Matahari bersembunyi dibalik awan, hitam pekat menguasai langit.
Tetes air merayap dibatang
daun, terlempar jatuh menyapa orang yang berlalu-lalang. Suasana dingin
menyergap menusuk tulang.
Suara petir bergemuruh
menyatu dalam bising kota. Genangan air memenuhi jalan, tingginya selutut
orang dewasa tetapi tidak ada yang peduli. Mereka memilih menerobos segala
rintangan demi tuntutan hidup. Jika hal seperti itu dijadikan masalah, bagaimana
bisa mereka mengejar rezeki. Beban hidup berada di pundak masing-masing.
***
Siapapun tidak akan menduga
kapan hujan datang. Kadang dia datang di saat tidak dibutuhkan. Kadang dia
tidak datang dan mengacuhkan seruan.
Dulu perasaanku merana saat
dia menyapa, terlalu banyak kenangan yang tercipta. Hujan ibarat suasana sendu,
temani alur hidup yang perih tetapi setiap hari bersama membuatku terbiasa.
Hujan tidak pernah
kumiliki, Tuhanlah pemiliknya. Tidak perlu disesali akan kedatangan hujan,
bukankah alangkah besar nikmat Tuhan.
***
Aku sangat di sayang, tidak
pernah muncul pertanyaan sedih menjalani hari. Hingga aku menjerit meminta
orangtuaku hidup kembali. Mereka tidak pernah mengatakan akan pergi. Namun
kecelakaan terjadi di luar dugaan. Mobil yang membawa aku, Ayah dan Ibu
tiba-tiba menabrak tiang pembatas, terperosok jurang. Ketika bersama, aku tegar
menatap masa depan tetapi kini aku sendiri.
Hanya sebagian manusia
hidup penuh kasih, tidak menyiksa, rela memberi dalam kekurangan. Aku tidak
menyesal sedekat ini dengan seseorang. Aku tidak punya alasan selain ketulusan
hati yang dia miliki.
“Hiduplah dengan
keberanian! Jangan ragu mempertahankan kebaikan! Jika kamu dipaksa jahat,
ucapkan dengan tegas bahwa kamu tidak mau melakukannya!”
Kalimat yang terpatri
dikepala sebelum orangtua asuhku menutup usia. Beliau dengan ikhlas mencurahkan
kasih sayang pada 5 anak tidak berorangtua, termasuk aku.
Usiaku 23 tahun, seorang
kakak yang menjaga ke empat adiknya. Dua remaja laki-laki Aldi dan Gerda baru
lulus SMA, Merisa gadis remaja kelas IX SMP. Sedangkan adik perempuan paling
kecil Nafira usianya 5 tahun.
“Seandainya aku tidak
belajar bertahan hidup. Aku tidak yakin mampu melakukan semua. Berkat ridhoMu
Tuhan, aku percaya Kau menyayangi sehingga turunlah ujian ini. Berikan aku
kesabaran!”
Aku bersandar dikursi
halte, menunggu hujan reda. Bis yang ditunggu tidak kunjung datang, mungkin
terjebak banjir. Orang di sekitar ramai bercengkrama, namun bagiku terasa sepi.
Waktu seakan membiarkan semua melambat.
“Mau membeli kue-kuenya
kak?” Seorang anak laki-laki menghampiri, badannya basah kuyup. Di tangannya
ada keranjang yang di tutupi plastik.
“Boleh kakak beli ini?”
menunjuk beberapa gorengan.
“Tentu saja. Sebentar ya
kak.”
“Iya.”
Senyum bahagia terpancar di
wajahnya. Dia memasukan makanan ke dalam kantong plastik, memberikan padaku dan
menggenggam kaku uang 50 ribu.
“Maaf Kak, uangnya lebihan.
Ada uang pas, kebetulan hari ini belum ada pembeli.”
“Simpan saja kembaliannya
untuk ditabung! Jika kamu mau duduklah, temani kakak berbincang
sebentar!”
“Baik kak dengan senang
hati.”
Beni, anak yang rajin.
Umurnya 11 tahun. Sejak ayahnya meninggal, dia bekerja membantu ibunya, seorang
buruh cuci pakaian. Tidak ada gurat lelah di wajah, dengan senang hati memikat
orang supaya membeli makanannya. Dia memilih berjualan daripada menjadi
pengamen jalanan, baginya pekerjaan ini lebih dihargai.
Bisakah aku sepertinya?
tegar. Kenapa aku tidak bahagia dengan kehidupan sekarang? Lihatlah! diluar
sana masih banyak yang tidak beruntung. Sesulit apapun, alangkah baiknya kita
tetap bersyukur.
Perasaan gelisah, tidak
mampu beranjak menuju rumah dan memberitahu kabar buruk. Aku menyayangi mereka
yang bahagia, saling mengasihi dan selalu membanggakan. Akankan semua terus
berjalan seiring dengan kepedihan.
Aku bukan pegawai kantoran,
pergi dari rumah dengan pakaian rapih tetapi di kantor aku hanya OG. Dulu saat
pertama kali menunjukan surat diterima di kantor tersebut. Adik-adikku mengira
aku diterima sebagai karyawan di kantor terkenal. Sehingga tidak mampu ku
ungkapkan kejujuran. Aku telah mengecewakan ibu. Kini aku kehilangan pekerjaan,
sudah mencoba melamar ke kantor lain tetapi di tolak.
Bis muncul perlahan di
balik kabut, aku berlari menerobos hujan berebut naik dengan penumpang lain
yang sejak tadi menunggu di halte.
***
Gerimis membungkus
keheningan malam. Gumpalan air setia berkunjung ke bumi. Angin menyelinap masuk
ke kamar lewat celah kecil di jendela.
Mata menyaksikan suasana di
balik jendela. Lampu di halaman menyorot sarang burung yang bersembunyi di atas
pohon, terlihat induk burung kembali dari mencari makan, setia menjaga
anak-anaknya dari dingin. Seketika aku rindu Ibu. Di saat seperti ini aku butuh
sandaran.
Seseorang membuyarkan
lamunan, pintu kamar terketuk.
“Kak Resya, apa aku boleh
masuk?”
“Ya, pintunya tidak di
kunci!!” Aldi menghampiri dengan selembar kertas di tangan.
“Apa aku mengganggu waktu
kakak?” Aldi menyelidiki wajahku.
“Tidak. Apa ada yang bisa
kakak bantu?” aku tersenyum meyakinkan Aldi bahwa aku baik-baik saja.
“Sebenarnya aku ingin
menyampaikan sesuatu.” Aldi menghentikan ucapan. Ada sorot takut
dimatanya. Mungkin dia tidak percaya diri ketika melihat wajahku yang muram.
“Katakan, apa yang ingin
kamu sampaikan!”
“Jika kakak mengizinkan aku
kuliah. Di awal masuk aku mohon bantuan kakak untuk masalah biaya. Untuk
seterusnya aku akan mencari pekerjaan. Apapun keputusan kakak, aku akan
terima.” Aldi tertunduk pasrah.
Aku tau, setiap orang ingin
kehidupan yang lebih baik. Aldi bersemangat menuntut ilmu, Sedangkan
Gerda adik ke dua memilih bekerja di bengkel karena tertarik pada mesin.
Aku tidak keberatan mendengar permintaan Aldi. Namun keadaanku seakan tidak mendukung.
“Baiklah, kakak izinkan.
Belajarlah yang rajin! kesuksesan ada di tanganmu.” Mendengar persetujuanku, wajah
Aldi berbinar, senyumnya merekah.
Langit tidak selamanya
hitam pekat, bulan setia menemani, memberi sinar terindah memancar ke penjuru
arah termasuk ke hatiku.
“Aku punya brosur kampusnya
Kak. Kakak baca saja! semoga tidak mengecewakan.” Aldi memberikan selembar
brosur padaku.
“Baiklah, kakak tidak
mempermasalahkan dimana kamu kuliah. Yakin bisa menggapai cita-cita saja, kakak
sudah bangga padamu.”
“Terima kasih kak.”
Air mata menetes saat Aldi
meninggalkanku sendiri. Besok pagi aku akan kembali mengitari setiap
perusahaan, siapa tau ada lowongan.
“Kak Resya.” Seseorang
memeluk punggung, segera ku hapus air mata di pipi.
“Apa sayang?”
“Fira kangen kakak. Kakak
selalu sibuk sampai tidak ada waktu menemani Fira bermain.”
“Maaf Fira.”
Nafira benar, selama ini
aku sibuk bekerja hingga tidak ada waktu bercengkrama. Lebih banyak waktu
merenung dalam kamar. Pantas saja Aldi ragu mengatakan masalahnya.
“Fira kenapa belum
tidur?”
“Kakak juga belum. Fira mau
tidur sama kakak. Boleh?”
Fira, gadis ceria, suka
mengganggu tetapi tidak ada yang berani memarahi. Rasa sedih yang terjadi hari
ini terlupakan, pelukkan hangat dari Fira telah meleburkannya.
***
Aku istirahat di bawah
pohon, di halaman kantor yang sudah menolak lamaranku. Ini kantor ke lima yang
aku temui selama seminggu. Tidak ada lagi selebaran lowongan di pintu masuk.
Seseorang berjalan ke
arahku, wanita cantik, tinggi semampai bagai model, lekuk tubuh yang serasi
dengan pakaian kantor, mengenakan rok mini. Dia duduk di samping menawarkan
minuman botol. Aku ragu tetapi dia meyakinkan untuk meraihnya.
"Ambilah!"
“Terima kasih.”
“Tidak perlu sungkan,
anggaplah itu sebagai awal pertemanan!”
“Apa anda bekerja di kantor
tersebut?”
Aku menatap kantor yang
menjulang tinggi dengan arsitektur bagus. Membuat betah mata pejalan kaki.
“Mencari pekerjaan di zaman
yang kacau seperti ini memang tidak mudah. Keberuntungan selalu dijadikan
alasan seseorang yang tidak berpendidikan dapat pekerjaan layak tetapi mereka
keliru, otak manusia tidak sama. Bila kamu termasuk orang yang cerdas maka kamu
cenderung kreatif, mampu menyesuaikan diri dalam pekerjaan apa saja.“
“Maksudmu?”
“Pintar saja belum tentu
dapat pekerjaan yang layak tetapi jika kamu cerdas menempatkan diri. Kamu akan
menggunakan segala cara supaya kamu berhasil. Termasuk yang paling rumit,
asalkan keinginanmu tercapai. Bukankah kita hidup untuk memenuhi segala kebutuhan?”
Apa yang sebenarnya dia
jelaskan? Dia tiba-tiba mengutarakan banyak hal. Namun sepertinya dia
memperhatikanku saat keluar kantor. Apa mungkin dia peduli padaku?
“Aku ingin menawarkan
pekerjaan padamu.”
Benar saja. Ingin rasanya
memeluk tetapi ku urungkan karena tidak mau mengotori pakaiannya dengan
keringat.
Perkenalan dengan Anita
membuahkan kesepakatan. Banyak hal yang dia ceritakan padaku, tentang kesulitan
ekonomi keluarganya. Hingga mengharuskan dia menikah dini dengan orang yang
tidak dia sukai. Lalu pernikahannya tidak bertahan lama. Kesulitan yang telah
dia alami membuatnya mandiri, hingga menjadi orang sukses. Dia tidak
menceritakan pekerjaan yang dia tawarkan secara detail. Dapat tawaran kerjasama
saja rasanya sudah lega.
Dengan izin adik-adikku,
aku berangkat meninggalkan rumah malam hari. Mobil terparkir ditempat pertama
kali bertemu dengan Anita. Aku di ajak menyusuri hiruk-pikuk kota. Berbeda
sekali rasanya dengan menaiki bus saat pulang bekerja. Jika naik bus, aku tidak
sempat melihat pemandangan lewat jendela karena tertidur melepas lelah. Di
dalam mobil mewah ini, aku bisa menikmati suasana malam.
“Kamu akan nyaman bekerja
denganku, asal kamu berani. Dulu aku menyesal tetapi ketika keinginanku
tercapai. Aku menjadikannya pekerjaan sampingan.”
“Aku harap bisa bekerja
dengan baik dan tidak mengecewakan anda, Bu Anita.”
“Kamu tidak perlu formal!
Aku rasa umur kita tidak jauh berbeda. Jadi panggil nama saja biar lebih
akrab.”
“Baiklah. Apa kantornya
masih jauh? Apa semua karyawan bekerja di malam hari?”
“Tidak semua.”
“Kenapa kamu mempunyai
pekerjaan lain. Bukankah kamu sudah bekerja di kantor yang gajinya cukup besar.
Apa pekerjaan ini sangat menjanjikan sehingga kamu tidak bisa meninggalkanya?”
“Kamu terlalu banyak bertanya.”
Anita mulai risih dengan pertanyaanku.
“Maaf jika itu
mengganggumu. Aku sekedar ingin tau.”
Mobil merapat melalui jalan
sempit perumahan. Rumah-rumah megah, dengan hiasan lampu menghiasi jalan. Kini
kami menjauh dari keramaian kota, masuk pemukiman sepi. Mobil perlahan memasuki
rumah mewah yang dijaga seorang satpam berbadan tegap. Otot mencuat dibagian
lengan kaos pendek. Dia menyapa ramah.
“Turunlah! kita sudah
sampai Resya.”
“Ini kantormu?”
Anita tidak menanggapi
pertanyaan. Dia mengajak masuk ke dalam rumah. Saat pintu terbuka, ada seorang
laki-laki duduk di sofa ditemani beberapa jenis minuman beralkohol di atas
meja. Anita tidak peduli wajahku memucat. Dia asik mendorongku berkenalan dengan
pria yang usianya sekitar lima puluh tahun itu. Pria yang menatapku dari kepala
sampai ujung kaki. Anita meninggalkanku bercengkrama. Aku mulai menyadari
ada yang ganjil. Aku mengajak Anita berbincang di luar.
“Kenapa kamu mengenalkanku
pada bapak tadi? Bukankah kamu menawarkan pekerjaan, mana?”
“Resya, apa lagi yang kamu
tunggu. Di sinilah pekerjaanmu. Bersenang-senanglah! kamu akan dapat bayaran
tinggi dari dia.” Mendengar penjelasan Anita, tanganku mendarat keras di
pipinya.
“Kenapa kamu Res? tidak tau
terima kasih. Aku sudah berusaha membantu tetapi kamu tidak tau diuntung.
Beginilah orang yang tidak berpendidikan, bodoh sekali jika kamu tidak
memanfaatkan keadaan. Orang itu akan memberikanmu harta yang berlimpah. Kamu
menolak?”
“Maaf Anita. Terserah kamu
anggap aku apa tetapi keputusanku sangat tepat. Aku tidak akan bekerja
denganmu.”
“Percuma bekerjasama dengan
orang yang tidak tau kesenangan. Kamu pikir mudah mencari pekerjaan lain.
Bukankah kamu butuh uang? Di sini kamu akan mendapatkannya. Berapapun yang kamu
mau. Lalukanlah! Kenapa harus berubah pikiran?”
“Jika aku menerima
pekerjaan ini, nasibku akan lebih buruk.”
“Kenapa harus berpikir
baik-buruk jika pada akhirnya semua keinginanmu akan terpenuhi. Bukankah jadi
kepuasaan tersendiri? Itu tujuanmu mencari pekerjaan kan?”
“Tidak. Aku tidak mau
mengecewakan adikku. Lebih baik menjadi pengangguran daripada bekerja tidak
halal untuk membiayai kehidupan mereka. Bagaimana aku jadi contoh? aku selalu
berusaha mengajarkan perbuatan baik tetapi pekerjaan ini menginjak harga
diriku.”
“Terserah, aku tidak
peduli.” Anita meninggalkanku dengan wajah marah. Aku lebih baik
mengecewakannya, kan selalu ingat pesan Ibu di akhir usianya.
***
Aku terbangun dengan mata
berat. Kejadian semalam membuatku lelah. Sekarang aku harus lebih hati-hati,
tidak boleh percaya pada orang yang baru kenal. Kesulitan hidup telah
mengantarkan seseorang melakukan kejahatan demi mendapatkan apa yang
diinginkan. Tanpa peduli hal itu merugikan dirinya bahkan oranglain.
Kamu bukan orang cerdas
Anita, terlalu naif untuk orang yang menggunakan otak untuk berbuat jahat. Aku
pikir hidupmu sempurna, penuh harta dan bahagia tetapi aku tidak melihat itu.
Kamu menyesali yang telah terjadi.
Jalan hidup yang rumit
lebih memberi banyak pelajaran. Terkadang aku membencinya tetapi lebih banyak
mensyukuri. Aku tidak ingin masuk dunia gelap. Jangan biarkan sepi dihati
membutakan pikiran! Kadang keinginan tidak sejalan dengan kenyataan. Jika kita
yakin ada jalan keluar. Maka bersugestilah kamu mampu! Tidak perlu jadi
oranglain, cukup tunjukan dirimu apa adanya!
***
Aku berjalan menuju teras,
rumah sepi. Nafira masih tertidur di kamar, tidak ada yang berani membangunkan.
Dugaanku keliru,
Gerda duduk melamun di bangku teras. Tatapan kosong tertuju pada halaman.
“Gerda." Sapaku, duduk
disamping Gerda menunggu jawaban. Dia tidak menoleh, seperti sedang menenangkan
diri. Dia seakan sudah siap dengan berbagai pertanyaan dariku.
“Kenapa kamu tidak
berangkat kerja?”
Aku sudah lama tidak
menyapanya. Dia berangkat pagi, pulang malam saat penghuni rumah tidur. Dia
tetap tidak menjawab.
“Kenapa? Jangan melamun
seperti itu kakak jadi khawatir. Cerita sama kakak!”
Apa ada yang
salah? Apa ini ada sangkut pautnya dengan Aldi yang aku izinkan kuliah. Apa
Gerda merasa aku tidak adil? Gerda, apa aku bukan kakak yang baik?
“Bicaralah! tidak
biasanya kamu seperti ini.” aku mengguncang badannya hingga akhirnya dia
menoleh.
“Kak.” ucapnya terhenti.
Jujurlah, jangan memendam
rasa bila selama ini kakak tidak membuatmu bahagia! Apa yang harus kakak
perbaiki? Akan kakak kabulkan permintaanmu. Percayalah!
“Ada masalah apa?”
“Apa Kakak percaya padaku?”
wajahnya memelas.
“Tentu saja. Kakak selalu
percaya pada adik-adik kakak.”
“Aku jahat dimata orang
lain, bisa jadi dimata kakak. Aku dituduh mencuri uang kas milik bengkel. Aku
memang masuk ruangan itu tetapi mengambil berkas yang bos butuhkan setelah itu
ruangan kembali terkunci. Aku benar-benar tidak mengambil uang.”
“Kakak mengenalmu dengan
baik. Kebenaran lambat laun akan terungkap. Kamu tidak boleh menyerah
mempertahankan pendirianmu. Kakak yakin kamu tidak bersalah.”
“Mereka tidak percaya. Aku
tidak punya pekerjaan lagi, sekarang aku tidak bisa membantu kakak. Aku minta
maaf.”
“Tuhan akan selalu
memudahkan jalanmu. Kakak tidak mau kamu terbebani. Jangan pikirkan lagi! kamu
akan mendapat pekerjaan yang lebih baik. Tetap semangat! Biarkan masalah ini
jadi pelajaran supaya tidak terulang lagi!”
Entah berapa lama lagi aku
bisa menahan air di ujung mata.
Siapa saja ingin mencari
ketenangan di saat seperti ini. Mencari tempat persembunyian, hingga tidak
telihat jejak. Jangan biarkan kesedihan membawaku kembali meratap!
***
Sudah seminggu aku tidak
tidur pulas, memikirkan kelanjutan hidup kami. Aku dan Gerda tidak
bekerja. Penghuni rumah selalu menghibur Gerda, senyum dan tawanya kembali
menghiasi rumah.
“Kak Resya ada tamu.” Suara
Merisa di luar kamar sangat nyaring.
Rumah sepi di hari minggu.
Merisa asik menonton tv, tidak peduli celotehan Nafira disampingnya. Waktu
libur seperti ini Gerda dan Aldi pergi berolahraga.
Aku meghampiri seseorang
diruang tamu, lelaki yang duduk di sofa.
“Pagi Resya.”
Aku tidak membalas sapaan,
tersenyum sedikit saja rasanya sulit.
“Apa kabar?
Om jarang mengunjungi kamu dan adik-adikmu, sampai rindu tempat ini.”
“Apa aku tidak salah
dengar?”
“Salahkah bila Om datang
berkunjung?”
“Aneh saja, dulu Om memilih
pergi dari tempat kumuh kami. Bahkan Om lebih senang tinggal di luar tanpa
peduli keadaan rumah ini.”
“Apa yang kamu bicarakan?”
“Bukankah itu kenyataan,
sudah lama Om tidak menginjakan kaki bahkan saat Ibu pergi. Sekarang untuk apa
Om kembali?”
“Apa maksudmu?”
“Jangan pura-pura tidak
mengerti!”
“Kamu memang sudah dewasa
tetapi hormatilah orangtua!" Nadanya meninggi.
“Maaf Om, aku tidak
bermaksud merendahkan siapa-siapa.”
“Percuma saja kita
bertengkar. Ada yang ingin Om sampaikan padamu tetapi tunggu Gerda dan
Aldi juga. Tenangkan dirimu tidak baik memperlihatkan kemarahan didepan
adikmu!”
Aku harus meredam amarah di
depan Merisa dan Nafira. Mereka mendengar teriakanku, Merisa mengerti tetapi
Nafira menatap polos perbincangan kami. Anak mana yang tidak marah bertemu
kembali dengan orang yang tidak pernah menjenguk Ibu ketika melawan
penyakitnya. Sampai menutup usia tidak terlihat batang hidungnya di pemakaman.
Dia tidak pernah peduli kehidupan kami setelah di tinggal ibu, tetapi kini dia
kembali.
Jika lelaki itu akan
tinggal bersama kami, aku memutuskan untuk tidak menerimanya. Saat ini aku
tidak punya rasa iba menelantarkannya diluar.
***
Malam ini menjawab
kegelisahanku. Jika saja dari awal aku tau dia akan datang, aku akan mengunci
rumah. Namun jika dia datang dengan isyarat baik. Sebaliknya, aku akan menerima
dengan senang hati.
Aku, Gerda, Aldi dan Om
Wira duduk di ruang tamu. Kedua adik perempuanku bermain di kamar. Aku sudah
lelah berdebat, kata-katanya tadi siang sudah cukup jelas jika aku tidak
menyambutnya.
“Apa yang Om lakukan sangat
keterlaluan. Kenapa tidak meminta izin pada Kak Resya.” Aldi terpancing emosi.
“Kakakku sudah berbaik hati
merawat kalian. Apa kalian meminta imbalan? Aku juga berhak atas rumah ini.”
“Tidak tau malu, sudah
tidak peduli pada Ibu sekarang menyakiti kami. Tempat judi itu tidak
menghasilkan. Buruknya membiarkan hak milik tanah ini pada mereka. Ceroboh,
tidak akan aku lepaskan.” Gerda mengarahkan tinjuan pada wajah Om Wira.
Aldi menghentikan gerak tangan Gerda.
“Aku tidak pernah
berharap malam ini melihat Om. Jangan sakiti adik-adikku!“ ucapku tegas.
“Om memahami keadaan kalian
dan menyesali kesalahan ini. Om ingin berubah."
“Apa ini yang disebut
memahami? kenapa harus Om yang menambah beban kami?”
“Om sudah mencoba
mengambil hak milik rumah ini tetapi uang tidak cukup melunasi semua hutang.”
“Apa yang harus kita
lakukan?”
“Tidak ada jalan lain
Resya. Jika mampu, kalian bisa mengambil rumah ini kembali.”
“Aku tidak punya pekerjaan
lagi. Aku tidak akan memberatkan adik-adikku karena masalah Om. Kami punya
masalah hidup masing-masing. Mungkin inilah takdir kami, pergi dari tempat
ini.”
“Maafkan atas kesalahan Om
yang telah melukai hati kalian!”
Gerda dan Aldi
tertunduk menahan tangis, sama seperti sorot mata Om Wira. Aku tau mereka
sangat kecewa tetapi inilah kehidupan tidak selamanya bahagia menyapa.
***
Rumah Ibu bukan milikku.
Kami tidak punya hak di sana, anak angkat pemilik yang telah tiada.
Kebahagian muncul susah
payah, namun duka menguburnya dalam. Namun kami tetap bertahan dengan ikhlas
menerima keadaan. Berbekal rumah lama peninggalan orangtua yang di rawat Mbok
Parmi, kami memulai kehidupan baru.
“Kakak, Kak Merisa dimana?”
“Mungkin di luar membantu
Kak Gerda dan Kak Aldi membereskan gudang.”
“Fira mau ke gudang ya
kak.”
“Lihat dari jauh ya,
ruangannya berdebu! Biarkan kakakmu yang mengangkat beban berat, Fira membantu
menyapu saja!”
“Iya Kak.”
Sudah dua bulan kami pindah
rumah. Aku tidak lupa rumah lama yang sudah berganti pemilik, tidak ada pikiran
untuk mendapatkan rumah itu kembali. Ibu pasti mengerti.
Rumahku terdiri dari tiga
kamar tidur, dua kamar mandi, dapur, ruang tamu dan gerasi mobil. Mobil itu
kini terparkir di halaman, Gerda dan Aldi berniat memperbaikinya.
Kini kami memulai dari
awal. Jika kita percaya! Tuhan akan mengabulkan permintaan kita.
Sisa tabunganku dijadikan
modal awal membuka usaha, gerasi disulap menjadi warung. Aldi mendapat
pekerjaan sebagai karyawan kantor. Sedangkan Gerda diterima kembali di
bengkel yang dulu karena pelaku pencurian sudah tertangkap. Sekarang
Gerda kuliah di tempat yang sama dengan Aldi. Mereka membiayai kuliah
dengan uang sendiri.
Keceriaan terpancar saat
bersama, tidak ada raut kecewa, tidak ada yang membenci. Om Wira tidak pernah
berjudi dan mabuk-mabukan lagi. Sekarang dia merantau untuk bekerja. Kepintaran
menjadikannya karyawan kepercayaan. Sebagian gaji dia kirimkan untuk kebutuhan
kami. Beliau mengajarkan kami supaya tidak lupa menyisihkan sebagian uang untuk
sedekah dan menabung. Om Wira selalu pulang jika libur panjang.
Meskipun Ibu telah tiada, sikap Om Wira mengingatkan kami
padanya. Kami merasa memiliki orang yang menyayangi dengan tulus.
Jangan biarkan dendam
menutupi ruang kasih sayang! Jangan biarkan luka lama hadir menghentikan
langkah! Setiap orang punya sikap baik maupun buruk, biarkan seseorang berubah
menjadi lebih baik!
Terimakasih
Ini ceritaku... Dilarang copypaste!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar