Saat ini aku tidak tahu kamu disana berpasangan dengan siapa.
Aku hanya ingin
mengenang. Kamu yang tidak terduga datang secepat cahaya petir. Hujan yang
mempertemukan kita.
Mimpi, harapan dan
kebahagiaan tertuju padamu. Kamu datang tanpa aku minta. Secepat inikah aku
harus kehilangan? Sesingkat aku menambatkan hati padamu, orang yang memberikan
harapan kosong. Aku tidak sanggup bertahan ketika waktu kembali mengingatmu.
Saat kehadiran seseorang
perlahan membuka harapan, aku mulai menyadari hidupku sangat bermakna. Aku
yakin kebahagiaan semakin dekat, tetapi siapa yang mengetahui jalan hidup
selanjutnya. Ketika hantaman keras membuatku mundur sangat cepat. Aku kembali
sendiri.
Apa kamu senang berada di
sekolah? Pertanyaan ini tidak boleh tertuju pada seseorang. Dia tidak seperti
murid lain, sibuk berorganisasi supaya namanya terkenal, bercengkrama kesana
kemari untuk menambah teman, dan melakukan apapun yang berhubungan dengan tren
remaja saat ini supaya tidak di cap muka jadul.
Lelah yang aku alami tidak
menyurutkan setiap tekad. Aku tidak menyerah melawan kesedihan yang membayangi.
Demi mereka, ayah dan ibu. Sejak sekolah dasar sampai SMA masuk sekolah
berkualitas. Mereka bangga tetapi waktuku terkuras untuk belajar. Kamu tahu
rasanya bersaing? Kamu tahu rasanya bersikap jadi oranglain? Kamu tahu rasanya
berada dilingkungan asing, seakan mata mereka siap menerkammu jika kamu tidak
cerdik?
Itulah isi pikiran seorang
gadis. Dia tidak tahu kemana arah tatapannya, kaki terpaku di depan gerbang
sekolah.
“Alena.” tidak ada
jawaban. Sehingga dia perlu mengulang untuk meyadarkan sahabatnya.
“Alena, apa yang kamu
lakukan?” Erlita mengibaskan tangan di depan wajah gadis itu.
“Lita, sejak kapan kamu
disini?”
“Haruskah aku menjelaskan
dengan rumus matematika yang tidak kamu mengerti atau bahasa asing yang terus
kamu pelajari? Pilih mana?”
“Aku tidak ingin bercanda.”
“Ini serius, aku adalah
calon guru profesional jadi aku harus bertanya padamu, rumus mana yang cepat
kamu pahami?”
“Berhentilah bertingkah aku
ini muridmu, Ibu guru! nanti saja kamu praktekan saat lulus menjadi sarjana!
Sepertinya masih lama."
“Aku mengerti bawel. Aku
sedang berlatih sedikit demi sedikit. Kamu serius sekali.” Erlita menjentrikan
jari pada hidung Alena.
“Apa yang kamu lakukan
disini?”
“Aku menunggumu.”
Sebenarnya tidak ada yang dia tunggu. Alena hanya tidak ingin pergi ke tempat
yang harus ia tuju.
“Benarkah?”
“Iya, kemana Siska dan
Kinar?”
“Mereka di kosan. Kita akan
mengerjakan tugas bahasa Inggris dari Pak Soni. Apa kamu tidak les private?”
“Begitulah.”
“Apa tidak apa-apa?” Tidak
ada jawaban.
Sepulang sekolah sudah jadi
rutinitas Alena, Siska dan Erlita berkumpul di kosan Kinar. Kegiatan mereka
yaitu menonton film, mengerjakan tugas atau tidur di kamar Kinar. Kadang mereka
melakukan kebiasaan konyol, menaburkan bedak pada siapa saja, berlarian mencari
korban sampai mereka mengunci diri di kamar, dapur, bahkan toilet. Semua
penghuni kos sudah terbiasa dengan kegaduhan. Saat itulah Alena melupakan
kekecewan masuk sekolah ini karena mengenal mereka.
Sore di hari kamis, hujan
turun deras. Hujan memberi jeda waktu pada langit, mendung isyarat bahwa
siapapun menyadari akan kedatangannya. Namun seorang gadis mengenakan seragam
sekolah lebih senang hujan mengguyurnya tiba-tiba. Baginya hujan sapaan teduh,
menyembunyikan wajah letih dalam kabut, menyatukan air mata dalam rintik. Namun
tempat ini terlalu ramai, dia akan diperhatikan sebagai orang aneh jika
memaksakan diri berjalan menyusuri hujan untuk menangis.
Dia mengikuti langkah Siska
melewati pertokoan menghindari sapaan langit yang akan membasahi.
Langkah terburu-buru seakan
tidak ingin bercengkrama dengan bising. Wajah Alena tertunduk melewati setiap
orang yang berteduh di emper toko. Siska disamping tidak berani bertanya,
jawaban yang sama akan dia terima.
“Aku baik-baik saja.”
“Siska?”
Di luar toko elektronik,
banyak orang berteduh. Salah satu dari mereka adalah Hany, teman Siska waktu
SMP. Dia tidak sendiri, ada lelaki yang menemani duduk bersandar di tembok toko
yang sudah tutup itu. Dia sibuk memainkan ponsel. Siska tidak mengenalinya,
jadi tidak memperhatikan.
“Hany, apa kabar?”
“Baik, kamu sendiri? Apa
kamu baru pulang sekolah?”
“Baik juga. Ya, aku baru
saja selesai mengerjakan tugas. Kenalkan ini sahabatku, Alena.”
Alena tersenyum dan
membalas uluran tangan Hany. Setelah Siska dan Hany bertukar nomer telepon,
mereka mengakhiri perbincang. Siska tahu Alena tidak suka menunggu lama bahkan
tidak akan melakukan interaksi ketika hati sedang kacau.
Tiba di terminal, Alena dan
Siska memisahkan diri. Mereka naik mobil jurusan berbeda. Alena bersandar
sendirian. Layar ponsel berkedip, menandakan satu pesan telah masuk. Dia
mendapat pesan dari seseorang yang sudah lama tidak memberi kabar.
Luke: Aku tidak pernah
memaksamu menjadi seseorang yang aku harapkan. Jangan diam saja! Jika kamu
bersikap seperti ini, semuanya menjadi lebih buruk.
Alena: Baiklah, aku mau
kita putus.
Lelah seakan milikku yang
terlihat tegar. Aku sering kali menyimpan kecewa dalam mengambil keputusan.
Apakah oranglain mengalami hal yang sama? Aku tidak tahu. Apa
oranglain punya pemikiran ingin kembali ke masa lalu, memperbaiki sesuatu yang
pernah terjadi? aku tidak berani menanyakan karena takut orang akan membalikan
pertanyaan itu. Haruskah aku jelaskan sesuatu yang buruk menimpaku?
Mata coklat berubah teduh,
menatap hujan yang enggan meninggalkan bumi. Tempat pemberhentian mobil yang
ditumpangi Alena sejajar kearah pertokoan. Meskipun disana banyak orang tetapi
matanya memperhatikan sosok yang berbincang bersama Hany. Wajahnya terhalang
kabut sehingga bola mata Alena memicing untuk memperjelas.
“Apa yang terjadi? Kenapa
aku melakukan hal bodoh, memperhatikan orang yang sama sekali tidak aku kenal.
Dasar bodoh, bodoh hentikan ini!” gerutunya.
Ponsel Alena bergetar,
muncul nama Siska dilayar.
“Ada apa Sis?”
“Ini hari keberuntunganmu
sahabat cantikku.”
“Apa? Memang siapa yang
ulang tahun?”
“Alena, tidak perlu ulang
tahun untuk mendapat keberuntungan.”
“Ya, tetapi hari ini aku
merasa tidak beruntung.”
“Kenapa?”
“Aku baru saja memutuskan
Luke.”
“Sudah seminggu Luke
membungkam senyummu. Aku merasa bahagia mendengar kalian putus. Maaf jika
terdengar jujur! Alena, tersenyumlah!”
“Aku akan berusaha. Rasanya
lega sekali seperti melepas beban. Lebih baik kehilangan Luke daripada
berpura-pura menyukainya.”
“Selalu ada dukungan dari
sahabatmu ini. Kamu akan menjadi lebih baik. Hari ini aku yakin membuatmu
bahagia. Kamu pasti tidak percaya. Ayo, tidak percaya kan?”
“Apa maksudmu? percaya
bagaimana? kamu tidak mengatakan apa-apa.”
“Aku hampir melupakan hal
penting yang harus aku sampaikan.”
“Kebiasaan.”
“Sudahlah, jangan bahas
tentang aku. Al, kabar baik. Hany bilang sepupunya, cowok yang bersamanya
tadi meminta nomor kontakmu. Bagaimana?”
Kabar yang tidak dapat
diprediksi terjadi bagai petir yang datang tidak terduga. Secepat inikah.
Tuhan, Engkau tahu isi hatiku. Dia membuka telapak tangan, haruskah aku
menyambutnya. Cowok itu? dia yang sedang aku amati, ingin berkenalan denganku?
“Al, aku menunggu
jawabanmu.”
“Hmptt.”
“Apa itu artinya?”
“Tidak tahu. Aku baru saja
putus. Tidak berminat dekat dengan oranglain secepat ini. Apalagi aku tidak
mengenalnya.”
“Alena, biarkan hatimu
memilih! Siapa tahu kamu akan menyukainya atau kalian bisa berteman. Jangan
biarkan aku membahas ini lagi!”
“Baiklah, kesempatan tidak
akan datang dua kali.”
“Sahabatku memang pintar,
lalu apa jawabanmu?”
“Ya, kamu boleh memberikan
nomorku!” Kabut soret memang menenggelamkan wajahnya tetapi tidak bagi Alena.
Kamu tidak menyadari
diam-diam aku mengamatimu. Sejak awal, sosokmu begitu cepat memikat.
Keinginanku saat ini adalah mengenalmu.
Malam hari, Alena mendapat
pesan dari nomer baru. Dia tidak membalasnya.
“Bisakah kamu menunggu? Aku
baru saja melepas Luke yang selama ini menjadi pelarian. Aku terlalu memaksakan
diri. Kejadian ini tidak boleh terulang lagi. Bersabarlah sebentar! jika kamu
memaksa. Jangan salahkan aku jika aku menjauh!” Alena berbicara pada ponsel
yang dia sembunyikan di bawah bantal.
Belum waktunya, aku memang
sudah terbiasa seperti ini. Cewek moody, gampang berubah suasana hati.
Kita tidak pernah tahu,
sesuatu yang kita tetapkan akan berubah dalam hitungan detik. Haruskah aku
mengenalnya? akankah kamu menyetujuinya? Jawablah pertanyaanku! bintang paling
terang munculah dalam mimpi agar aku yakin dengan keputusan melepasmu.
Alena memeluk boneka panda
kesayangan, matanya berair. Dia terbaring, merasakan getaran handphone. Dia
mengirim beberapa pesan tetapi Alena bersikap tidak peduli.
Hati sulit di tebak dan
dimengerti oleh diri sendiri apalagi oranglain. Dia tahu hidup tidak sesingkat
yang terpikirkan. Kadang bahagia datang saat duka hampir mengubur kepercayaan
diri. Keterpurukan bukanlah hidup yang harus disesali.
Berpikirlah hidup masih
panjang, dan jalan yang terlalui tidak selamanya rintangan tetapi ada tempat
peristirahatan yang penuh dengan kenyamanan. Untuk menuju ke sana, laluilah
jalan-jalan terang bukan gelap pembawa kecemasan!
***
Alena tidak sempat sarapan
tetapi dia tidak menyangka akan mendapat bonus yang mengenyangkan dari Luke.
Alena menyempatkan diri datang ke kantin sekolah. Kantin masih sepi hanya
beberapa siswa berada di sana. Tidak jauh dari tempat Alena, Luke dan
teman-temannya memperhatikan dia yang duduk sendiri. Sepertinya Luke bersiap
untuk mempermalukan Alena.
“Gadis bermuka dua. Aku
akui dia berwajah manis tetapi sikapnya menyeramkan.” Luke menghentikan ucapan.
Seakan sebuah skenario, temannya menimpali.
“Menyeramkan, bagaimana
kamu tahu belangnya? Apa dia sengaja membuka topeng dihadapanmu?” Tatapan sinis
Aldo jelas tertuju pada seseorang.
“Dia masih berpura-pura
lugu. Apakah kalian bisa menebak hati seseorang?”
“Tidak.” Jawab Aldo dan
Revan serempak.
“Begitulah, kita hanya tahu
seseorang dari luar saja. Dia terlihat penurut, penyayang tetapi nyatanya dia
menunggu kesempatan untuk mencabik-cabik perasaan.”
“Sungguh diluar dugaan. Apa
seperti itu sikap gadis yang kamu bicarakan? apa kamu tidak salah sangka?”
“Tentu saja tidak, itulah
kenyataannya. Dia telah menyakiti hatiku, Van. Aku bersikap baik tetapi ini
balasan yang aku terima.”
“Mungkin ada alasan kenapa
dia menyakiti perasaan seseorang karena dia sendiri tidak bahagia.” Revan
menatap Alena iba. Dia melihat gadis itu berhenti menyentuh makanan.
“Jika dia tidak bahagia,
setidaknya jangan menyakiti perasaan orang lain. Apa sulit menjelaskan alasan
dia meninggalkanku dan bersikap baik?”
“Memang apa yang akan kamu
lakukan setelah mendengar alasannya?”
“Setidaknya aku tahu
kesalahanku. Jika dia mau, aku bisa introfeksi diri. Jangan mengacuhkan
seseorang tanpa alasan! Bagaimana jika kamu berada di posisiku, Van?”
“Aku akan dihantui rasa
bersalah. Kenapa gadis itu berani melakukan hal tersebut padaku. Apa aku
melakukan kesalahan yang tidak bisa dia maafkan? Itu yang akan aku tanyakan
padanya, sebelum dia menjelaskan apa-apa.” Hati Alena tersengat.
Apa Revan membelaku? Atau
mungkin ini taktik dia supaya aku dan Luke bisa kembali. Aku tidak akan
melakukannya. Oranglain pasti mengira aku yang salah tanpa tahu kebenarannya.
Luke menyiksaku, dia overprotektif, pembohong dan kata-katanya yang selalu menyombongkan
diri membuatku muak.
“Van, aku tidak pernah
bermasalah dengannya. Selama ini aku berusaha menjaga hubungan supaya tetap
nyaman. Apa kasih sayangku selama ini tidak cukup? aku heran kenapa dia
memutuskanku. Apa dia tidak bisa merasakan ketulusan seseorang?”
“Mungkin dia memiliki
kekasih lain. Cewek sekarang kan kalau punya gebetan baru, yang lama pasti
dibuang. Pecuma memberikan ketulusanmu pada cewek yang memiliki hati sekeras
baja. Dia tetap kuat tanpa peduli perasaan orang lain.” Ledek Aldo.
“Jika dia mendua, aku tidak
bisa memaafkannya. Dia akan menerima akibat karena telah mempermainkan
perasaanku.”
“Sudahlah tinggalkan saja
dia! Diluar sana ada banyak perempuan yang lebih baik.”
“Benar Al, sekarang aku
tidak peduli pada cewek munafik.” Luke dan Aldo tertawa puas, Revan tersenyum
sinis.
“Tidak lucu.” Alena memilih
pergi.
Alena bisa saja membungkam
mulut Luke, membocorkan keburukannya di hadapan semua orang tetapi dia bukan
orang yang senang mencari masalah.
Alena duduk melamun,
menopang dagu. Kehidupannya terlihat damai, berbeda dengan teman-teman sekelas.
Pelajaran kimia tanpa kehadiran guru, digunakan murid untuk bersantai seperti
bermain hp, bersendagurau, bergosip tetapi ada juga sekumpulan orang yang mengerjakan
tugas.
“Alena, kamu dan
siska menyembunyikan sesuatu dariku.” Selidik Kinar yang duduk didepan.
“Maaf, aku tidak sengaja
membocorkannya.” Siska menyembunyikan wajah pada buku.
“Benarkan, jika tadi siska
tidak keceplosan mungkin kalian tetap merahasiakannya.”
Posisi Alena kian terpojok
ketika tatapan curiga Erlita yang duduk di sebelah Kinar mengarah padanya.
“Kenapa kamu tidak jujur padaku? Kamu tidak mau berbagi cerita lagi?”
“Aku butuh waktu
menceritakan masalah ini. Kepalaku pusing jika kembali memikirkannya. Aku
berusaha melupakan tanpa membebani kalian. Memang benar kemarin aku putus
dengan Luke. Kami bahkan tidak bertegursapa. ”
“Sejujurnya, aku
mendukungmu putus daripada melihatmu bersedih. Akan ada lelaki yang lebih baik
dari dia.” Erlita menggenggam tangan Alena, menguatkan hati sahabatnya.
“Aku sangat tidak suka
Luke. Dia salah satu cowok membosankan yang pernah aku kenal. Dia tidak cocok
kalau bergabung dengan kita. Singkirkan dia dan masukkan dalam daftar hitam,
anggap saja tidak pernah kenal!” Kinar mengedipkan sebelah mata.
“Setuju, jangan sampai
cowok itu menyelinap lagi di antara kita.” Siska membenarkan ucapan Kinar.
“Terima kasih kalian.”
”Kita lupakan tentang Luke.
Bagaimana perkembanganmu dengan sepupu teman Siska yang mengajak kenalan?
Ceritakan!” desak Kinar.
“Aku belum pernah membalas
pesannya. Sejak kemarin aku malas mengetik sms jadi aku hanya membaca pesan
yang dia kirim.”
“Apa benar?” Siska berhenti
membaca buku.
“Iya. Tenang saja aku akan
membalasnya kalau moodku bagus!”
“Alenaku sayang. Sampai
kapan kamu akan bersikap cuek seperti ini?”
“Maafkan aku! Aku janji
tidak akan mengulang kesalahan itu lagi.”
“Minta maaflah pada orang
yang tepat! belajarlah menghargai perasaan seseorang!”
“Aku mengerti, Sis.”
“Alena cap cuek sudah
melekat pada dirimu. Cowok disini saja tidak berani mendekatimu karena itu.
Apalagi dia yang baru kenal, bisa jadi dia akan menjauhimu jika kamu tidak
merespon.” Celetuk Kinar.
“Aku juga akan bersikap
seperti Alena. Bukan cuek tetapi lebih tepatnya menjaga sikap. Kita bahkan
belum tahu sikap cowok itu, wajar saja jika Alena tetap waspada daripada jadi
cewek gampangan.” Erlita membela.
“Tetapi...” Erlita
membungkam mulut Kinar yang paling senang mencari gara-gara.
Pelajaran terakhir
mengerjakan soal matematika, suasana kelas berubah menjadi menegangkan.
Berhadapan dengan guru rajin bernama Bu Eli adalah waktu yang membosankan. Bu
Eli sering menyuruh murid mengerjakan soal di buku paket, tidak cuma 15 soal
tetapi lebih.
Siapapun yang mendapat jari
telunjuk Bu Eli, dia harus memaksakan diri menuju papan tulis. Siswa yang
menjawab soal dengan benar bisa duduk tenang tetapi siswa yang tidak bisa
mengerjakan soal tersebut, dia akan berdiri di depan papan tulis dengan ajaran
Bu Eli sampai mengerti.
Hari ini Bu Eli
meninggalkan ruangan setelah memberikan tugas kelompok. Biasanya dia mengitari
setiap bangku untuk melihat hasil kerja murid tetapi keberuntungan sedang
berpihak pada kelas XIA. Erlita dan Kinar sibuk membahas majalah fashion yang
baru mereka beli dan Siska membaca novel pada selipan buku paket matematika.
Sedangkan Alena punya kesempatan untuk membalas pesan dari seseorang.
Ternyata menunggu itu
membosankan. Pesanku tidak satupun mendapat balasan. Semalam, dia pasti
merasakan hal yang sama.
Alena menunggu dalam cemas.
Tidak lama setelah menyimpan ponsel diselipan buku, layarnya menyala. Saat
membaca pesan, senyum Alena mengembang. Dua jam pelajaran matematika di hari
Jumat ini terlewati Alena dengan perasaan senang.
Kamu tahu rasanya membaca
pesan dari orang yang kamu taksir? Kamu bahkan tidak mau berbagi kebahagiaan
itu pada orang lain. Dia, Zaki Gifansyah. Pria yang ramah, sopan mudah akrab,
dan senang bercanda, kriteriaku. Apa yang kamu harapkan dari kedekatan ini? Apa
untuk menyamakan tujuan kita dalam membina hubungan?
Sore hari ketika Alena dan
sahabat-sahabatnya berada di kosan, Zaki mengirim pesan ingin bertemu. Alena
tidak keberatan tetapi tugas hari ini menghalangi jalannya. Selesai jumatan
Zaki sudah menunggu di tempat pertama kali mereka bertemu. Siska, dan Kinar menyadari
kegelisahan sahabatnya.
“Ada apa Alena?” Siska
menghentikan gerak tangan yang sedang menulis.
“Apa kamu memikirkan
Erlita? Jangan khawatir dia pergi dengan teman lamanya!” Kinar menerka
kekhawatiran Alena.
“Bukan itu kan masalahnya?
Apa Zaki ingin bertemu denganmu?” Alena mengangguk lemah.
“Kalau begitu, Ayo pulang!”
Siska tahu, Alena bukan orang yang gampang diajak bertemu apalagi oleh
orang yang tidak dikenal. Siska berinisiatif menemani sahabatnya itu sebelum
dia berubah pikiran, tidak akan menemui Zaki.
“Kalian akan bertemu Zaki.
Apa aku boleh ikut?”
“Kinar, rumahmu disini.
Lebih baik kamu selesaikan tugas ini!”
“Iya Bu Siska. Bagaimana
dengan tugas kalian?”
“Kita kerjakan besok pagi.
Aku yakin Erlita juga belum mengerjakan."
“Aku juga bisa kerjakan
tugasnya besok. Jadi bolehkah aku ikut? Siska, aku juga ingin melihat Zaki.”
wajah Kinar memelas.
“Tidak, aku tahu sikap
kamu. Bukannya kalau pagi kamu malas mengerjakan tugas.”
“Baiklah, aku hanya perlu
mendengar cerita baru. Ini berarti Alena sudah berhasil melupakan Yuda. Ya
baguslah, semoga dia baik seperti Yuda atau bahkan lebih baik. Supaya kamu bisa
melupakan si pangeran Yuda. Sudah lama kamu tidak benar-benar pacaran semenjak
Yuda pergi. Semoga hubunganmu kali ini bisa bertahan lama!”
Kinar berbicara tanpa jeda,
tidak menyadari sesuatu. Wajahnya tetap polos tanpa mengerti arti wajah dua
sahabatnya, kaget.
Jleb, rasanya jantungku
dihatam benda keras saat mendengar nama itu. Aku tidak melupakan dia, Yuda.
Bagaimana bisa aku melupakan cinta pertamaku tetapi setiap kali mendengar nama
itu, hatiku merasa sedih.
“Sudahlah, sebaiknya kita
segera pergi!” Siska tahu kebiasaan buruk Kinar.
“Semangat sahabat
cantikku!” Kinar menunjukan wajah bahagia. Siska menarik tangan Alena,
meninggalkan Kinar yang kembali menulis.
Siska, sahabat baikku. Dia
paling mengerti apa yang aku rasakan. Apa yang aku rasakan? Entah kenapa aku
ingin menangis, namun air mata ini telah mengering. Apa aku harus bahagia
dengan moment ini? Aku berusaha.
Mereka berjalan
tergesa-gesa, Siska tidak tahu apa yang dipikirkan sahabatnya. Alena menatap
kosong langkah kakinya.
“Apa kamu mengingat dia
lagi? Maaf aku menanyakan hal ini. Apa perkataan Kinar membuatmu bersedih?”
“Tidak, aku malah bahagia.
Aku tidak pernah melupakan Yuda, tidak akan. Perkataan Kinar benar. Aku terlalu
larut mengenang Yuda sampai tidak memberikan ruang di hatiku untuk oranglain.”
Tuhan, jika aku dapat
memilih. Aku ingin merasakan waktu panjang bersama Yuda. Kembali kemasa itu.
Menghapus semua rintangan yang akan terjadi, supaya tidak ada waktu yang
memisahkan kami tetapi aku tidak boleh egois. Tuhan, aku tahu Yuda bukan
milikku. Engkau punya kuasa untuk mengambilnya kapanpun. Yuda, Engkau kenalkan
padaku sebagai kenangan yang paling berharga. Aku bahagia sampai aku tidak
sanggup membuangnya.
Pertama kali masuk SMP,
Yuda dikenal sebagai kakak senior berhati dingin. Alena tidak pernah melihat
dia marah pada junior tetapi orang sering membicarakannya sebagai cowok tidak
berperasaan, melukai hati setiap perempuan. Wajahnya tampan, lebih tampan dari
ketua basket sekolah yang seharusnya menjadi incaran.
Yuda menolak wanita yang
mendekati dengan sikap cuek. Karena itulah, dia mendapat julukan “berhati
dingin”. Tidak ada yang tahu, dia sering mengirim pesan dan menelpon seseorang
dengan romantis.
Hari ini, Alena mengalami
kejadian yang tidak terduga. Dia dan Kinar berjalan terburu-buru ke sanggar
tari setelah mendapat pesan dari Kak Wilda bahwa mereka berdua datang
terlambat. Tidak biasanya sanggar sudah dipadati orang sebelum jam latihan
dimulai. Kak Wilda menarik tangan Alena.
“Kamu tahu datang
terlambat?” sepertinya kemarahan Kak Wilda hanya tertuju pada Alena karena
Kinar langsung disuruh latihan bersama yang lain.
“Iya Kak, maaf.”
“Maaf? Apa akan selesai
begitu saja setelah mengucapkan maaf. Kamu pikir latihan tari ini cuma
permainan?” semua mata tertuju pada Alena.
“Aku tidak pernah menganggap
latihan ini pemainan. Ini hobiku dan sejak kecil aku berusaha keras supaya bisa
menari dengan baik. Jika hati tidak serius di bidang ini, dari awal aku tidak
akan ikut bergabung. Percuma saja memaksakan diri, tidak akan ada manfaatnya.”
“Aku tahu kamu anak pintar
tetapi dengarkan saja jika seniormu sedang berbicara! Tidak tahu sopan santun.
Bersikaplah seperti junior pada senior! Jangan besar kepala dan berani
melawanku hanya karena keakraban kita di luar sekolah!”
“Baik Kak, aku mengerti.”
“Sekarang kamu perhatikan
teman-temanmu menari, setelah itu kamu ulangi gerakan
mereka! Tunjukkan pada senior disini!”
Alena berdiri ditengah
ruangan, memperhatikan tarian yang ditunjukan teman-temannya. Para senior
diposisi kiri dan kanan, membuat barisan. Saat penari membuat lingkaran, lalu
membuka formasi. Tiba-tiba seorang pria muncul menghampiri Alena.
“Alena, maaf atas
ketidaknyamanan yang telah Kak Wilda lakukan. Semua kejadiaan ini hanya rekaan.
Tidak ada yang menyalahkanmu. Aku sengaja meminta bantuan Wilda untuk
berpura-pura memarahimu.”
Apa yang dia lakukan
membuat kakiku hampir saja tidak mampu menopang badan, gemetar. Apa aku
bermimpi? Tuhan, pria yang aku sukai, sekarang berada di hadapannku. Dia yang
selalu membuat aku bahagia dengan kata-kata di sms atau telepon, sekarang
berbicara langsung padaku. Aku bahkan menutup telinga jika mendengar namanya
disebut sebagai si berhati dingin karena dia tidak pernah melukai hatiku. Aku
sayang padanya, Tuhan.
“Aku bukan jaka tarub mencuri selendang karena menginginkan
bidadari. Aku adalah Yuda yang berusaha mencuri hatimu, meminta Tuhan merestui
kamu menjadi pendampingku.” seisi ruangan bersorak, Alena tidak bisa berkata
apa-apa.
“Aku ingin ditakdirkan
berpasangan denganmu, Alena. Apa kamu mau mendampingiku?” ujar Yuda meyakinkan,
semua serempak mengatakan “Ya, terima.”
Semenjak itu Alena selalu
bersama yuda. Kinar sahabat Alena sejak SMP mengetahui kisah romantis mereka
berdua. Yuda jadi yang terbaik, menjaga komunikasi dan menghindari
pertengkaran.
Alena menyukai Yuda sejak
pertama kali dia mendapat hukuman mengelilingi lapangan basket karena terlambat
datang ke sekolah. Yuda mengobati luka di kaki Alena saat terjatuh.
“Aku tidak yakin kamu
benar-benar kuat berjalan sendiri. Apa kamu mau aku antar sampai depan kelas?”
“Apa kamu pikir aku semanja
itu? Tidak perlu khawatir dan jangan membuang tenagamu!”
“Tidak juga. Aku tidak
keberatan membantumu. Bukankah lebih baik menolong daripada bersikap tidak
acuh.”
“Ya aku tahu tetapi aku
bisa jalan sendiri.” Alena meringis saat mencoba berdiri.
“Apa sakit? Jika kamu mau,
aku akan menggendongmu”
“Aku bukan anak kecil.
Bagaimana bisa aku melewati cobaan berat, jika luka kecil seperti ini saja
membuatku bersikap manja.”
“Ucapanmu ada benarnya
tetapi apa salah jika seseorang ingin membantu. Mungkin kamu terlihat baik-baik
saja karena tidak mau oranglain khawatir. Rasanya kita punya sikap yang sama.
Hatiku jadi berdebar ketika berdekatan dengan wanita yang punya semangat tinggi,
percaya diri, jutek dan membuatku tidak bosan memandangnya. Apa kamu termasuk
kedalam kriteria itu?”
“Jangan curhat padaku!
beruntung aku tidak termasuk kriteria. Jangan terlalu baik karena aku bukan
perempuan yang senang mencari perhatian! kamu bisa membawaku kedalam masalah.
Apa kamu tidak takut kita digosipkan?”
“Tenang saja! Aku tidak
takut digosipkan denganmu.” Yuda tertawa geli, mendengar perkataan Alena.
Itulah pertama kali pria dengan julukan berhati dingin berhasil meluluhkan hati
Alena karena pria itu terlihat lucu saat tertawa.
***
Tingkah laku Yuda yang
dewasa, penyayang, tidak egois, perhatiaan membuat Alena nyaman tetapi siapa
yang tahu, dibalik zona nyaman itu ada rahasia yang selama ini tersembunyi.
Alena sering berkunjung ke
rumah Yuda, meskipun Yuda tidak ada. Dia sangat akrab dengan Ibu Yuda. Sehingga
Ibu Yuda merasa tidak perlu ada rahasia yang disembunyikan. Alena tidak tahu
Yuda sakit parah karena dia tidak pernah sedikitpun mengeluh dihadapannya.
“Kenapa kamu menyembunyikan
masalah ini?”
“Aku minta maaf. Aku butuh
waktu untuk mengatakannya.”
“Jika Ibumu tidak cerita,
sampai kapan kamu akan merahasiakannya? Apa selama ini kamu belum yakin atau
berpikir aku akan meninggalkanmu setelah tahu keadaanmu?”
“Justru aku takut kalau aku
yang akan meninggalkanmu.”
“Jangan katakan itu! Kita
akan selalu bersama. Mulai sekarang berbagilah keluh kesah!”
“Al, berpikirlah dewasa!
ada hal yang tidak perlu aku bagi, kesedihan, amarah, rasa sakit dan kebencian.
Aku membuang rasa itu untuk melihatmu bahagia. Aku tidak ingin mengecewakanmu.”
“Saat ini keadaaanmu yang
paling penting, Yud. Jangan pernah merahasiakan apa-apa dariku!” Alena tidak
mampu menahan air mata yang menetes.
“Berhentilah menangis!
Tetaplah melangkah bersama sampai aku pergi, setelah itu lanjutkan
kebahagiananmu dengan oranglain!”
“Jangan pernah mengatakan
itu lagi, aku tidak mau mendengarnya!”
“Maaf! Aku tidak akan
mengulangnya. Kamu hanya perlu mengingat!”
Setiap pulang sekolah,
Alena menyempatkan diri menemani Yuda berobat dan mengajak jalan-jalan di
sekitar komplek. Dia takut jika meninggalkan Yuda terlalu lama. Alena berusaha
menemaninya melewati masa-masa sulit, berharap yang terbaik.
Kebahagiaan tidak bertahan
lama. Tuhan mengambil Yuda tepat di anniversary kedua. Padahal Alena sudah
merencanakan liburan semester bersama.
“Tidak akan ada kebahagiaan
jika kamu meratapi kesedihan. Bangkitlah dan melangkah kedepan! Aku selalu
bangga padamu. Meskipun aku tidak melihatmu atau berada disampingmu lagi tetapi
aku tahu kamu tidak akan menyerah." Kata-kata yang aku ingat dari
kekasihku. Yuda menginginkanku bahagia.
“Kakimu kenapa? Tidak
biasanya kita berjalan secepat ini. Santai saja! Kita tidak dikejar satpam!”
“Kita tidak dikejar
siapa-siapa tetapi aku dikejar waktu.”
“Waktu?”
“Iya, aku tidak mau
mengalaminya lagi. Semakin lama aku berpikir tentang Yuda, waktuku dengannya
akan semakin singkat. Aku akan berlari atau melompat jika aku tidak segera
menemuinya sebagai kesempatan untuk memperbaiki kesalahan, mengecewakan
orang-orang yang berharap padaku.”
Siska tidak mengatakan
apa-apa. Alena bahkan tidak sadar sudut mata Siska berair. Dari kejauhan
terlihat Zaki duduk di pertokoan, tempat pertama kali mereka tidak sengaja
bertemu. Tempat dia berteduh, duduk tertunduk dan diam-diam memperhatikan Alena
yang berjalan melewatinya. Ketika suara petir bergemuruh berpacu bersamaan
detak jantung seorang gadis, berusaha menyibak kabut yang menutupi pandangan
pada wajah pria itu.
Tuhan, kuatkan aku
menemuinya! Biarkan langkah ini tidak tersendat! Jangan biarkan aku berbalik
menjauh, tetaplah tuntun aku lebih dekat! Tanganku gemetar, rasanya keringat dingin
bercucuran tetapi dia berdiri dengan wajah tenang. Dia yang mengganggu pikiran.
Kini aku sedang berjalan menemuinya. Sedekat ini? Wajah lucu, putih bersih
melebihiku. Senyumnya ramah, dapat meluluhkan hati siapa saja. Sekarang aku
bisa menatapnya sedekat ini. Yuda, saat ini aku bersama seseorang, berharap
Tuhan memberi waktu yang terbaik untuk kami.
Diluar dugaan, mereka akrab
dan tidak terlihat canggung seperti sepasang kekasih yang sedang bersenda
gurau. Tidak ada yang bisa disembunyikan, tatapan saling mengagumi Zaki dan
Alena.
“Kalian baru kenal
kenapa bisa seakrab ini? aku beranggapan kalian pacaran, apalagi orang lain.”
Alena dan Zaki tertawa
mendengar tanggapan Siska. Tiga puluh menit mereka berbincang, Siska yang
merasa keberadaannya mulai tersingkirkan akhirnya pamit pulang. Zaki menawarkan
diri mengantar Alena.
Sepanjang perjalanan, hati
mereka tidak dapat menutupi kebahagiaan, tidak pernah membayangkan bisa sedekat
ini. Dirumah Alena, Zaki seperti tamu istimewa. Ibu dan Akila, adik Alena juga
antusias berbincang bersama Zaki. Sehingga Zaki merasa nyaman. Bukan tanpa
alasan keluarga Alena memberikan sambutan yang baik. Semenjak Yuda pergi Alena
tidak pernah mengajak seseorang untuk dikenalkan.
Kenapa bisa mereka seakrab
ini? Kami seperti keluarga lama, rindu menyapa. Berat rasanya meninggalkan
moment ini. Tawanya itu, Tuhan biarkan aku melihatnya lebih lama!
***
Sepulang sekolah Zaki
mengajak Alena ke taman. Mereka duduk pada kursi panjang di pinggir air mancur.
Zaki memulai pembicaraan pada pokok yang tidak terduga.
“Alena, ini akan terdengar
janggal atau terkesan buru-buru tetapi aku sudah tidak bisa menyimpan perasaan
ini. Apa kamu mau jadi pacarku?”
“Pacar?” Alena tertawa.
“Apa wajahku terlihat
seperti orang bercanda?”
“Tidak, hanya cara bicaramu
yang gugup itu sangat lucu. Aku heran, kenapa kamu secepat ini mengatakan suka?
padahal kita baru kenal.”
“Aku merasa nyaman
didekatmu. Aku berharap kamu mempunyai perasaan yang sama. Apa ini bukan waktu
yang tepat? Maaf.”
Oh Tuhan, apa yang harus
aku lakukan? Aku tidak mau dia mempermainkan perasaan. Jangan biarkan aku
membencinya karena ini! Apa dia benar-benar menyukaiku? Apa perasaanku padanya
bukan pelarian?
“Aku masih ragu pada
perasaan suka yang datang terlalu secepat. Aku tidak ingin hal ini
mengakibatkan hubungan kita juga berakhir cepat.”
“Percayalah pada hatimu!
Aku tidak main-main. Haruskah aku mengatakan kesungguhan dengan berbagai
rayuaan? Aku tidak ahli. Aku hanya bisa membuat hatimu yakin.”
“Tetapi kita belum lama
kenal.”
“Justru semakin kita dekat,
kamu akan lebih mengenalku. Cukup yakinkan perasaanmu! Bisakah itu berjalan
mulai detik ini. Apa kamu menerimaku?”
Jujur tentang perasaan itu
lebih baik. Daripada kamu menyembunyikannya, sampai berakhir pada penyesalan.
“Baiklah, aku pikir kita
bisa memulai suatu hubungan dengan baik. Kamu bisa percaya padaku, perasaan ini
tidak berjalan dengan keterpaksaan.”
“Aku percaya padamu. Kita
harus berjuang bersama supaya tidak ada yang mengakhiri hubungan ini!”
Semenjak jadian, Zaki
menjaga komunikasi, mengantar jemput Alena ke sekolah dan jalan-jalan bersama
sahabat-sahabat Alena. Mereka akrab dengan baik. Zaki tahu ada waktu dimana
Alena hanya ingin bersama sahabat-sahabatnya. Zaki tidak pernah egois karena dia
sendiri sedang memulai kesibukannya setelah lulus SMA.
Waktu terasa cepat ketika
kami lalui bersama tetapi kisahku seperti berputar. Aku mulai kehilangan
tujuanku bersamanya. Dia mengganti waktu menghubungiku dengan sibuk pada
pekerjaan.
Alena melewati hari tanpa
Zaki, bermain di kosan sampai sore, belajar, dan tidur lebih cepat. Zaki
sesekali menghubungi Alena, berharap gadis itu mengerti kesibukannya.
Hingga waktu itu tiba, Hany
mengabari Alena kalau Zaki sudah pindah pekerjaan keluar kota. Alena merasa
kecewa, Zaki tidak berpamitan. Ketika Alena menghubungi, tidak di respon.
Zaki, secepat inikah kamu
berubah? Meninggalkan garis waktu yang kita punya. Apa ini tujuannya?
Bersinggah lalu pergi tanpa penjelasan sedikit saja. Kenapa kamu seperti ini?
masa depanku masih panjang. Ini lebih menyakitkan, Yuda meninggalkanku dengan
pesan tetapi kamu diam tanpa mengucapkan kata perpisahan.
Kamu mengacuhkanku seperti
ini. Kesibukan telah menyingkirkanku. Apa aku harus bersabar di tinggal
merantau keluar kota? menunggumu kembali. Apa bisa aku disini kesepian? tidak
tahu apa yang kamu lakukan diluar sana. Aku tidak yakin, semua akan lebih
menyakitkan.
Tuhan, ujian ini darimu.
Aku tetap bersyukur dan berusaha tegar. Pasti ada pelajaran penting yang bisa
aku ambil dari masalah ini.
Dia ingin aku bersikap
dewasa, “Kamu sangat beruntung Al. Orangtuamu mendukung kamu untuk sekolah.
Mereka pasti akan berusaha menyekolahkanmu sampai ke jenjang yang lebih tinggi.
Selanjutnya tinggal usahamu. Apa kamu akan tergantung pada mereka? atau kerja
keras mereka untuk membiayaimu akan terganti dengan kesuksesan.”
Bulan terus berlanjut, Zaki
semakin menjauh. Mereka sudah jarang komunikasi. Alena mengirim pesan singkat
terakhir, tanpa balasan.
Pesan dari Alena: Jangan
banyak pikiran! Jaga kesehatan! Kesuksesan ditanganmu. Aku tidak keberatan kamu
meninggalkanku. Berbahagialah! Kejarlah masa depanmu! tanpa aku.” Alena kembali
ke aktifitas semula, tanpa harapan mendapat kabar dari Zaki.
Aku bersahabat dengan
lelah, mungkin dia pacar setia. Lelah temani aku! Kamu mengetahuinya, sekarang
pikiranku bertambah kacau. Aku merindukan seseorang tetapi dia tidak pernah
memberi kabar. Itulah yang meyakinkanku kalau tidak ada rasa sayang.
Zaki, apa kamu marah?
pernahkah kita menjanjikan untuk selalu bersama? Apakah kita mengakhiri
hubungan ini? Semua menggantung. Akankah kamu kembali? Apakah tujuanmu menjauh
karena ingin melepaskanku? Katakan sesuatu!
Alena menutup buku yang
sejak tadi dibaca. Seseorang menghampiri, Hany.
“Apa kabar Al?”
“Baik.”
“Apa kamu tidak sadar,
sejak pulang sekolah aku mengikutimu sampai ke perpustakaan umum? Menunggumu
yang dua jam lamanya membaca buku. Ini sungguh melelahkan.”
“Salah siapa mengikutiku?”
“Alena, kamu jutek sekali.”
Hany memamerkan barisan giginya.
“Ada apa kamu mengikutiku?
Seperti detektif saja, padahal aku bukan orang penting yang harus diikuti jika
pergi kemana-mana.” Alena tersenyum tipis.
“Aku hanya memastikan kamu
dalam keadaan baik. Apa kamu memutuskan Zaki?”
“Iya, dia tidak merespon.
Aku harap dia menerima keputusanku. Apa terjadi sesuatu?”
“Tidak, Zaki baik-baik
saja. Meskipun sibuk dengan pekerjaan tetapi setiap hari dia menanyakan
kabarmu.”
“Benarkah?”
“Iya, aku harus
memastikanmu dalam keadaan baik. Aku pernah bilang padanya, seorang perempuan
pasti kecewa jika ada pria yang mendiamkan tanpa sebab tetapi tidak ada
tanggapan. Dia memang sulit dimengerti.”
“Jika dia pulang, tolong
kabari aku!”
“Baiklah, aku tahu kalian
dalam masa yang sulit. Aku juga tidak berani menanyakan kejelasan hubungan
kalian karena dia tidak ingin membahasnya.”
“Jangan membebaninya! Kita
benar-benar sudah berakhir.”
“Sayang sekali. Dia
menitipkan salam untukmu.”
Terima kasih sudah hadir
dalam kisahku. Tidak perlu merasa bersalah, kita merasakan luka yang sama.
Kebahagian yang kamu berikan lebih berarti dibanding mengingat rasa kecewa. Aku
berusaha tegar, meskipun tangisan itu selalu ada bila terlintas bayanganmu diingatan.
Setiap hari aku melewati pertokoan itu, melihat kamu menunggu, tersenyum
menyambut kedatanganku tetapi itu hanya bayangan.
Cintaku berawal dari hujan
sore itu, tidak ada yang menduga. Hujan mengisyaratkan kita bertemu. Lubuk hati
menyimpan namamu. Kamu yang jauh disana, belum tentu memikirkanku. Aku tidak
bisa berharap lebih. Pertama kali mendengar pengakuanmu menyukaiku, hari itu
menjadi hari bahagia. Maaf membuatmu kecewa. Terima kasih telah mewarnai
hidupku, meski singkat. Aku berharap kita bertemu lagi.
Terimakasih
Ini ceritaku. Dilarang
mengcopy!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar