Apa kamu melupakan arti kebersamaan? Sikap setia kawanmu terkalahkan keegoisan.
Sehingga menghapus memori
pertemanan. Menganggap teman adalah saingan, tidak peduli betapa besar
pengorbanannya hanya karena kesalahan yang telah dia lakukan. Seakan kamu
adalah tokoh protagonis yang dikhianati. Seperti itulah caramu bertahan?
Tahun ini Vanesa terpilih
menjadi sekertaris osis. Jabatan yang patut dibanggakan. Termasuk ke dalam
struktur organisasi sekolah merupakan incaran setiap siswa.
Kehidupan persahabatannya
tidak mengalami perubahan. Vanesa tetap bertahan dengan ketiga sahabatnya di
masa SMP. Siapa lagi kalau bukan (Star), julukan untuk anak-anak
berprestasi.
Waktu SMP, Vanesa sering
canggung karena tidak mengikuti organisasi, lain dengan sahabatnya.
Feby, si jago karate. Dia
sering mendapat kejuaraan, sudah tingkat Kota. Gadis berparas hitam manis ini
berpenampilan tomboy dan menyukai tantangan, hanya pria pemberani yang
mendekati.
Selanjutnya Raisa, gadis
puitis. Dia terlihat pendiam tetapi jika sudah akrab, dia senang bergosip,
menggombal dengan puisi dan cari perhatian pada lelaki.
Terakhir Nolan, dia paling
tampan di antara tiga gadis itu. Ketua basket kebanggaan sekolah. Dia termasuk
lelaki terkenal, hadiah dari penggemar akan di bagikan pada tiga sahabatnya.
Kisah percintaan mereka
berempat sangat rahasia, satu sama lain tidak pernah membahas.
***
Suasana mall sangat ramai
karena bertepatan dengan jam istirahat kantoran. Vanesa duduk sendiri di kafe.
Dia memperhatikan jam, pukul 3 sore. Sudah satu jam Vanesa menunggu
sahabat-sahabatnya yang sibuk mempersiapkan acara porseni. Vanesa pulang lebih
awal karena urusannya sudah selesai. Berbeda dengan Raisa yang akan mengikuti
seleksi lomba puisi, Feby dan Nolan yang harus latihan untuk kejuaraan.
Dia sengaja menyempatkan
diri ke kafe langganan, memberitahu sahabatnya untuk segera menyusul.
Vanesa menghabiskan satu
gelas lemon tea dan dua buah cake cokelat. Tiba-tiba dia menerima satu
pesan dari Feby: “Aku tidak bisa datang.” Tidak lama Raisa mengirim pesan yang sama.
Vanesa melihat kaca lebar,
memperhatikan jalanan yang padat. Bola mata tertarik pada orang di sekitar yang
sibuk dengan berbagai aktifitas.
“Ingin rasanya seperti
dulu, tanpa kesibukan. Bersenda gurau, jalan berempat tanpa tau tempat tujuan.
Sangat menyenangkan, berbanding terbalik dengan sekarang. Sibuk dalam dunia
sendiri.” Ada raut kecewa di wajah, tetapi dia luluh kembali.
“Mungkin belum waktunya.”
Dia menekan nomor di ponsel, menghubungi beberapa kali namun tidak ada jawaban.
Setelah membayar, Vanesa beranjak pergi.
***
Vanesa berdiri di balkon
kamar. Angin berhembus menusuk tulang, mengibaskan rambut panjang perlahan.
Tangan halus menjangkau tetesan air yang turun dari genting. Memainkan percikan
air, membiarkannya membasahi wajah. Cuaca hari ini tidak bagus.
Aroma hujan yang khas
menyapa hidung. Sepasang mata menatap lekat suasana jalan yang ramai oleh
beberapa anak kecil yang berkejaran, badan basah kuyup, tawa mereka seakan
hilang di telan suara hujan yang kian deras. Seseorang dengan jas hujan
berjalan ke arah rumah. Vanesa tidak dapat memastikan siapa, wajahnya
samar terhalang kabut tipis.
Beberapa menit kemudian
terdengar suara ketukan di pintu. Seseorang masuk tanpa sepatah kata.
Dia bediri di samping
Vanesa, tangannya memegang erat pagar, menutup mata dan sesekali menghembuskan
udara dingin yang dihirup perlahan.
“Apa kamu baik-baik saja
Raisa?” Sahabatnya murung.
“Aku benci dituduh salah.”
Raisa memperhatikan Vanesa, gelisah.
“Aku tidak ada niatan
merebut. Jujur saja jika dia bukan sahabatku, sudah ku jambak rambutnya. Namun
aku urungkan karena tidak mau ada perselisihan.”
“Siapa yang kamu
bicarakan?”
“Siapa lagi kalau bukan
Feby.”
“Kalian bertengkar? Ada
masalah apa?”
“Kita memperebutkan Nolan
tetapi aku menyerah. Rasa itu menghilang saat aku tau, percuma menyukai
bila di hatinya ada oranglain.”
“Kalian menyukai Nolan?”
Vanesa kurang peka terhadap situasi.
”Iya.”
“Bolehkah aku tau, sejak
kapan?”
“Sudah lama, mungkin
sekitar setahun yang lalu.” Mendengar pengakuan Raisa, Vanesa tertunduk.
“Lalu Feby?”
“Aku tidak tau. Dulu, aku
pernah bilang kalau menyukai Nolan tetapi Feby tidak merespon. Kemudian aku
menyadari kalau Feby memendam perasaan.”
“Apa dia juga jujur
padamu?”
“Iya, awalnya dia merasa
bersalah tetapi aku mendukungnya. Namun Feby menjauhiku.” Selama mereka
bersahabat ternyata ada rahasia tersembunyi pada diri masing-masing.
Vanesa harus siap dengan
respon Raisa atau Feby jika tau hubungannya dengan Nolan sudah lebih dari
sahabat.
”Apa Nolan tau masalah
ini?” Vanesa sekedar memastikan.
”Aku rasa tidak.”
”Kenapa tidak dari awal
kamu cerita padaku?”
”Maafkan aku Vanesa!!”
wajahnya memelas.
“Harusnya aku yang minta
maaf.”
“Kenapa?” Raisa
kebingungan.
“Aku tidak tau apa-apa
mengenai masalah ini. Aku jarang bersama Nolan dan memastikan sikap kalian.
Disini aku yang paling bersalah, betapa jahatnya aku tidak mengakui kalau aku
dan Nolan berpacaran.”
“Kalian pacaran? Kamu serius,
sejak kapan?” tatapnya penuh tanya sekaligus kesal.
“Enam bulan yang lalu.”
“Jadi kamu merahasiakan
ini. Kalian bersenang-senang diatas derita orang.” Raisa meninggikan suaranya.
“Maaf! Aku ingin cerita
namun menunggu waktu yang tepat.”
“Apa ini yang dimaksud
waktu yang tepat? Saat kami bertengkar karena memperebutkan pacarmu? Egois
sekali.” Raisa mulai mengatur napasnya, dia tau Vanesa merasa
bersalah.
“Aku akan memperbaiki
semua.”
“Memperbaiki apa?”
“Aku dan Nolan akan kembali
menjadi sahabat tanpa punya perasaan apa-apa.”
“Jangan bodoh! kamu pikir
perasaan itu mudah dihilangkan.”
“Aku ingin kita kembali
normal.”
“Jangan berharap akan
baik-baik saja, sudah terlambat.”
“Apa yang harus aku lakukan?”
“Jangan memperumit masalah!
cukup aku dan Feby saja yang berselisih. Aku tidak bisa menyalahkanmu atau
Nolan karena kalian punya hak menentukan pilihan.”
“Aku sangat egois jika
tidak menghargai perasaan kalian.”
“Tetaplah bersama Nolan!
Kalian putus pun tidak akan merubah keadaan. Kita selesaikan saja masalah
dengan Feby. Aku tidak masalah kamu pacar Nolan atau bukan, kamu tetap
sahabatku.” Raisa merentangkan tangan. Vanesa menyambut pelukan.
“Terimakasih Raisa.”
“Ingat! Jangan menyimpan
rahasia dari sahabatmu! Aku akan membantumu menjelaskan pada Feby.” Meskipun
Raisa menyetujui hubungan Vanesa, dia tetap kecewa.
***
Keesokan harinya Vanesa di
antar Raisa menemui Nolan di lapangan basket. Semalam Vanesa menghubungi Nolan
tetapi dia tidak merespon panggilan. Memang sudah tiga hari mereka tidak
komunikasi. Nolan terlalu sibuk untuk sekedar menanyakan kabar.
Nolan duduk di kursi
pinggir lapangan dengan wajah yang lelah. Vanesa dan Raisa berjalan mendekati,
pria itu tersenyum.
“Duduklah!”
Vanesa duduk di samping
Nolan. Raisa duduk di dekatnya.
“Kenapa kalian? Maaf
kemarin aku sibuk latihan jadi tidak bisa datang ke kafe.” Nolan masih tidak
menyadari kegelisahan dua orang di samping.
“Aku hanya ingin
membicarakan sesuatu.”
“Sepertinya serius? Wajahmu
tegang sekali. Apa kamu ada masalah?” Nolan memang sangat perhatian, lebih lagi
pada Vanesa. Sejak dulu dia menaruh hati pada Vanesa. Nolan memberanikan diri
mengungkapkan perasaan, tanpa diketahui oranglain.
“Apa kalian membutuhkan
wajahku untuk objek foto?” Nolan masih menganggap tidak ada masalah.
"Aku ingin akhiri
hubungan kita sampai disini.” Vanesa mengatakan tanpa jeda. Wajah Nolan kesal.
“Kenapa? Apa karena Raisa
tau?”
“Aku rasa kita lebih baik
berteman Nolan seperti sebelumnya. Sebelum kita sepakat jadian. Aku mau
persahabatan kita baik-baik saja.”
“Aku tidak mengerti. Jangan
jadikan pertemanan sebagai alasan. Kalau tidak punya perasaan, dari dulu saja
kamu tidak menerimaku. Apa karena Raisa tidak menyetujui hubungan kita?”
“Nolan aku tidak begitu.
Aku tidak mempermasalahkan ini, kalian berhak punya hubungan.” Raisa membela
diri karena terus dipojokan.
“Cukup, Raisa tidak
bersalah! Aku mohon kamu terima keputusanku.”
“Aku sangat tidak terima.
Kenapa kita harus putus tanpa alasan?”
“Nolan, Feby menyukaimu dan
lebih baik kita selesaikan hubungan kita sebelum semuanya kacau.”
“Jangan terpengaruh oleh
orang lain! Setelah aku tau perasaan Feby, apakah aku harus menyukainya dengan
terpaksa? Tidak mungkin. Aku menyukaimu, bukan oranglain. Sejak awal aku sudah
komitmen. Mengertilah!” Nolan menegaskan. Raisa tidak mengatakan apa-apa.
“Semua akan baik-baik saja.
Aku akan bicara pada Feby. Terimakasih Raisa, kamu mau mengerti!” Nolan memberi
pengertian pada kedua gadis itu.
“Iya tidak masalah. Sudah
lama kita bersahabat dan tidak ada yang salah jika saling menyukai. Kamu berhak
memilih.”
“Ya, sekarang kamu tau kan
pilihanku?” Raisa mengangguk.
“Bagaimana dengan Feby?”
Vanesa tidak tenang.
“Nanti kita bicarakan.”
***
Lorong kelas mulai
lenggang, Vanesa berdiri di samping pintu kelas A7. Dia menunggu seseorang yang
masih berbincang dengan Bu Fani, guru bahasa Inggris. Bu Fani keluar kelas
terlebih dulu disusul Feby. Vanesa dengan cepat menarik tangan Feby.
“Aku mohon kita harus
bicara!”
“Kamu sudah jelaskan
berkali-kali, aku tetap pada keputusan. Jangan pernah muncul dihadapanku!”
“Kenapa kamu
memperlakukanku seperti ini?”
“Karena aku benci padamu.”
“Iya, aku tau. Tapi bisakah
aku mendapat maaf atas semua salahku?”
“Tidak. Jika aku tidak mau
berteman denganmu, bagaimana responmu?” Feby menatap sinis.
“Aku tidak ingin
melakukannya. Kamu sahabatku, sejak lama kita bersama haruskah kita
mengakhirinya dengan menyimpan dendam?”
“Apa kamu menjadikanku
seseorang dengan peran antagonis? Sungguh keterlaluan, menangislah! Maka semua
orang akan membelamu sebagai orang benar dan aku adalah gadis pendendam. Aku
jahat telah meninggalkanmu, seakan tidak peduli dengan kecewa yang kamu rasa.”
“Feby, aku tidak...”
Ucapnya menggantung, Feby memotong.
“Tunggu! Apa kamu tidak
berpikir aku kecewa? Egois sekali. Aku malas berbincang denganmu, Raisa dan
juga Nolan, seakan hidupku dipenuhi ocehan kalian. Biarkan aku sendiri, aku
tidak mau melihat kalian!”
“Sampai kapan kamu akan
mengacuhkanku? Apa aku harus putus dengan Nolan sebagai syarat kita bersahabat
lagi?”
“Sedikitpun tidak merubah
pendirianku. Aku akan mengacuhkanmu sampai aku merasa puas. Jika sudah
mengerti, tolong jaga jarak denganku!” Feby meninggalkan Vanesa, terpaku.
Sudah seminggu, sejak
Vanesa menceritakan semua. Feby menghindar apabila diajak berbicara, sulit
dihubungi, dan memalingkan wajah bila bertemu.
Vanesa menghampiri Nolan di
parkiran. Nolan duduk di atas motornya, memberikan helm, namun Vanesa mematung.
Nolan menatap heran, Vanesa berdiri disampingnya tanpa mengatakan apa-apa.
“Jangan melamun! Ini sudah
sore, kita harus segera pulang!”
“Aku bisa pulang
sendiri.”
“Ada apa?”
“Aku sangat tersiksa,
bisakah waktu mengembalikan kita! Feby terluka seakan aku tidak. Aku tidak
ingin persahabatan kita seperti ini.”
“Baiklah aku tau
keinginanmu, kita putus kan? Aku berharap hatimu lega karena aku sudah
mengabulkannya.” Nolan memberi pernyataan yang cukup mengagetkan.
“Nolan, aku tetap
sahabatmu.” Nolan tidak menjawab, menyalakan motor.
“Ayo naik! Aku akan antar
kamu sampai rumah.” Nolan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Vanesa tidak tau apa
keputusannya ini akan mengakhiri kekacauan.
***
Jam istirahat Feby menemui
seseorang. Dia duduk didepan bangku, mengetuk meja isyarat kalau dia ingin
berbincang. Vanesa yang sedang sibuk membaca buku akhirnya mengalihkan
pandangan.
“Bisa bicara sebentar?”
tanya Feby seperti kebingungan.
“Ada apa?” Vanesa tidak
menduga Feby menemuinya.
“Apa kamu yakin kita bicara
disini?”
“Katakan saja!”
“Apakah aku masih punya
kesempatan untuk kembali jadi sahabatmu?” Feby tersenyum kaku.
“Tanpa benci?” Suara Vanesa
hampir tidak terdengar. Feby tertawa keras membuat siswa yang berada di kelas
memperhatikan.
“Apa harus jawab jujur?”
“Tentu saja.”
“Baiklah, aku sangat
membencimu karena kamu tidak menyapa. Memang salahku memintamu untuk tidak
berada disekitarku. Akhirnya aku sadar bahwa aku membutuhkan penyemangat dari
orang yang sama-sama kecewa. Harusnya aku bertingkah dewasa, aku telah merusak
perasaan banyak orang, termasuk kamu yang sudah rela berkorban. Maafkan aku
Vanesa!”
“Semoga kita semakin
dewasa! Kita belajar banyak hal dari masalah ini. Aku juga minta maaf atas
kelakuanku.”
“Tentu saja aku
memaafkanmu.”
Feby tidak selamanya
menyimpan benci, ada rindu terdalam untuk menyambut sahabatnya kembali mengetuk
hati.
Tidak lama, Raisa kembali
dipersulit oleh perasaannya. Raisa tidak mau melepas Nolan, hingga mereka
jadian.
Vanesa bersikap biasa saja
namun Raisa merasa terpojokan. Padahal dia sendiri yang mengungkit hubungan
Vanesa & perasaan Feby.
Vanesa tidak menanggapi
ocehan Raisa, lain dengan Feby karena hal itulah mereka renggang.
***
Vanesa dan Feby asik
bercengkrama di Kafe tanpa kedua sahabatnya. Mereka tidak datang dengan
berbagai alasan.
“Nolan dan Raisa sepertinya
akan jarang berkumpul dengan kita.”
“Ini salahku, kalau saja
dulu aku tidak membiarkan kalian putus. Mungkin saat ini kita masih bersama.
Aku rindu kita berempat berkumpul di Kafe ini.”
“Tidak perlu kamu sesali.
Ini jalan persahabatan kita, tidak selamanya bersama itu baik. Mungkin berpisah
adalah jalan keluarnya. Percayalah! Yang benar-benar sahabat akan selalu ada.”
Nolan dan Raisa punya dunia
sendiri tanpa peduli dengan sahabat lama. Namun hubungan Raisa dan Nolan tidak
bertahan lama.
Meskipun semua telah
membaik, yang tersisa sebagai sahabat hanya Vanesa dan Feby.
Sebuah kalimat persahabatan
yang pernah mereka tulis pada sebuah batu besar ditepi sungai yang sering
mereka datangi saat pulang sekolah seakan memberi pertanda bahwa persahabatan
mereka tidaklah kokoh sekuat batu itu tetapi seperti tulisan persahabatan yang
semakin lama hilang terkikis air sungai.
Betapa berharganya
Kita pernah saling
memahami,
Melewati waktu dari
hambatan yang menyiksa,
Tertawa tanda bahagia,
Tanpa tangis tanda
derita,
Namun semakin lama kita
bersama kepalsuan itu semakin nyata,
Kita telah melangkah dalam
kebohongan,
Penghianatan telah
menghilangkan kepercayaan akan janji bersama,
Menyisakan kisah, Kisah
kehancuran
Terimakasih
Ini ceritaku, DILARANG
COPYPASTE!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar