue laporin ke bokap kalau lo gak nurut. Kapan sih lo bisa berguna buat gue?
Mau Ayah lo tau.” Gertakan yang selalu aku terima. Aku akan mendapat omelan
lagi jika terus membantah Kevin.
Semakin hari semakin jelas,
kalau aku tidak mendapat pembelaan dari siapapun. Ketika luka memar itu
membawaku masuk rumah sakit dengan santainya Ayah memarahiku, baginya itu hukuman
yang baik buat istri yang membantah suami. Padahal aku hanya melakukan
pembelaan atas hak ku untuk mendapat perlakuan baik dan perlindungan.
***
Kehidupan Kevin sangat
terbalik dengan ku. Namun dia tidak mau aku mengikuti kebiasaan buruknya. Menurutnya
berada dirumah lebih cocok untuk seorang istri. Setiap mengalami masalah di
kantor, Kevin lebih senang berada di diskotik. Aku sudah melarangnya, namun
tidak akan dia dengarkan.
Malam ini aku mendapat
kabar kalau Kevin kecelakaan saat sedang mabuk. Mobilnya terguling menabrak
pembatas, satu korban perempuan meninggal, lalu Kevin dan satu perempuan
lainnya selamat.
Aku menemaninya di kamar
inap. Ibu dan Ayah sedang dalam perjalanan. Tiba-tiba perempuan paruh baya
menghampiriku.
“Ini kamar Kevin?” tanyanya,
terlihat sangat letih.
“Iya benar bu, ada apa bu?
Beliau belum sadar.”
“Saya hanya ingin
menyampaikan sesuatu pada Kevin.” Ucapannya terhenti ketika Ibu dan
Ayah memasuki ruangan. Dia menatap orangtuaku dengan penuh kekesalan.
“Mumpung ada orangtuanya
Kevin, saya mau meminta pertanggungjawaban Kevin terhadap bayi yang dikandung
anak saya.” Ibu dan Ayah terperanjat dengan pernyataan yang ditujukan.
“Maksud ibu apa? Kalau
ngomong jangan sembarangan.” Ayah geram.
“Saya memang orang miskin
pak, tapi bagaimanapun anak saya perlu pertanggungjawaban. Saya baru tau
masalah ini. Kevin harus menikahi anak saya. Cucu saya harus punya orangtua
yang lengkap.” Seketika ruangan hening. Dadaku dihantam keras, Ayah dan Ibu
menjadi gusar.
“Nanti bicarakan saat Kevin
sadar bu.” Ibu berusaha menenangkan.
Apakah aku harus menangis?
Aku merasa tidak ikhlas jika suamiku melakukan kesalahan ini. Apa aku sayang
pada Kevin? Jawabanya iya. Enam bulan kami menjalani rumah tangga. Tidak
mungkin aku tidak punya perasaan apa-apa. Pukulan, cacian yang aku terima bukan
malah membuatku menjauhi Kevin tetapi sedikit demi sedikit aku belajar
memahami, tidak mengulang kesalahan, ingin yang terbaik di hadapannya. Sebagai
istri, aku sangat menghormati setiap keputusan, mengikuti semua peraturan tanpa
menolak selama itu yang terbaik.
Namun Kevin ternyata
menduakanku. Kevin memintaku keluar dari apartement, karena perempuan itu akan
tinggal disana. Aku bisa apa? Ayah dan Ibu juga tidak berbuat banyak. Seakan
menerima perlakuan Kevin padaku.
Aku menjalani aktifitas
dengan gunjingan para tetangga yang terus menanyakan kenapa sekarang aku lebih
lama tinggal di rumah orangtua. Semakin sering mendengar itu, aku semakin kuat
“Hidupku baik-baik saja. Semua ini terjadi atas campur tangan Allah. Allah
menjagaku, menjauhkanku dari orang-orang jahat. Aku bersyukur dan yakin Allah
mempersiapkan kehidupan yang baik.”
***
Aku berjalan bersama Luki
menuju ruang persidangan. Luki teman yang aku kenal sekitar 1 bulan lewat media
sosial. Sebenarnya kami pertama kali bertemu dalam acara yang diadakan situs
traveling. Tanpa pikir panjang aku ikut dalam rombongan tersebut saat Kevin
berada di luar negeri. Luki menjadi salah satu panitia. Dia tipikal lelaki
cuek. Seakan tidak ada satupun perempuan yang mampu memikatnya. Namun tanpa
diduga, aku mendapat sapaan darinya di media sosial.
Ketika Luki datang menyapa,
hidupku sedang dalam keadaan sulit. Sikap Luki yang dewasa membuatku tidak
sungkan menceritakan masalah yang sedang aku alami. Sehingga kami menjadi teman
baik.
Aku
tidak butuh dikasihani, yang aku perlukan adalah dukungan. Ketika berhadapan
dengan seseorang yang aku cintai namun dia menghianati. Setengah hatiku seakan
beku. Antara menerima dan tidak perpisahan ini. Perpisahan dalam hidup pasti ada,
namun rasanya ini terlalu berliku.
Tidak banyak pembelaan, aku
menerima cacian dan tuduhan yang dia lontarkan. Dia masih berstatus suamiku
jadi aku tetap menghormatinya. Seakan aku terlalu pasrah menerima jalan yang
sudah di takdirkan.
Terimakasih
Ini Ceritaku, dilarang
copypaste!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar