Kamis, 26 Januari 2012

CERPEN "PERPISAHAN"

Jangan biarkan perbuatan salah, menutup ingatan yang baik! 

Kita sendiri yang mengatur akal dan pikiran untuk melakukan suatu perbuatan.

Jadikanlah setiap detik itu perjalanan yang berarti! Namun terkadang kita menganggap yang lalu biarlah berlalu. Jika pemikiran kita seperti itu. Apa gunanya kita hidup dalam setiap hitungan?

 

Panorama alam pedesaan tampak nyata di pelupuk mata. Tidak ada deretan rumah yang menjulang tinggi menghalangi senyum mentari. Suasana ini sejenak membuat seseorang melupakan kegundahan yang terasa setiap hari.

 

Luna duduk pada kursi di balkon kamar. Memejamkan mata, mendengarkan lagu di ponsel dengan volume keras hingga mempermainkan kesadaran. 

 

Waktu liburan ini dia mengunjungi desa tempat Ayahnya dilahirkan. Pemandangan desa masih asri, jauh dari bising dan polusi kendaraan. Desa menyuguhkan pemandangan asri, suara kicau burung, gemericik aliran sungai dan ramai riuh pemukiman penduduk.

 

Padang hijau terbentang menyambut mentari kembali ke peraduan. Lukisan alam menghias kornea. Menentramkan lamunan sepi, mengantar seruan petani kembali ke tempat singgah, membawa seikat kerja keras untuk nyanyian riang anak-anak tidak bersayap.

 

Gunung menjulang menghalangi mentari. Sang surya meredup, berganti senyum tipis bulan merajai langit. Sinarnya memancar menguasai kelam. Luna menyambut hawa dingin. Termenung menyusuri kesunyian, memutari detak waktu dalam diam, menghapus problema hidup yang membebani, mengajak raga berpikir dewasa. Dia ingin menyembunyikan pikiran, walau sejenak sampai akhirnya mengerti inilah rotasi kehidupan.

 

Perjalanan dalam remang membawa keputusasaan. Meringis sendiri dalam gelak tawa setiap insan. Hidup dalam balutan nestapa yang ingin terakhiri. Kehidupan serumit apapun telah Engkau khendaki. Takdir mengikuti setiap langkah. Terpancar kuasaMu dalam gelap.

 

 “Luna. Apakah suaraku sudah bisa kamu dengar?” Seseorang mendekatkan suara kencang tepat di telinga. Luna terbangun, menatap geram tetapi seuntai senyum tersungging di bibir Selin, mengajak berdamai.

 

“Selin apa yang kamu lakukan? Mengganggu saja.” Menatap wajah tidak bersalah. Luna kembali berbaring tetapi Selin segera menarik tangan Luna. Dia jengkel melihat orang di hadapannya tetap duduk malas.

 

“Ayolah Luna. Apakah kamu akan menghabiskan waktu di kamar?” bujuknya.

 

“Tentu saja tidak tetapi aku lelah. Malam ini waktuku untuk istirahat. “ Luna berjalan menuju kamar, menghempaskan badan ke tempat tidur.

 

“Keluarlah! Cari waktu yang tepat untuk menemuiku!” dengan nada kesal.

 

“Baiklah, aku minta maaf telah mengganggumu. Tidurlah!” Luna mengangguk, memang itu yang dia harapankan.

 

Pintu kaca tertutup perlahan, kamar meredup. Langkah Selin mendekat, membenarkan selimut untuk menutupi badan Luna, tangan lembut mengusap rambut.

 

Ini hari ke tiga Luna tinggal di desa. Rumah besar diisi 5 orang termasuk Luna. Nenek, orangtua Ayahnya yang terlihat awet muda. Selin yang Luna anggap sepupu, padahal dia tidak tau asal-usul gadis itu. Terakhir pasangan muda yang Nenek anggap anak sendiri, Teh Uci dan suaminya A Dodi. Liburan sekolah tahun ini Luna dititipkan pada keluarga Ayahnya, padahal biasanya dia habiskan liburan di kota metropolitan bersama teman atau berdiam diri dirumah karena orangtua dari Ibunya sudah meninggal, tidak ada sanak saudara lagi.

 

Umur Selin dan Luna tidak terpaut jauh. Selin sangat baik tetapi Luna tidak mudah akrab dengan orang. Menurutnya, orang lama seperti Ibu saja tidak mengerti dirinya apalagi orang baru. Ibunya sibuk bekerja, menggantikan tugas Ayah yang telah tiada.

 

Luna tumbuh seperti anak lain. Namun bukan orang yang mudah bersosialisasi, cenderung menyendiri dan tidak suka diganggu. Baginya teman cenderung menginginkan seseorang menjadi orang lain, lebih baik sendiri tetap menjadi diri sendiri.

***

 

Kriuk..kriuk.. Bukan suara detak jarum jam di samping ranjang, bukan suara ayam pertanda mentari telah beranjak menuju singgasana. Bunyi itu akibat getaran cacing perut meminta sesuap nasi. Semalam Luna tidak sempat makan karena tertidur pulas.

 

Luna duduk di tepi ranjang, melihat jam beker di atas meja menunjukan jam 07.00. Nyawa belum seluruhnya berkumpul. Malas hinggap memberatkan otot-otot saraf, memaksa kaki menuju kamar mandi, kemudian membasuh muka.

 

“Luna kemarilah!” sebuah suara memanggilnya dari arah dapur.

 

“Ada apa Nek? Apa ada yang perlu ku bantu?”

 

“Tidak nak, Nenek hanya ingin menyiapkan sarapan untukmu. Duduklah!” Luna duduk di depan meja makan, memandang Nenek yang sibuk memindahkan soto ayam ke mangkuk.

 

“Terimakasih Nek.”

 

“Makanlah! Nenek lihat dari kemarin sore kamu tidak keluar kamar. Kamu pasti lapar.”

 

“Nenek tidak ikut makan? Bagaimana kalau aku ambilkan biar kita makan bersama?”

 

“Masih kenyang, tadi pagi Nenek makan bersama Selin.”

 

“Selin?“ Mendengar namanya teringat kejadian tadi malam.

 

Luna membentak, harusnya tidak perlu bersikap kasar. Luna tidak sempat menanyakan perihal dia menemuinya. Hal itu Luna lakukan saat canggung.

 

“Selama kamu disini, Selin yang akan memasak khusus untukmu.”

 

“Kenapa?”

 

“Itu keinginannya. Perbuatan baik tidak akan Nenek larang.” mendengar penuturan Nenek bagai hantaman keras. Amarah telah melukai orang yang memperhatikannya. Ibunya saja tidak pernah menyiapkan makanan. Mungkin dia juga tidak tau makanan kesukaan Luna.

 

“Selin.”

 

Selin duduk di bawah pohon tidak jauh dari rumah, melambaikan tangan. Luna memberanikan diri, berjalan menghampiri dengan perasaan bersalah.

 

“Sedang apa kamu di sini?”

 

”Bukankah aku selalu menunggumu di sini, putri tidur.” Senyum mengembang di pipinya membuat Luna takut.

 

”Menungguku?” Bagaimana Luna percaya jika setiap pagi, siang, bahkan sore hari, sering melihatnya duduk di sini dengan buku bacaan di tangan. Wajah serius menggurat kepribadian baik, Luna tidak berani mengganggu.

 

”Ada apa kamu mencariku?”

 

“Iya, aku...” ucap Luna menggantung.

 

“Mau mempertanggungjawabkan kesalahanmu?” Selin menepuk pundak Luna.

 

“Memang aku salah apa, asal kamu tau saja aku tidak peduli kamu marah atau tidak, aku kesini hanya untuk.” Luna berat mengatakan kejujuran. Haruskah mempertahankan keegoisan di saat seperti ini? Belajar mengatakan sesuatu yang bermanfaat agar tidak mengulang kesalahan yang sama, rasanya sulit.

 

“Untuk apa Luna?”

 

“Untuk mengatakan. Aku tidak suka melihatmu duduk di bawah pohon ini. Bagaimana kalau kamu cari tempat lain? Jangan menghalangi pemandangan depan jendela kamarku! Aku tau tidak berhak untuk mengatur hidupmu tetapi kamu sangat mengganggu.“

 

Selin menanggapi dengan tersenyum. Luna tidak berani mengatakan apa-apa lagi. Sebenarnya bukan itu tujuan Luna tetapi bibir tersumbat, egois menghambat kata yang sudah tersusun untuk mengakhiri pertentangan, sehingga terlontar ucapan tidak sesuai. Luna memilih pergi.

***

 

Gadis berparas cantik itu tidak menggubris perkataan Luna tempo hari. Saat dia membuka jendela, Selin sudah berada di bawah pohon. Luna ingin sekali menyapa tetapi tidak mampu berucap, ingin sekali tersenyum tetapi terlanjur malu. Malu mengungkapkan bahwa dia ingin berjabat.

 

“Selin, maaf! Waktu itu aku sangat egois.” Kata maaf terlontar saat hati memaksa Luna menemuinya. Berharap dia mengerti keegoisan telah merubah tabiat seseorang, melupakan arti memahami oranglain. Luna tidak mendapat jawaban, Selin melangkah mundur, menutup setengah wajahnya dengan buku.

 

“Kamu marah padaku?”

 

“Luna, aku tidak suka melihat wajahmu seperti itu!”

 

“Wajahku? Ada apa dengan wajahku?” Luna sedikit panik, memegangi area wajahnya.

 

“Wajahmu membuat perutku sakit. Jika kamu tunjukan wajah memelas sekali lagi, itu akan mengundang tawa seharian ini. Kamu lucu sekali.” Perkataanya terlanjur membuat wajah Luna memanas. Selin tersenyum meyakinkan kalau dia tidak serius.

 

“Aku akan memaafkanmu. Jika kamu mau menemaniku keliling desa. Bagaimana?”

 

Luna mengangguk lega. Meskipun berat untuk dia lakukan, bersosialisasi dengan orang baru. Kepribadian Selin sulit di tebak. Luna bisa saja tidak berteman jika dia menyinggung kehidupan pribadi. Luna lebih senang dekat dengan orang yang tidak banyak bertanya. Jika mau, dia akan ceritakan semua kisah hidupnya, cukup dengarkan saja!

 

Kabut menutupi jalan setapak, semilir angin menusuk tulang. Masuk menjelajah pori-pori yang seakan terbuka lebar. Luna mengigil kedinginan, asap putih keluar dari hembusan nafas. Jaketnya tidaklah setebal jaket musim dingin tetapi Selin yang mengenakan kaos lengan pendek terlihat menikmati udara pagi.

 

Mata kembali terisi memori indah bagai kamera menemukan objek foto. Para petani berjalan beriringan melewati tepian sawah, menyusuri jalan setapak, menebar senyum pada benih yang baru di semai, meyakinkan bahwa esok hasil panen akan melimpah.

 

Satu jam terlewati, Luna berlari sejajar bersama Selin. Mereka mengelilingi desa, bersenda gurau, bercengkrama, sesekali membuat lelucon. Luna tidak pernah merasa seperti ini. Bersamanya seakan muncul pelangi menghapus jejak tinta hitam. Sekarang apakah mereka berteman? inikah teman yang Luna inginkan?

 

Mereka berlari seperti siput. Jika cuaca panas, Luna pasti terkapar di tengah jalan. Dia memutuskan berlari cepat, Selin tidak mau mengalah. Mereka saling menyusul. Terkadang harus berhenti untuk mengatur nafas, menertawakan kekonyolan masing-masing.

 

Luna berlari mendahului Selin, tetapi tidak mendengar teriakan yang bisa saja memecahkan gendang telinga. Mungkin Selin berada jauh di belakang. Selin selalu ingin Luna menunggu tetapi saat lengah, dia akan ditinggalkan. Namun Luna tidak mendengar langkah kaki, tidak mungkin Selin melepas sepatu di jalan berbatu untuk mengelabui. Langkah Luna terhenti, memutar badan ke belakang untuk memastikan. Rasa panik berkecamuk saat melihat Selin duduk di pinggir jalan.

 

”Selin, apa kamu baik-baik saja?” Tidak terdengar jawaban. Luna mengangkat kepala yang tertunduk, wajah Selin pucat.

 

“Selin, bertahanlah! Katakan sesuatu! Ayo kita pulang saja sepertinya kamu sakit.”

 

“Aku baik-baik saja Luna. Bisakah kamu rahasiakan ini dari Nenek, aku tidak mau beliau khawatir!”

 

“Baiklah.” Luna memutuskan membawa Selin ke tepi. Ada pohon besar untuk bersandar, menunggu sampai badan Selin membaik.

 

“Maaf Luna, aku merepotkanmu.”

 

“Tidak, aku sudah janji akan menemanimu sebagai permohonan maaf.”

 

“Aku rasa kamu tidak bersalah.”

 

“Tetapi aku merasa begitu.”

 

“Setiap orang pernah melakukan kesalahan. Jangan biarkan kesalahan membuat kamu membenci seseorang! Aku tidak pernah membenci siapa-siapa. Apalagi kamu, tidak akan pernah.”

 

“Meskipun aku mengecewakanmu?”

 

“Hidup penuh kekecewaan. Jika kamu merasa terpuruk karena di kecewakan. Kamu salah besar. Jadikanlah rasa kecewa sebagai acuan untuk kamu berpikir dewasa!”

 

“Bagaimana caraku berpikir dewasa, jika rasa kecewa itu menundukanku?”

 

“Bukankah kamu hidup di dunia tidak untuk mengalah pada keadaan? Tuhan selalu menyertaimu. Kenapa kamu malah mengecewakanNya? DIA akan menolong jika kamu meminta.”

 

“Ya, aku tidak menyadari. Aku selalu merasa sendiri, semua orang meninggalkanku. Ketika aku percaya pada teman, dia menghianati. Ketika aku percaya pada kekasihku, dia menyakiti. Ketika aku butuh sandaran ibu, dia tidak ada waktu.”

 

“Tuhan selalu ada untukmu.” Luna mencoba memahami ucapannya. Angin semilir mengibas rambut panjang yang tergerai, Selin sangat tenang. Mereka merasakan udara segar masuk menghilangkan sisa-sisa polusi yang menyumbat paru-paru.

***

 

Selin merubah kebiasaan Luna yang senang menyendiri. Setiap hari ada aktifitas yang dilakukan bersama seperti menemani Teh Uci berbelanja ke pasar, mengunjungi pasar malam bersama-sama, bermain di sungai dan sawah dengan anak desa, memancing ikan, memasak dengan Selin, membereskan rumah, bahkan membantu A Dodi di ladang. Luna tidak keberatan diajarkan banyak hal dengan kesabaran.

 

“Benarkah.” Menatap wajah berbinar membuat semangat Luna memuncak, menutupi rasa sedih.

 

Waktu liburan terlewati penuh sukacita. Luna mulai betah tinggal di desa, Nenek, Selin, Teh Uci dan A Dodi selalu memperhatikan. Namun ini hari perpisahan, sebelum mobil jemputan yang di kirim Ibunya datang membawa Luna kembali menikmati hiruk-pikuk metropolitan.

 

“Kalau begitu kita mulai hari ini dengan bermain sepuasnya.”

 

“Terserah padamu Selin!”

 

Selin mengenggam tangan Luna. Berlari dengan tawa riang menyusuri aliran sungai. Aliran air bagai sebuah nada, mengalun merdu menyatu diantara suara petani bercengkrama. Bagai lagu pembuka mentari beranjak naik. Petani memikul beban di pundak. Tersenyum menyambut deretan padi. Berharap kerja keras mereka tidak mengecewakan seperti senyum mentari. Desa sangat setia memberikan pemandangan indah. Luna ingin waktu melambat agar tidak kehilangan kehidupan yang nyaman.

 

”Bisa kita mulai pertandingannya?”

 

Luna dapat mendengar suara itu tetapi tidak mampu menjawab. Masih berdiri mematung di pinggir lapangan. Ada perasaan lain dalam hati, sulit di pahami harus senang atau sedih. Luna berharap Ibu akan mengembalikannya ke tempat ini.

 

Selin melemparkan bola basket ke arah Luna. Beruntung dia berhasil menangkapnya kalau tidak kepala akan merasakan keras bola.

 

“Ayo cepat! Kenapa malah mematung? Apa kamu tidak berani melawanku?”

 

Luna berlari ke tengah lapang. Memantulkan bola di tangan. Lapangan desa biasanya digunakan sesuai kepentingan penduduk, tidak besar tetapi letaknya strategis tidak jauh dari pesawahan.

 

Selin bermain agresif dalam merebut bola. Saking cepatnya lawan tidak akan menyadari. Dia pintar mengecoh membuat Luna kesulitan. Dia asik mempermainkan Luna, sengaja memancing rasa jengkel tetapi Luna sudah terbiasa dengan tingkah jailnya. Meskipun pertandingan ini harusnya serius tetapi gelak tawa tidak pernah berhenti. 

 

Skor yang Luna dapat sangat tertinggal, melihat Selin tertawa riang lebih berarti ketimbang skor tinggi.

Rasa lelah terhiraukan saat kesenangan bisa melebihinya.

 

Permainanmu tadi lumayan bagus Luna.”

 

”Pendapatmu hanya lumayan?”

 

“Sedikit lebih bagus jika kamu berhasil mengalahkanku.”

 

”Hari ini aku kalah, nanti aku akan membalasnya. Tunggu saja!

 

“Aku tunggu suatu saat nanti!”

 

“Apa kamu meragukan kemampuanku?”

 

”Tidak, aku akan menunggkapan kamu berhasil mengalahkanku.” Tangan mencubit kedua pipi Luna pelan. Luna tertawa, begitu juga Selin.

 

Selesai makan siang, Luna berjalan menuju kamar. Selin duduk ditepi ranjang dengan tumpukan baju. Dia tidak menyadari kedatangan Luna.

 

“Selin apa yang kamu lakukan?” Dia tersenyum, tangannya sibuk membereskan baju milik Luna. Tangan cekatan melipat dan memasukkan baju ke dalam koper. Luna duduk di samping segera membantu.

 

“Kamu sudah makan? Bagaimana rasa masakannya?”

 

“Iya sudah. Tidak ada yang berubah, makanan buatanmu selalu enak. Terimakasih sudah peduli padaku.” Kata yang ingin terucap sejak pertama Luna merasakan masakan Selin. Selama ini memilih diam, mengganjal di ujung lidah menjadi penghuni setia padahal berontak ingin keluar, baru keluar di hari perpisahan.

 

“Iya, itu khusus untukmu. Kapan lagi aku bisa memasak untukmu?”

 

“Apa maksud perkataanmu? Tentu saja jika aku ke sini lagi. Aku akan selalu memintamu memasak.” Melihat Selin tertawa, Luna menahan tangis.

 

“Apa dia senang jika aku pergi? Tidak ada raut sedih sedikitpun. Ibu inikah tujuanmu mengirimku ke tempat ini. Mengubah tabiat buruk. Hanya itu? Ibu biarkan aku merasakan kebahagiaan lebih lama, bukan kekangan yang selama ini terasa. 

Aku ingin terlahir kembali, terbang bebas seperti burung tetapi tidak akan melupakan sarang. Mengalir seperti air yang akan selalu bermuara pada lautan. Melesat seperti angin melanglang buana tetapi tetap ada di sekitarmu. Ibu, aku menghargaimu tetapi bisakah kamu kabulkan satu permintaanku? Aku ingin tetap disini!” batin Luna menjerit.

 

“Kenapa Luna? Apa kamu tidak mau pulang? Pulanglah!”

 

“Kamu menginginkan aku pergi? Kamu puas membuatku seperti ini? Rasa kehilangan itu muncul lagi melebihi sakit yang terasa saat  ditinggal teman atau kekasih. Aku tidak membencimu tetapi aku kecewa pada waktuku yang terasa singkat.” Dada Luna kian sesak menatap wajah Selin yang tenang.

 

“Jangan menangis! Aku tau kamu bersedih Luna, aku juga merasakan hal yang sama tetapi ini bukan akhir. Aku menunggumu di sini, kapanpun kamu bisa kembali.” Sejenak mereka terdiam, melawan rasa sedih dalam hati masing-masing.

 

“Baiklah.”

 

“Hanya itu yang ingin kamu katakan?”

 

“Tidak, aku berharap kamu mau menulis sesuatu di file ku!!” menunjukan sebuah buku pada Selin. Buku yang sejak tadi tersembunyi di belakang punggung, di dalamnya terdapat tulisan pribadi. Luna ingin tulisan Selin ada dilembar berikutnya. Luna tidak lupa menyediakan lembaran kosong dan pena.

 

“Untuk apa?”

 

“Sebuah kenangan. Tuliskan apa saja yang ingin kamu ungkapkan! Aku akan menyimpannya. Jadi kamu harus mengisinya!“

 

“Luna, aku akan membiarkan kertasnya tetap kosong. Bukankah kita akan selalu bersama? Jadi untuk apa aku membuat kenangan hanya berupa tulisan kalau kita menyimpan semua memori dalam hati dan pikiran. Itu kenangan yang bertahan lama, tidak akan terhapuskan.” Selin memeluk penuh haru.

***

 

Masalah tidak akan berhenti selama hidup sampai berakhirnya kehidupan tetapi masalah memudar perlahan ketika kebahagian muncul. Empat hari setelah meninggalkan desa. Luna merasa Ibu lebih perhatian, tidak terlalu sibuk. Banyak hal yang dia tanyakan tentang liburan Luna. Kisah itu membuat wajahnya terlihat ceria.

 

Pagi di hari minggu Ibu membangunkan Luna. Wajahnya panik setelah mendengar kabar Selin dirawat di rumah sakit. Mereka melewati setiap koridor rumah sakit dengan langkah tergesa-gesa. Luna tidak merasakan kakinya berpijak. Dia ingin menangis tetapi Luna mencoba tegar, Selin tidak suka melihat seseorang menangis karena dirinya.

 

“Mana ruangannya Bu? Apa masih jauh? Selin sakit apa Bu?”

 

Mereka tidak kunjung melihat ruangan Selin. Ibu tidak menjawab, menyembunyikan kecemasan seorang diri. Berbeda dengan Luna yang panik tidak karuan, kesabaran sudah habis ingin segera bertemu. Ibu menghentikan langkah di depan ruangan paling pojok. 

 

Tangan gemetar menggenggam gagang pintu, lalu mendorong perlahan. Luna mengikuti langkah kakinya. Nenek menghampiri kedatangan mereka. Nenek dan Ibu melakukan perbincangan, terdengar berbisik. Wajah Ibu memucat, air matanya jatuh. Dia hanya mampu menatap Selin sebentar setelah itu pergi keluar ditemani Nenek.

 

Luna duduk di samping tempat tidur Selin. Gadis ceria kini terbaring lemah, badan kurus, muka luyu, hanya senyum tulus yang membuat orang-orang di sekitar tidak mau menangis dan menunjukan rasa sedih melihat keadaannya.

 

“Itu tidak cukup Selin. Aku merasakan sakitmu tertahan. Kamu kuatkan ragamu, tetapi jiwamu menangis. Sembuhkan Selin! aku mohon ya Allah, angkat deritanya!”

 

“Aku senang masih bisa melihatmu tersenyum.” Gerak bibirnya kaku, suaranya terdengar sangat berat. Jangankan untuk berbicara, menggerakan tangan saja sangat lemas.

 

“Cepat sembuh ya Selin!” Air mata perlahan menghangatkan pipi. Luna segera memalingkan wajah. Berharap Selin tidak memperhatikan.

 

“Tetaplah di sini! Jangan pikiran masalahku! Aku merasa bahagia mendapat ujian ini. Untukmu tetap semangat!” Dia selalu tidak peduli kesedihan oranglain.

 

Dua jam terlewati, Luna menceritakan keseharian di rumah. Selin tersenyum, sesekali tertawa. Dia senang melihat separuh diri Selin kembali. Luna  membayangkan jika dirinya menggantikan Selin berbaring, tidak yakin bersikap tegar.

***

 

Setiap pulang sekolah Luna menyempatkan diri menjenguk Selin. Sudah seminggu dirawat, tidak ada perubahan. Nenek istirahat di rumah Luna tetapi lebih banyak waktu menemani Selin. Luna tau Ibu juga sering menjenguk. Meskipun dia selalu diam jika ditanya tetapi raut wajahnya membenarkan. Apalagi setiap hari bunga lili kesukaan Ibu menghiasi ruangan Selin.

Minggu pagi, Luna ingin berpamitan ke rumah sakit pada ibu. Dia memberanikan diri masuk ke ruang kerja. Ini pertama kalinya Luna menginjakan kaki keruang itu karena biasanya terkunci. Saat dia melihat sekeliling, banyak foto keluarga bahagia terpajang di dinding. Seketika mata menyorot bingkai foto besar di depan meja kerja. Gambar seorang perempuan menggendong anak kecil dengan seorang lelaki di sampingnya. Itu Ayah dan Ibunya tetapi wajah anak kecil itu bukan Luna. Badan Luna melemas tidak mampu menahan tangis, Ibu memeluk.

 

“Ibu, siapa gadis itu? Kenapa tidak ada aku di sana?” Pertanyaan itu berkecamuk dalam benak Luna karena itu bukan wajah kecilnya. Luna juga tidak pernah mengetahui gadis itu.

 

“Apa aku bukan anak Ibu? Aku tidak ada dalam daftar keluarga Darmanugraha? Katakan sesuatu bu! Berikan aku penjelasan! Aku sudah cukup dewasa untuk mengetahui.”

 

“Luna, apa yang kamu ucapkan tidak benar? Kamu putri Ayah dan Ibu, keluarga Darmanugraha.”

 

“Lalu apa maksud foto dihadapanku? Jangan membuat aku tidak mengerti!”

 

“Baiklah, Ibu akan menceritakan semuanya.” 

 

Sebelum Luna dilahirkan, Ibu hidup dengan keluarga lengkap. Dia di karuniani seorang putri dan suami pekerja keras. Namun krisis ekonomi di zaman itu telah membuat perusahaan Ayah gulung tikar. Masalah kian rumit membuat mereka memilih berpisah. Saat itu ibu telah melahirkan Luna. Ibu memilih mengelola butik dari nol, mengikhlaskan anak pertamanya dirawat Ayah di desa.

 

Ibu tidak pernah mengenalkan Luna pada Selin. Dia mengesampingkan tugas mengasuh anak pertamanya meskipun Ayah telah tiada tetapi dia tidak lupa membiayai kebutuhan putrinya. Ibu menutup rapat hal itu dari Luna. Dia tidak mau mengungkapkan masa lalu demi memulai kebahagiaan baru. Untuk pertama kalinya Ibu menyebutkan nama anak perempuan itu, kakak Luna, Laselin Afriasa Darmanugraha.

 

Ketika berjalan menuju ruangan Selin yang berada di ujung. Entah kenapa Luna merasa takut. Dia sendiri tidak dapat mengartikan. Harusnya Luna senang mengetahui Selin adalah kakaknya. Dari kejauhan mereka melihat dokter dan perawat keluar dari ruangan Selin, tidak sempat dihentikan karena mereka berbelok di persimpangan, menuju ruang lain rumah sakit.

 

“Kenapa kamu tidak berani mengungkapkan kebenaran? Selin, kenapa kamu berpura-pura tidak mengetahui semuanya? Apa kamu tidak merasa iri padaku yang dibesarkan Ibu? Aku sering merasa sendiri tetapi kenyataannya Selin lebih menderita.”

 

Semakin dekat langkah mereka, semakin jelas terdengar. Di ruangan itu? Berharap tidak sesuai pikiran tetapi kaki mereka refleks berlari ke ruangan tempat Selin berada. Kain putih menghalangi pandangan. Luna menyibak perlahan berharap dugaannya salah. Wajah itu tidak tersenyum menyambut kedatangan mereka. Tubuh terbujur kaku, kulit pucat, mata terpejam tenang, senyum tersungging manis di pipi.

 

“Selin telah pergi.” ucap Nenek dalam tangis.

 

Hanya Nenek yang menemani sebelum Selin menghembuskan nafas terakhir. Luna lemas memandang tubuh yang kaku. Ibu menangis, memeluk Nenek. Seperti firasat, selama 4 hari Nenek menginap ditempat Selin. Luna tertunduk di samping ranjang, air mata turun membasahi pipi.  Selama ini tertahan ingin ditumpahkan, kini tidak bisa di bendung lagi.

 

”Tidak, aku mohon! Bangunlah Selin! Ini pasti mimpi, hanya mimpi! Sadarlah! Aku mohon Tuhan, tolong hentikan waktu! Selin, aku sudah kembali tetapi kenapa kamu diam saja? Kenapa? kamu tau aku merindukanmu sebagai seorang kakak. Apa kamu tidak mau menyapa adikmu? Selin katakan sesuatu! aku disini.” Luna menatap wajah Selin, berharap keajaiban datang, membukakan mata dan mengembalikan bunyi detak jantungnya tetapi itu mustahil.

 

Ibu mencoba menenangkan Luna tetapi dia tetap tidak bisa tenang. Dia merasa bersalah tidak menemani di detik terakhir sebelum Selin pergi, menyapa sebagai kakak yang Luna sayangi.

 

“Ibu kita terlambat. Aku tidak menemani kakak. Dia tidak sempat mengucapkan selamat tinggal padaku. Apakah aku bermimpi? Kita bermimpi hal yang sama. Iya kan bu? Ayo kita bangun dan segera ke rumah sakit. Selin sudah sembuh kan bu?”

 

“Tidak Luna. Kita harus mengiklaskan Selin pergi.”

 

Badan Luna lemah tidak mampu menyentuh, apalagi memeluk Selin. Dia terduduk dipinggir ranjang, tidak sanggup melihat Selin terdiam tanpa pancaran menenangkan, tawa riang, tatapan teduh, senyum tulus dan tingkah lucunya.

 

“Kamu menghilang dan tidak akan pernah kembali. Sampai kapanpun aku tidak bisa menemui, bahkan melihatmu dalam kehidupan nanti. Tidak akan pernah ada kakak. Aku tidak bisa membayangkanmu kembali, Selin.”

 

Luna berjalan bersama Ibu yang memapah Nenek ke dalam mobil karena sebentar lagi jenazah Selin akan langsung di bawa pulang ke desa. Sepanjang perjalanan mengingatkan semua kenangan yang terasa sekejap. Memandang ambulance bagai mimpi buruk. Siapapun tidak pernah menginginkannya. Rasanya ingin terbuang kembali ke masa lalu, terbangun memperbaiki kesalahan.

 

“Harusnya kamu pulang tidak dengan tangisan. Aku ingin kamu tau, kamu adalah kakak terbaik. Belum sempat aku berterimakasih telah hadir dalam hidupku. Kamu malah pergi. Inikah kenangan yang ingin kamu tinggalkan. Kenangan? Kenapa seperti ini?”

 

Warga desa ikut menjemut kepulangan Selin. Si gadis cantik dan manis menebar keteduhan pada siapapun. Suara burung memecah sunyi.

 

“Apa mereka menangis? mereka mengenali Selin sebagai orang yang tidak mau menyakiti. Kamu menyembunyikan rasa sakit demi kebahagiaan orang lain. Pohon itu tertunduk. Apa dia juga menangis? Apa dia merindukanmu? Siapa tidak mengingatmu. Aku saja tidak akan melupakan.” 

 

Luna berjalan di belakang keranda, membayangkan Selin berlari di halaman dengan tawa riang, sendirian. Kenyataannya halaman penuh orang berpakaian hitam.

 

Hujan deras menutup mentari, mewakili tataran bumi menangis kehilangan. Tidak ada yang mengetahui kapan waktu yang termiliki berhenti mengikuti rotasi. Akan tiba waktunya tubuh ini kembali padaNya. Tidak ada lagi urusan dengan dunia. Kita tidak akan tau berapa banyak air mata, menangisi kepergian. Mereka yang menyayangi, menyesal, berharap bisa bersama bahkan mereka yang membenci juga akan merasa kehilangan tetapi kita tidak mengetahui. Akan banyak ungkapan dari mereka yang selama ini tidak tersampaikan tetapi kita tidak mendengar.

 

“Lubuk hati menyimpan semua kenangan meskipun kamu telah pergi. Aku sayang kamu kakak. Kalian yang terbaik. Tuhan akan menempatkan kalian di Surga.” Luna duduk di depan pusara Selin samping pusara Ayah.

 

Terimakasih
Ini ceritaku.. DILARANG COPYPASTE!

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar