Jangan biarkan perbuatan salah, menutup ingatan yang baik!
Kita sendiri yang mengatur
akal dan pikiran untuk melakukan suatu perbuatan.
Jadikanlah setiap detik itu
perjalanan yang berarti! Namun terkadang kita menganggap yang lalu biarlah
berlalu. Jika pemikiran kita seperti itu. Apa gunanya kita hidup dalam setiap
hitungan?
Panorama alam pedesaan
tampak nyata di pelupuk mata. Tidak ada deretan rumah yang menjulang tinggi
menghalangi senyum mentari. Suasana ini sejenak membuat seseorang melupakan
kegundahan yang terasa setiap hari.
Luna duduk pada kursi di
balkon kamar. Memejamkan mata, mendengarkan lagu di ponsel dengan volume keras
hingga mempermainkan kesadaran.
Waktu liburan ini dia
mengunjungi desa tempat Ayahnya dilahirkan. Pemandangan desa masih asri, jauh
dari bising dan polusi kendaraan. Desa menyuguhkan pemandangan asri, suara
kicau burung, gemericik aliran sungai dan ramai riuh pemukiman penduduk.
Padang hijau terbentang
menyambut mentari kembali ke peraduan. Lukisan alam menghias kornea.
Menentramkan lamunan sepi, mengantar seruan petani kembali ke tempat singgah,
membawa seikat kerja keras untuk nyanyian riang anak-anak tidak bersayap.
Gunung menjulang
menghalangi mentari. Sang surya meredup, berganti senyum tipis bulan merajai
langit. Sinarnya memancar menguasai kelam. Luna menyambut hawa
dingin. Termenung menyusuri kesunyian, memutari detak waktu dalam diam,
menghapus problema hidup yang membebani, mengajak raga berpikir dewasa. Dia
ingin menyembunyikan pikiran, walau sejenak sampai akhirnya mengerti inilah
rotasi kehidupan.
Perjalanan dalam remang
membawa keputusasaan. Meringis sendiri dalam gelak tawa setiap insan. Hidup
dalam balutan nestapa yang ingin terakhiri. Kehidupan serumit apapun telah
Engkau khendaki. Takdir mengikuti setiap langkah. Terpancar kuasaMu dalam gelap.
“Luna. Apakah suaraku
sudah bisa kamu dengar?” Seseorang mendekatkan suara kencang tepat di telinga.
Luna terbangun, menatap geram tetapi seuntai senyum tersungging di bibir Selin,
mengajak berdamai.
“Selin apa yang kamu
lakukan? Mengganggu saja.” Menatap wajah tidak bersalah. Luna kembali berbaring
tetapi Selin segera menarik tangan Luna. Dia jengkel melihat orang di
hadapannya tetap duduk malas.
“Ayolah Luna. Apakah kamu
akan menghabiskan waktu di kamar?” bujuknya.
“Tentu saja tidak tetapi
aku lelah. Malam ini waktuku untuk istirahat. “ Luna berjalan menuju kamar,
menghempaskan badan ke tempat tidur.
“Keluarlah! Cari waktu yang
tepat untuk menemuiku!” dengan nada kesal.
“Baiklah, aku minta maaf
telah mengganggumu. Tidurlah!” Luna mengangguk, memang itu yang dia harapankan.
Pintu kaca tertutup
perlahan, kamar meredup. Langkah Selin mendekat, membenarkan selimut untuk
menutupi badan Luna, tangan lembut mengusap rambut.
Ini hari ke tiga Luna
tinggal di desa. Rumah besar diisi 5 orang termasuk Luna. Nenek, orangtua
Ayahnya yang terlihat awet muda. Selin yang Luna anggap sepupu, padahal dia
tidak tau asal-usul gadis itu. Terakhir pasangan muda yang Nenek anggap anak
sendiri, Teh Uci dan suaminya A Dodi. Liburan sekolah tahun ini Luna dititipkan
pada keluarga Ayahnya, padahal biasanya dia habiskan liburan di kota
metropolitan bersama teman atau berdiam diri dirumah karena orangtua dari
Ibunya sudah meninggal, tidak ada sanak saudara lagi.
Umur Selin dan Luna tidak
terpaut jauh. Selin sangat baik tetapi Luna tidak mudah akrab dengan orang.
Menurutnya, orang lama seperti Ibu saja tidak mengerti dirinya apalagi orang
baru. Ibunya sibuk bekerja, menggantikan tugas Ayah yang telah tiada.
Luna tumbuh seperti anak
lain. Namun bukan orang yang mudah bersosialisasi, cenderung menyendiri dan
tidak suka diganggu. Baginya teman cenderung menginginkan seseorang menjadi
orang lain, lebih baik sendiri tetap menjadi diri sendiri.
***
Kriuk..kriuk.. Bukan suara
detak jarum jam di samping ranjang, bukan suara ayam pertanda mentari telah
beranjak menuju singgasana. Bunyi itu akibat getaran cacing perut meminta
sesuap nasi. Semalam Luna tidak sempat makan karena tertidur pulas.
Luna duduk di tepi ranjang,
melihat jam beker di atas meja menunjukan jam 07.00. Nyawa belum seluruhnya
berkumpul. Malas hinggap memberatkan otot-otot saraf, memaksa kaki menuju kamar
mandi, kemudian membasuh muka.
“Luna kemarilah!” sebuah
suara memanggilnya dari arah dapur.
“Ada apa Nek? Apa ada yang
perlu ku bantu?”
“Tidak nak, Nenek hanya
ingin menyiapkan sarapan untukmu. Duduklah!” Luna duduk di depan meja
makan, memandang Nenek yang sibuk memindahkan soto ayam ke mangkuk.
“Terimakasih Nek.”
“Makanlah! Nenek lihat dari
kemarin sore kamu tidak keluar kamar. Kamu pasti lapar.”
“Nenek tidak ikut makan?
Bagaimana kalau aku ambilkan biar kita makan bersama?”
“Masih kenyang, tadi pagi
Nenek makan bersama Selin.”
“Selin?“ Mendengar namanya
teringat kejadian tadi malam.
Luna membentak, harusnya
tidak perlu bersikap kasar. Luna tidak sempat menanyakan perihal dia
menemuinya. Hal itu Luna lakukan saat canggung.
“Selama kamu disini, Selin
yang akan memasak khusus untukmu.”
“Kenapa?”
“Itu keinginannya.
Perbuatan baik tidak akan Nenek larang.” mendengar penuturan Nenek bagai
hantaman keras. Amarah telah melukai orang yang memperhatikannya. Ibunya saja
tidak pernah menyiapkan makanan. Mungkin dia juga tidak tau makanan kesukaan
Luna.
“Selin.”
Selin duduk di bawah pohon
tidak jauh dari rumah, melambaikan tangan. Luna memberanikan diri, berjalan
menghampiri dengan perasaan bersalah.
“Sedang apa kamu di sini?”
”Bukankah aku selalu
menunggumu di sini, putri tidur.” Senyum mengembang di pipinya membuat Luna
takut.
”Menungguku?” Bagaimana
Luna percaya jika setiap pagi, siang, bahkan sore hari, sering melihatnya duduk
di sini dengan buku bacaan di tangan. Wajah serius menggurat kepribadian baik,
Luna tidak berani mengganggu.
”Ada apa kamu mencariku?”
“Iya, aku...” ucap Luna
menggantung.
“Mau mempertanggungjawabkan
kesalahanmu?” Selin menepuk pundak Luna.
“Memang aku salah apa, asal
kamu tau saja aku tidak peduli kamu marah atau tidak, aku kesini hanya untuk.”
Luna berat mengatakan kejujuran. Haruskah mempertahankan keegoisan di saat
seperti ini? Belajar mengatakan sesuatu yang bermanfaat agar tidak mengulang
kesalahan yang sama, rasanya sulit.
“Untuk apa Luna?”
“Untuk mengatakan. Aku
tidak suka melihatmu duduk di bawah pohon ini. Bagaimana kalau kamu cari tempat
lain? Jangan menghalangi pemandangan depan jendela kamarku! Aku tau tidak
berhak untuk mengatur hidupmu tetapi kamu sangat mengganggu.“
Selin menanggapi dengan
tersenyum. Luna tidak berani mengatakan apa-apa lagi. Sebenarnya bukan itu
tujuan Luna tetapi bibir tersumbat, egois menghambat kata yang sudah tersusun
untuk mengakhiri pertentangan, sehingga terlontar ucapan tidak sesuai. Luna memilih
pergi.
***
Gadis berparas cantik itu
tidak menggubris perkataan Luna tempo hari. Saat dia membuka jendela, Selin
sudah berada di bawah pohon. Luna ingin sekali menyapa tetapi tidak mampu
berucap, ingin sekali tersenyum tetapi terlanjur malu. Malu mengungkapkan bahwa
dia ingin berjabat.
“Selin, maaf! Waktu itu aku
sangat egois.” Kata maaf terlontar saat hati memaksa Luna menemuinya. Berharap
dia mengerti keegoisan telah merubah tabiat seseorang, melupakan arti memahami
oranglain. Luna tidak mendapat jawaban, Selin melangkah mundur, menutup
setengah wajahnya dengan buku.
“Kamu marah padaku?”
“Luna, aku tidak suka
melihat wajahmu seperti itu!”
“Wajahku? Ada apa dengan
wajahku?” Luna sedikit panik, memegangi area wajahnya.
“Wajahmu membuat perutku
sakit. Jika kamu tunjukan wajah memelas sekali lagi, itu akan mengundang tawa
seharian ini. Kamu lucu sekali.” Perkataanya terlanjur membuat wajah Luna
memanas. Selin tersenyum meyakinkan kalau dia tidak serius.
“Aku akan memaafkanmu. Jika
kamu mau menemaniku keliling desa. Bagaimana?”
Luna mengangguk lega.
Meskipun berat untuk dia lakukan, bersosialisasi dengan orang baru. Kepribadian
Selin sulit di tebak. Luna bisa saja tidak berteman jika dia menyinggung
kehidupan pribadi. Luna lebih senang dekat dengan orang yang tidak banyak
bertanya. Jika mau, dia akan ceritakan semua kisah hidupnya, cukup dengarkan
saja!
Kabut menutupi jalan
setapak, semilir angin menusuk tulang. Masuk menjelajah pori-pori yang seakan
terbuka lebar. Luna mengigil kedinginan, asap putih keluar dari hembusan nafas.
Jaketnya tidaklah setebal jaket musim dingin tetapi Selin yang mengenakan kaos
lengan pendek terlihat menikmati udara pagi.
Mata kembali terisi memori
indah bagai kamera menemukan objek foto. Para petani berjalan beriringan
melewati tepian sawah, menyusuri jalan setapak, menebar senyum pada benih yang
baru di semai, meyakinkan bahwa esok hasil panen akan melimpah.
Satu jam terlewati, Luna
berlari sejajar bersama Selin. Mereka mengelilingi desa, bersenda gurau,
bercengkrama, sesekali membuat lelucon. Luna tidak pernah merasa seperti ini.
Bersamanya seakan muncul pelangi menghapus jejak tinta hitam. Sekarang apakah
mereka berteman? inikah teman yang Luna inginkan?
Mereka berlari seperti
siput. Jika cuaca panas, Luna pasti terkapar di tengah jalan. Dia memutuskan
berlari cepat, Selin tidak mau mengalah. Mereka saling menyusul. Terkadang
harus berhenti untuk mengatur nafas, menertawakan kekonyolan masing-masing.
Luna berlari mendahului
Selin, tetapi tidak mendengar teriakan yang bisa saja memecahkan gendang
telinga. Mungkin Selin berada jauh di belakang. Selin selalu ingin Luna
menunggu tetapi saat lengah, dia akan ditinggalkan. Namun Luna tidak mendengar
langkah kaki, tidak mungkin Selin melepas sepatu di jalan berbatu untuk
mengelabui. Langkah Luna terhenti, memutar badan ke belakang untuk memastikan.
Rasa panik berkecamuk saat melihat Selin duduk di pinggir jalan.
”Selin, apa kamu baik-baik
saja?” Tidak terdengar jawaban. Luna mengangkat kepala yang tertunduk, wajah
Selin pucat.
“Selin, bertahanlah!
Katakan sesuatu! Ayo kita pulang saja sepertinya kamu sakit.”
“Aku baik-baik saja Luna.
Bisakah kamu rahasiakan ini dari Nenek, aku tidak mau beliau khawatir!”
“Baiklah.” Luna memutuskan
membawa Selin ke tepi. Ada pohon besar untuk bersandar, menunggu sampai badan
Selin membaik.
“Maaf Luna, aku
merepotkanmu.”
“Tidak, aku sudah janji
akan menemanimu sebagai permohonan maaf.”
“Aku rasa kamu tidak
bersalah.”
“Tetapi aku merasa begitu.”
“Setiap orang pernah
melakukan kesalahan. Jangan biarkan kesalahan membuat kamu membenci seseorang!
Aku tidak pernah membenci siapa-siapa. Apalagi kamu, tidak akan pernah.”
“Meskipun aku
mengecewakanmu?”
“Hidup penuh kekecewaan.
Jika kamu merasa terpuruk karena di kecewakan. Kamu salah besar. Jadikanlah
rasa kecewa sebagai acuan untuk kamu berpikir dewasa!”
“Bagaimana caraku berpikir
dewasa, jika rasa kecewa itu menundukanku?”
“Bukankah kamu hidup di dunia
tidak untuk mengalah pada keadaan? Tuhan selalu menyertaimu. Kenapa kamu malah
mengecewakanNya? DIA akan menolong jika kamu meminta.”
“Ya, aku tidak menyadari.
Aku selalu merasa sendiri, semua orang meninggalkanku. Ketika aku percaya pada
teman, dia menghianati. Ketika aku percaya pada kekasihku, dia menyakiti.
Ketika aku butuh sandaran ibu, dia tidak ada waktu.”
“Tuhan selalu ada
untukmu.” Luna mencoba memahami ucapannya. Angin semilir mengibas rambut
panjang yang tergerai, Selin sangat tenang. Mereka merasakan udara segar masuk
menghilangkan sisa-sisa polusi yang menyumbat paru-paru.
***
Selin merubah kebiasaan
Luna yang senang menyendiri. Setiap hari ada aktifitas yang dilakukan bersama
seperti menemani Teh Uci berbelanja ke pasar, mengunjungi pasar malam
bersama-sama, bermain di sungai dan sawah dengan anak desa, memancing ikan,
memasak dengan Selin, membereskan rumah, bahkan membantu A Dodi di ladang. Luna
tidak keberatan diajarkan banyak hal dengan kesabaran.
“Benarkah.” Menatap wajah
berbinar membuat semangat Luna memuncak, menutupi rasa sedih.
Waktu liburan terlewati
penuh sukacita. Luna mulai betah tinggal di desa, Nenek, Selin, Teh Uci dan A
Dodi selalu memperhatikan. Namun ini hari perpisahan, sebelum mobil jemputan
yang di kirim Ibunya datang membawa Luna kembali menikmati hiruk-pikuk
metropolitan.
“Kalau begitu kita mulai
hari ini dengan bermain sepuasnya.”
“Terserah padamu Selin!”
Selin mengenggam tangan Luna.
Berlari dengan tawa riang menyusuri aliran sungai. Aliran air bagai sebuah
nada, mengalun merdu menyatu diantara suara petani bercengkrama. Bagai lagu
pembuka mentari beranjak naik. Petani memikul beban di pundak. Tersenyum
menyambut deretan padi. Berharap kerja keras mereka tidak mengecewakan seperti
senyum mentari. Desa sangat setia memberikan pemandangan indah. Luna ingin
waktu melambat agar tidak kehilangan kehidupan yang nyaman.
”Bisa kita mulai pertandingannya?”
Luna dapat mendengar suara
itu tetapi tidak mampu menjawab. Masih berdiri mematung di pinggir lapangan.
Ada perasaan lain dalam hati, sulit di pahami harus senang atau sedih. Luna
berharap Ibu akan mengembalikannya ke tempat ini.
Selin melemparkan bola basket ke
arah Luna. Beruntung dia berhasil menangkapnya kalau
tidak kepala akan merasakan keras bola.
“Ayo cepat! Kenapa malah
mematung? Apa kamu tidak berani melawanku?”
Luna berlari ke tengah
lapang. Memantulkan bola di tangan. Lapangan desa biasanya digunakan sesuai
kepentingan penduduk, tidak besar tetapi letaknya strategis tidak jauh dari
pesawahan.
Selin bermain agresif
dalam merebut
bola. Saking cepatnya lawan tidak akan menyadari. Dia pintar mengecoh
membuat Luna kesulitan. Dia asik mempermainkan Luna, sengaja memancing
rasa jengkel tetapi Luna sudah terbiasa dengan tingkah jailnya. Meskipun pertandingan
ini harusnya serius tetapi gelak tawa tidak pernah berhenti.
Skor yang Luna dapat sangat tertinggal, melihat Selin tertawa riang lebih berarti
ketimbang skor tinggi.
Rasa lelah terhiraukan saat
kesenangan bisa melebihinya.
”Permainanmu tadi lumayan
bagus Luna.”
”Pendapatmu hanya lumayan?”
“Sedikit lebih bagus jika
kamu berhasil mengalahkanku.”
”Hari ini aku kalah, nanti
aku akan membalasnya. Tunggu saja!”
“Aku tunggu suatu saat
nanti!”
“Apa kamu meragukan
kemampuanku?”
”Tidak, aku akan menunggu kapan kamu berhasil
mengalahkanku.”
Tangan mencubit
kedua pipi Luna pelan. Luna tertawa,
begitu juga Selin.
Selesai makan siang, Luna
berjalan menuju kamar. Selin duduk ditepi ranjang dengan tumpukan baju. Dia
tidak menyadari kedatangan Luna.
“Selin apa yang kamu
lakukan?” Dia tersenyum, tangannya sibuk membereskan baju milik Luna. Tangan
cekatan melipat dan memasukkan baju ke dalam koper. Luna duduk di samping
segera membantu.
“Kamu sudah makan?
Bagaimana rasa masakannya?”
“Iya sudah. Tidak ada yang
berubah, makanan buatanmu selalu enak. Terimakasih sudah peduli padaku.” Kata
yang ingin terucap sejak pertama Luna merasakan masakan Selin. Selama ini
memilih diam, mengganjal di ujung lidah menjadi penghuni setia padahal berontak
ingin keluar, baru keluar di hari perpisahan.
“Iya, itu khusus untukmu.
Kapan lagi aku bisa memasak untukmu?”
“Apa maksud perkataanmu?
Tentu saja jika aku ke sini lagi. Aku akan selalu memintamu memasak.” Melihat
Selin tertawa, Luna menahan tangis.
“Apa dia senang jika aku
pergi? Tidak ada raut sedih sedikitpun. Ibu inikah tujuanmu mengirimku ke
tempat ini. Mengubah tabiat buruk. Hanya itu? Ibu biarkan aku merasakan
kebahagiaan lebih lama, bukan kekangan yang selama ini terasa.
Aku ingin terlahir kembali,
terbang bebas seperti burung tetapi tidak akan melupakan sarang. Mengalir
seperti air yang akan selalu bermuara pada lautan. Melesat seperti angin
melanglang buana tetapi tetap ada di sekitarmu. Ibu, aku menghargaimu tetapi bisakah
kamu kabulkan satu permintaanku? Aku ingin tetap disini!” batin Luna menjerit.
“Kenapa Luna? Apa kamu
tidak mau pulang? Pulanglah!”
“Kamu menginginkan aku
pergi? Kamu puas membuatku seperti ini? Rasa kehilangan itu muncul lagi
melebihi sakit yang terasa saat ditinggal teman atau kekasih. Aku tidak
membencimu tetapi aku kecewa pada waktuku yang terasa singkat.” Dada Luna kian
sesak menatap wajah Selin yang tenang.
“Jangan menangis! Aku tau
kamu bersedih Luna, aku juga merasakan hal yang sama tetapi ini bukan akhir.
Aku menunggumu di sini, kapanpun kamu bisa kembali.” Sejenak mereka
terdiam, melawan rasa sedih dalam hati masing-masing.
“Baiklah.”
“Hanya itu yang ingin kamu
katakan?”
“Tidak, aku berharap kamu
mau menulis sesuatu di file ku!!” menunjukan sebuah buku pada Selin. Buku
yang sejak tadi tersembunyi di belakang punggung, di dalamnya terdapat tulisan
pribadi. Luna ingin tulisan Selin ada dilembar berikutnya. Luna tidak lupa
menyediakan lembaran kosong dan pena.
“Untuk apa?”
“Sebuah kenangan. Tuliskan
apa saja yang ingin kamu ungkapkan! Aku akan menyimpannya. Jadi kamu harus
mengisinya!“
“Luna, aku akan membiarkan
kertasnya tetap kosong. Bukankah kita akan selalu bersama? Jadi untuk apa aku
membuat kenangan hanya berupa tulisan kalau kita menyimpan semua memori dalam
hati dan pikiran. Itu kenangan yang bertahan lama, tidak akan terhapuskan.”
Selin memeluk penuh haru.
***
Masalah tidak akan berhenti
selama hidup sampai berakhirnya kehidupan tetapi masalah memudar perlahan
ketika kebahagian muncul. Empat hari setelah meninggalkan desa. Luna merasa Ibu
lebih perhatian, tidak terlalu sibuk. Banyak hal yang dia tanyakan tentang
liburan Luna. Kisah itu membuat wajahnya terlihat ceria.
Pagi di hari minggu Ibu
membangunkan Luna. Wajahnya panik setelah mendengar kabar Selin dirawat di
rumah sakit. Mereka melewati setiap koridor rumah sakit dengan langkah
tergesa-gesa. Luna tidak merasakan kakinya berpijak. Dia ingin menangis tetapi
Luna mencoba tegar, Selin tidak suka melihat seseorang menangis karena dirinya.
“Mana ruangannya Bu? Apa
masih jauh? Selin sakit apa Bu?”
Mereka tidak kunjung
melihat ruangan Selin. Ibu tidak menjawab, menyembunyikan kecemasan seorang
diri. Berbeda dengan Luna yang panik tidak karuan, kesabaran sudah habis ingin
segera bertemu. Ibu menghentikan langkah di depan ruangan paling pojok.
Tangan gemetar menggenggam
gagang pintu, lalu mendorong perlahan. Luna mengikuti langkah kakinya. Nenek
menghampiri kedatangan mereka. Nenek dan Ibu melakukan perbincangan, terdengar
berbisik. Wajah Ibu memucat, air matanya jatuh. Dia hanya mampu menatap Selin
sebentar setelah itu pergi keluar ditemani Nenek.
Luna duduk di samping
tempat tidur Selin. Gadis ceria kini terbaring lemah, badan kurus, muka luyu,
hanya senyum tulus yang membuat orang-orang di sekitar tidak mau menangis dan
menunjukan rasa sedih melihat keadaannya.
“Itu tidak cukup Selin. Aku
merasakan sakitmu tertahan. Kamu kuatkan ragamu, tetapi jiwamu menangis.
Sembuhkan Selin! aku mohon ya Allah, angkat deritanya!”
“Aku senang masih bisa
melihatmu tersenyum.” Gerak bibirnya kaku, suaranya terdengar sangat berat.
Jangankan untuk berbicara, menggerakan tangan saja sangat lemas.
“Cepat sembuh ya Selin!”
Air mata perlahan menghangatkan pipi. Luna segera memalingkan wajah. Berharap
Selin tidak memperhatikan.
“Tetaplah di sini! Jangan
pikiran masalahku! Aku merasa bahagia mendapat ujian ini. Untukmu tetap
semangat!” Dia selalu tidak peduli kesedihan oranglain.
Dua jam terlewati, Luna
menceritakan keseharian di rumah. Selin tersenyum, sesekali tertawa. Dia senang
melihat separuh diri Selin kembali. Luna membayangkan jika dirinya
menggantikan Selin berbaring, tidak yakin bersikap tegar.
***
Setiap pulang sekolah Luna
menyempatkan diri menjenguk Selin. Sudah seminggu dirawat, tidak ada perubahan.
Nenek istirahat di rumah Luna tetapi lebih banyak waktu menemani Selin. Luna
tau Ibu juga sering menjenguk. Meskipun dia selalu diam jika ditanya tetapi
raut wajahnya membenarkan. Apalagi setiap hari bunga lili kesukaan Ibu
menghiasi ruangan Selin.
Minggu pagi, Luna ingin
berpamitan ke rumah sakit pada ibu. Dia memberanikan diri masuk ke ruang kerja.
Ini pertama kalinya Luna menginjakan kaki keruang itu karena biasanya terkunci.
Saat dia melihat sekeliling, banyak foto keluarga bahagia terpajang di dinding.
Seketika mata menyorot bingkai foto besar di depan meja kerja. Gambar seorang
perempuan menggendong anak kecil dengan seorang lelaki di sampingnya. Itu Ayah
dan Ibunya tetapi wajah anak kecil itu bukan Luna. Badan Luna melemas tidak
mampu menahan tangis, Ibu memeluk.
“Ibu, siapa gadis itu?
Kenapa tidak ada aku di sana?” Pertanyaan itu berkecamuk dalam benak Luna
karena itu bukan wajah kecilnya. Luna juga tidak pernah mengetahui gadis itu.
“Apa aku bukan anak Ibu?
Aku tidak ada dalam daftar keluarga Darmanugraha? Katakan sesuatu bu! Berikan
aku penjelasan! Aku sudah cukup dewasa untuk mengetahui.”
“Luna, apa yang kamu
ucapkan tidak benar? Kamu putri Ayah dan Ibu, keluarga Darmanugraha.”
“Lalu apa maksud foto
dihadapanku? Jangan membuat aku tidak mengerti!”
“Baiklah, Ibu akan
menceritakan semuanya.”
Sebelum Luna dilahirkan,
Ibu hidup dengan keluarga lengkap. Dia di karuniani seorang putri dan suami
pekerja keras. Namun krisis ekonomi di zaman itu telah membuat perusahaan Ayah
gulung tikar. Masalah kian rumit membuat mereka memilih berpisah. Saat itu ibu
telah melahirkan Luna. Ibu memilih mengelola butik dari nol, mengikhlaskan anak
pertamanya dirawat Ayah di desa.
Ibu tidak pernah
mengenalkan Luna pada Selin. Dia mengesampingkan tugas mengasuh anak pertamanya
meskipun Ayah telah tiada tetapi dia tidak lupa membiayai kebutuhan putrinya.
Ibu menutup rapat hal itu dari Luna. Dia tidak mau mengungkapkan masa lalu demi
memulai kebahagiaan baru. Untuk pertama kalinya Ibu menyebutkan nama anak
perempuan itu, kakak Luna, Laselin Afriasa Darmanugraha.
Ketika berjalan menuju
ruangan Selin yang berada di ujung. Entah kenapa Luna merasa takut. Dia sendiri
tidak dapat mengartikan. Harusnya Luna senang mengetahui Selin adalah kakaknya.
Dari kejauhan mereka melihat dokter dan perawat keluar dari ruangan Selin, tidak
sempat dihentikan karena mereka berbelok di persimpangan, menuju ruang lain
rumah sakit.
“Kenapa kamu tidak berani
mengungkapkan kebenaran? Selin, kenapa kamu berpura-pura tidak mengetahui
semuanya? Apa kamu tidak merasa iri padaku yang dibesarkan Ibu? Aku sering
merasa sendiri tetapi kenyataannya Selin lebih menderita.”
Semakin dekat langkah
mereka, semakin jelas terdengar. Di ruangan itu? Berharap tidak sesuai pikiran
tetapi kaki mereka refleks berlari ke ruangan tempat Selin berada. Kain putih
menghalangi pandangan. Luna menyibak perlahan berharap dugaannya salah. Wajah
itu tidak tersenyum menyambut kedatangan mereka. Tubuh terbujur kaku, kulit
pucat, mata terpejam tenang, senyum tersungging manis di pipi.
“Selin telah pergi.” ucap
Nenek dalam tangis.
Hanya Nenek yang menemani
sebelum Selin menghembuskan nafas terakhir. Luna lemas memandang tubuh yang
kaku. Ibu menangis, memeluk Nenek. Seperti firasat, selama 4 hari Nenek
menginap ditempat Selin. Luna tertunduk di samping ranjang, air mata turun membasahi
pipi. Selama ini tertahan ingin ditumpahkan, kini tidak bisa di bendung
lagi.
”Tidak, aku mohon!
Bangunlah Selin! Ini pasti mimpi, hanya mimpi! Sadarlah! Aku mohon Tuhan,
tolong hentikan waktu! Selin, aku sudah kembali tetapi kenapa kamu diam saja?
Kenapa? kamu tau aku merindukanmu sebagai seorang kakak. Apa kamu tidak mau
menyapa adikmu? Selin katakan sesuatu! aku disini.” Luna menatap wajah
Selin, berharap keajaiban datang, membukakan mata dan mengembalikan bunyi detak
jantungnya tetapi itu mustahil.
Ibu mencoba menenangkan
Luna tetapi dia tetap tidak bisa tenang. Dia merasa bersalah tidak menemani di
detik terakhir sebelum Selin pergi, menyapa sebagai kakak yang Luna sayangi.
“Ibu kita terlambat. Aku
tidak menemani kakak. Dia tidak sempat mengucapkan selamat tinggal padaku.
Apakah aku bermimpi? Kita bermimpi hal yang sama. Iya kan bu? Ayo kita bangun
dan segera ke rumah sakit. Selin sudah sembuh kan bu?”
“Tidak Luna. Kita harus
mengiklaskan Selin pergi.”
Badan Luna lemah tidak
mampu menyentuh, apalagi memeluk Selin. Dia terduduk dipinggir ranjang, tidak
sanggup melihat Selin terdiam tanpa pancaran menenangkan, tawa riang, tatapan
teduh, senyum tulus dan tingkah lucunya.
“Kamu menghilang dan tidak
akan pernah kembali. Sampai kapanpun aku tidak bisa menemui, bahkan melihatmu
dalam kehidupan nanti. Tidak akan pernah ada kakak. Aku tidak bisa
membayangkanmu kembali, Selin.”
Luna berjalan bersama Ibu
yang memapah Nenek ke dalam mobil karena sebentar lagi jenazah Selin akan
langsung di bawa pulang ke desa. Sepanjang perjalanan mengingatkan semua
kenangan yang terasa sekejap. Memandang ambulance bagai mimpi buruk. Siapapun
tidak pernah menginginkannya. Rasanya ingin terbuang kembali ke masa lalu,
terbangun memperbaiki kesalahan.
“Harusnya kamu pulang tidak
dengan tangisan. Aku ingin kamu tau, kamu adalah kakak terbaik. Belum sempat
aku berterimakasih telah hadir dalam hidupku. Kamu malah pergi. Inikah kenangan
yang ingin kamu tinggalkan. Kenangan? Kenapa seperti ini?”
Warga desa ikut menjemut
kepulangan Selin. Si gadis cantik dan manis menebar keteduhan pada siapapun.
Suara burung memecah sunyi.
“Apa mereka menangis?
mereka mengenali Selin sebagai orang yang tidak mau menyakiti. Kamu
menyembunyikan rasa sakit demi kebahagiaan orang lain. Pohon itu tertunduk. Apa
dia juga menangis? Apa dia merindukanmu? Siapa tidak mengingatmu. Aku saja
tidak akan melupakan.”
Luna berjalan di belakang
keranda, membayangkan Selin berlari di halaman dengan tawa riang, sendirian.
Kenyataannya halaman penuh orang berpakaian hitam.
Hujan deras menutup
mentari, mewakili tataran bumi menangis kehilangan. Tidak ada yang mengetahui
kapan waktu yang termiliki berhenti mengikuti rotasi. Akan tiba waktunya tubuh
ini kembali padaNya. Tidak ada lagi urusan dengan dunia. Kita tidak akan tau
berapa banyak air mata, menangisi kepergian. Mereka yang menyayangi, menyesal,
berharap bisa bersama bahkan mereka yang membenci juga akan merasa kehilangan
tetapi kita tidak mengetahui. Akan banyak ungkapan dari mereka yang selama ini
tidak tersampaikan tetapi kita tidak mendengar.
“Lubuk hati menyimpan semua
kenangan meskipun kamu telah pergi. Aku sayang kamu kakak. Kalian yang terbaik.
Tuhan akan menempatkan kalian di Surga.” Luna duduk di depan pusara Selin
samping pusara Ayah.
Terimakasih
Ini ceritaku.. DILARANG COPYPASTE!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar