Jumat, 22 Februari 2013

CERPEN "ISYARAT DIA DATANG"




Saat ini aku tidak tahu kamu disana berpasangan dengan siapa. 

Aku hanya ingin mengenang. Kamu yang tidak terduga datang secepat cahaya petir. Hujan yang mempertemukan kita.

Mimpi, harapan dan kebahagiaan tertuju padamu. Kamu datang tanpa aku minta. Secepat inikah aku harus kehilangan? Sesingkat aku menambatkan hati padamu, orang yang memberikan harapan kosong. Aku tidak sanggup bertahan ketika waktu kembali mengingatmu.

Saat kehadiran seseorang perlahan membuka harapan, aku mulai menyadari hidupku sangat bermakna. Aku yakin kebahagiaan semakin dekat, tetapi siapa yang mengetahui jalan hidup selanjutnya. Ketika hantaman keras membuatku mundur sangat cepat. Aku kembali sendiri.

 

Apa kamu senang berada di sekolah? Pertanyaan ini tidak boleh tertuju pada seseorang. Dia tidak seperti murid lain, sibuk berorganisasi supaya namanya terkenal, bercengkrama kesana kemari untuk menambah teman, dan melakukan apapun yang berhubungan dengan tren remaja saat ini supaya tidak di cap muka jadul.

 

Lelah yang aku alami tidak menyurutkan setiap tekad. Aku tidak menyerah melawan kesedihan yang membayangi. Demi mereka, ayah dan ibu. Sejak sekolah dasar sampai SMA masuk sekolah berkualitas. Mereka bangga tetapi waktuku terkuras untuk belajar. Kamu tahu rasanya bersaing? Kamu tahu rasanya bersikap jadi oranglain? Kamu tahu rasanya berada dilingkungan asing, seakan mata mereka siap menerkammu jika kamu tidak cerdik?

 

Itulah isi pikiran seorang gadis. Dia tidak tahu kemana arah tatapannya, kaki terpaku di depan gerbang sekolah.

 

 “Alena.” tidak ada jawaban. Sehingga dia perlu mengulang untuk meyadarkan sahabatnya.

 

“Alena, apa yang kamu lakukan?” Erlita mengibaskan tangan di depan wajah gadis itu.

 

“Lita, sejak kapan kamu disini?”

 

“Haruskah aku menjelaskan dengan rumus matematika yang tidak kamu mengerti atau bahasa asing yang terus kamu pelajari? Pilih mana?”

 

“Aku tidak ingin bercanda.”

 

“Ini serius, aku adalah calon guru profesional jadi aku harus bertanya padamu, rumus mana yang cepat kamu pahami?”

 

“Berhentilah bertingkah aku ini muridmu, Ibu guru! nanti saja kamu praktekan saat lulus menjadi sarjana! Sepertinya masih lama."

 

“Aku mengerti bawel. Aku sedang berlatih sedikit demi sedikit. Kamu serius sekali.” Erlita menjentrikan jari pada hidung Alena.

“Apa yang kamu lakukan disini?”

 

“Aku menunggumu.” Sebenarnya tidak ada yang dia tunggu. Alena hanya tidak ingin pergi ke tempat yang harus ia tuju.

 

“Benarkah?”

 

“Iya, kemana Siska dan Kinar?”

 

“Mereka di kosan. Kita akan mengerjakan tugas bahasa Inggris dari Pak Soni. Apa kamu tidak les private?”

 

“Begitulah.”

 

“Apa tidak apa-apa?” Tidak ada jawaban.

 

Sepulang sekolah sudah jadi rutinitas Alena, Siska dan Erlita berkumpul di kosan Kinar. Kegiatan mereka yaitu menonton film, mengerjakan tugas atau tidur di kamar Kinar. Kadang mereka melakukan kebiasaan konyol, menaburkan bedak pada siapa saja, berlarian mencari korban sampai mereka mengunci diri di kamar, dapur, bahkan toilet. Semua penghuni kos sudah terbiasa dengan kegaduhan. Saat itulah Alena melupakan kekecewan masuk sekolah ini karena mengenal mereka.

 

Sore di hari kamis, hujan turun deras. Hujan memberi jeda waktu pada langit, mendung isyarat bahwa siapapun menyadari akan kedatangannya. Namun seorang gadis mengenakan seragam sekolah lebih senang hujan mengguyurnya tiba-tiba. Baginya hujan sapaan teduh, menyembunyikan wajah letih dalam kabut, menyatukan air mata dalam rintik. Namun tempat ini terlalu ramai, dia akan diperhatikan sebagai orang aneh jika memaksakan diri berjalan menyusuri hujan untuk menangis.

Dia mengikuti langkah Siska melewati pertokoan menghindari sapaan langit yang akan membasahi. 

Langkah terburu-buru seakan tidak ingin bercengkrama dengan bising. Wajah Alena tertunduk melewati setiap orang yang berteduh di emper toko. Siska disamping tidak berani bertanya, jawaban yang sama akan dia terima. 

“Aku baik-baik saja.”

 

“Siska?”

 

Di luar toko elektronik, banyak orang berteduh. Salah satu dari mereka adalah Hany, teman Siska waktu SMP. Dia tidak sendiri, ada lelaki yang menemani duduk bersandar di tembok toko yang sudah tutup itu. Dia sibuk memainkan ponsel. Siska tidak mengenalinya, jadi tidak memperhatikan.

 

“Hany, apa kabar?”

 

“Baik, kamu sendiri? Apa kamu baru pulang sekolah?”

 

“Baik juga. Ya, aku baru saja selesai mengerjakan tugas. Kenalkan ini sahabatku, Alena.”

 

Alena tersenyum dan membalas uluran tangan Hany. Setelah Siska dan Hany bertukar nomer telepon, mereka mengakhiri perbincang. Siska tahu Alena tidak suka menunggu lama bahkan tidak akan melakukan interaksi ketika hati sedang kacau.

 

Tiba di terminal, Alena dan Siska memisahkan diri. Mereka naik mobil jurusan berbeda. Alena bersandar sendirian. Layar ponsel berkedip, menandakan satu pesan telah masuk. Dia mendapat pesan dari seseorang yang sudah lama tidak memberi kabar.

 

Luke: Aku tidak pernah memaksamu menjadi seseorang yang aku harapkan. Jangan diam saja! Jika kamu bersikap seperti ini, semuanya menjadi lebih buruk.

Alena: Baiklah, aku mau kita putus.

 

Lelah seakan milikku yang terlihat tegar. Aku sering kali menyimpan kecewa dalam mengambil keputusan. Apakah oranglain mengalami hal yang sama? Aku tidak tahu.  Apa oranglain punya pemikiran ingin kembali ke masa lalu, memperbaiki sesuatu yang pernah terjadi? aku tidak berani menanyakan karena takut orang akan membalikan pertanyaan itu. Haruskah aku jelaskan sesuatu yang buruk menimpaku?

 

Mata coklat berubah teduh, menatap hujan yang enggan meninggalkan bumi. Tempat pemberhentian mobil yang ditumpangi Alena sejajar kearah pertokoan. Meskipun disana banyak orang tetapi matanya memperhatikan sosok yang berbincang bersama Hany. Wajahnya terhalang kabut sehingga bola mata Alena memicing untuk memperjelas.

 

“Apa yang terjadi? Kenapa aku melakukan hal bodoh, memperhatikan orang yang sama sekali tidak aku kenal. Dasar bodoh, bodoh hentikan ini!” gerutunya.

 

Ponsel Alena bergetar, muncul nama Siska dilayar.

 

“Ada apa Sis?”

 

“Ini hari keberuntunganmu sahabat cantikku.”

 

“Apa? Memang siapa yang ulang tahun?”

 

“Alena, tidak perlu ulang tahun untuk mendapat keberuntungan.”

 

“Ya, tetapi hari ini aku merasa tidak beruntung.”

 

“Kenapa?”

 

“Aku baru saja memutuskan Luke.”

 

“Sudah seminggu Luke membungkam senyummu. Aku merasa bahagia mendengar kalian putus. Maaf jika terdengar jujur! Alena, tersenyumlah!”

 

“Aku akan berusaha. Rasanya lega sekali seperti melepas beban. Lebih baik kehilangan Luke daripada berpura-pura menyukainya.”

 

“Selalu ada dukungan dari sahabatmu ini. Kamu akan menjadi lebih baik. Hari ini aku yakin membuatmu bahagia. Kamu pasti tidak percaya. Ayo, tidak percaya kan?”

 

“Apa maksudmu? percaya bagaimana? kamu tidak mengatakan apa-apa.”

 

“Aku hampir melupakan hal penting yang harus aku sampaikan.”

 

“Kebiasaan.”

 

“Sudahlah, jangan bahas tentang aku. Al, kabar baik. Hany bilang sepupunya, cowok yang bersamanya tadi meminta nomor kontakmu. Bagaimana?”

 

Kabar yang tidak dapat diprediksi terjadi bagai petir yang datang tidak terduga. Secepat inikah. Tuhan, Engkau tahu isi hatiku. Dia membuka telapak tangan, haruskah aku menyambutnya. Cowok itu? dia yang sedang aku amati, ingin berkenalan denganku?

 

“Al, aku menunggu jawabanmu.”

 

“Hmptt.”

 

“Apa itu artinya?”

 

“Tidak tahu. Aku baru saja putus. Tidak berminat dekat dengan oranglain secepat ini. Apalagi aku tidak mengenalnya.”

 

“Alena, biarkan hatimu memilih! Siapa tahu kamu akan menyukainya atau kalian bisa berteman. Jangan biarkan aku membahas ini lagi!”

 

“Baiklah, kesempatan tidak akan datang dua kali.”

 

“Sahabatku memang pintar, lalu apa jawabanmu?”

 

“Ya, kamu boleh memberikan nomorku!” Kabut soret memang menenggelamkan wajahnya tetapi tidak bagi Alena.

 

Kamu tidak menyadari diam-diam aku mengamatimu. Sejak awal, sosokmu begitu cepat memikat. Keinginanku saat ini adalah mengenalmu.

 

Malam hari, Alena mendapat pesan dari nomer baru. Dia tidak membalasnya. 

“Bisakah kamu menunggu? Aku baru saja melepas Luke yang selama ini menjadi pelarian. Aku terlalu memaksakan diri. Kejadian ini tidak boleh terulang lagi. Bersabarlah sebentar! jika kamu memaksa. Jangan salahkan aku jika aku menjauh!” Alena berbicara pada ponsel yang dia sembunyikan di bawah bantal.

 

Belum waktunya, aku memang sudah terbiasa seperti ini. Cewek moody, gampang berubah suasana hati.

Kita tidak pernah tahu, sesuatu yang kita tetapkan akan berubah dalam hitungan detik. Haruskah aku mengenalnya? akankah kamu menyetujuinya? Jawablah pertanyaanku! bintang paling terang munculah dalam mimpi agar aku yakin dengan keputusan melepasmu.

 

Alena memeluk boneka panda kesayangan, matanya berair. Dia terbaring, merasakan getaran handphone. Dia mengirim beberapa pesan tetapi Alena bersikap tidak peduli.

Hati sulit di tebak dan dimengerti oleh diri sendiri apalagi oranglain. Dia tahu hidup tidak sesingkat yang terpikirkan. Kadang bahagia datang saat duka hampir mengubur kepercayaan diri. Keterpurukan bukanlah hidup yang harus disesali.

 

Berpikirlah hidup masih panjang, dan jalan yang terlalui tidak selamanya rintangan tetapi ada tempat peristirahatan yang penuh dengan kenyamanan. Untuk menuju ke sana, laluilah jalan-jalan terang bukan gelap pembawa kecemasan!

***

 

Alena tidak sempat sarapan tetapi dia tidak menyangka akan mendapat bonus yang mengenyangkan dari Luke. Alena menyempatkan diri datang ke kantin sekolah. Kantin masih sepi hanya beberapa siswa berada di sana. Tidak jauh dari tempat Alena, Luke dan teman-temannya memperhatikan dia yang duduk sendiri. Sepertinya Luke bersiap untuk mempermalukan Alena.

 

“Gadis bermuka dua. Aku akui dia berwajah manis tetapi sikapnya menyeramkan.” Luke menghentikan ucapan. Seakan sebuah skenario, temannya menimpali.

 

“Menyeramkan, bagaimana kamu tahu belangnya? Apa dia sengaja membuka topeng dihadapanmu?” Tatapan sinis Aldo jelas tertuju pada seseorang.

 

“Dia masih berpura-pura lugu. Apakah kalian bisa menebak hati seseorang?”

 

“Tidak.” Jawab Aldo dan Revan serempak.

 

“Begitulah, kita hanya tahu seseorang dari luar saja. Dia terlihat penurut, penyayang tetapi nyatanya dia menunggu kesempatan untuk mencabik-cabik perasaan.”

 

“Sungguh diluar dugaan. Apa seperti itu sikap gadis yang kamu bicarakan? apa kamu tidak salah sangka?”

 

“Tentu saja tidak, itulah kenyataannya. Dia telah menyakiti hatiku, Van. Aku bersikap baik tetapi ini balasan yang aku terima.”

 

“Mungkin ada alasan kenapa dia menyakiti perasaan seseorang karena dia sendiri tidak bahagia.” Revan menatap Alena iba. Dia melihat gadis itu berhenti menyentuh makanan.

 

“Jika dia tidak bahagia, setidaknya jangan menyakiti perasaan orang lain. Apa sulit menjelaskan alasan dia meninggalkanku dan bersikap baik?”

 

“Memang apa yang akan kamu lakukan setelah mendengar alasannya?”

 

“Setidaknya aku tahu kesalahanku. Jika dia mau, aku bisa introfeksi diri. Jangan mengacuhkan seseorang tanpa alasan! Bagaimana jika kamu berada di posisiku, Van?”

 

“Aku akan dihantui rasa bersalah. Kenapa gadis itu berani melakukan hal tersebut padaku. Apa aku melakukan kesalahan yang tidak bisa dia maafkan? Itu yang akan aku tanyakan padanya, sebelum dia menjelaskan apa-apa.” Hati Alena tersengat.

 

Apa Revan membelaku? Atau mungkin ini taktik dia supaya aku dan Luke bisa kembali. Aku tidak akan melakukannya. Oranglain pasti mengira aku yang salah tanpa tahu kebenarannya. Luke menyiksaku, dia overprotektif, pembohong dan kata-katanya yang selalu menyombongkan diri membuatku muak.

 

“Van, aku tidak pernah bermasalah dengannya. Selama ini aku berusaha menjaga hubungan supaya tetap nyaman. Apa kasih sayangku selama ini tidak cukup? aku heran kenapa dia memutuskanku. Apa dia tidak bisa merasakan ketulusan seseorang?”

 

“Mungkin dia memiliki kekasih lain. Cewek sekarang kan kalau punya gebetan baru, yang lama pasti dibuang. Pecuma memberikan ketulusanmu pada cewek yang memiliki hati sekeras baja. Dia tetap kuat tanpa peduli perasaan orang lain.” Ledek Aldo.

 

“Jika dia mendua, aku tidak bisa memaafkannya. Dia akan menerima akibat karena telah mempermainkan perasaanku.”

 

“Sudahlah tinggalkan saja dia! Diluar sana ada banyak perempuan yang lebih baik.”

 

“Benar Al, sekarang aku tidak peduli pada cewek munafik.” Luke dan Aldo tertawa puas, Revan tersenyum sinis.

 

“Tidak lucu.” Alena memilih pergi.

 

Alena bisa saja membungkam mulut Luke, membocorkan keburukannya di hadapan semua orang tetapi dia bukan orang yang senang mencari masalah.

Alena duduk melamun, menopang dagu. Kehidupannya terlihat damai, berbeda dengan teman-teman sekelas. Pelajaran kimia tanpa kehadiran guru, digunakan murid untuk bersantai seperti bermain hp, bersendagurau, bergosip tetapi ada juga sekumpulan orang yang mengerjakan tugas.

 

 “Alena, kamu dan siska menyembunyikan sesuatu dariku.” Selidik Kinar yang duduk didepan.

 

“Maaf, aku tidak sengaja membocorkannya.” Siska menyembunyikan wajah pada buku.

 

“Benarkan, jika tadi siska tidak keceplosan mungkin kalian tetap merahasiakannya.”

 

Posisi Alena kian terpojok ketika tatapan curiga Erlita yang duduk di sebelah Kinar mengarah padanya. “Kenapa kamu tidak jujur padaku? Kamu tidak mau berbagi cerita lagi?”

 

“Aku butuh waktu menceritakan masalah ini. Kepalaku pusing jika kembali memikirkannya. Aku berusaha melupakan tanpa membebani kalian. Memang benar kemarin aku putus dengan Luke. Kami bahkan tidak bertegursapa. ”

 

“Sejujurnya, aku mendukungmu putus daripada melihatmu bersedih. Akan ada lelaki yang lebih baik dari dia.” Erlita menggenggam tangan Alena, menguatkan hati sahabatnya.

 

“Aku sangat tidak suka Luke. Dia salah satu cowok membosankan yang pernah aku kenal. Dia tidak cocok kalau bergabung dengan kita. Singkirkan dia dan masukkan dalam daftar hitam, anggap saja tidak pernah kenal!” Kinar mengedipkan sebelah mata.

 

“Setuju, jangan sampai cowok itu menyelinap lagi di antara kita.” Siska membenarkan ucapan Kinar.

 

“Terima kasih kalian.”

 

”Kita lupakan tentang Luke. Bagaimana perkembanganmu dengan sepupu teman Siska yang mengajak kenalan? Ceritakan!” desak Kinar.

 

“Aku belum pernah membalas pesannya. Sejak kemarin aku malas mengetik sms jadi aku hanya membaca pesan yang dia kirim.”

 

“Apa benar?” Siska berhenti membaca buku.

 

“Iya. Tenang saja aku akan membalasnya kalau moodku bagus!”

 

“Alenaku sayang. Sampai kapan kamu akan bersikap cuek seperti ini?”

 

“Maafkan aku! Aku janji tidak akan mengulang kesalahan itu lagi.”

 

“Minta maaflah pada orang yang tepat! belajarlah menghargai perasaan seseorang!”

 

“Aku mengerti, Sis.”

 

“Alena cap cuek sudah melekat pada dirimu. Cowok disini saja tidak berani mendekatimu karena itu. Apalagi dia yang baru kenal, bisa jadi dia akan menjauhimu jika kamu tidak merespon.” Celetuk Kinar.

 

“Aku juga akan bersikap seperti Alena. Bukan cuek tetapi lebih tepatnya menjaga sikap. Kita bahkan belum tahu sikap cowok itu, wajar saja jika Alena tetap waspada daripada jadi cewek gampangan.” Erlita membela.

 

“Tetapi...” Erlita membungkam mulut Kinar yang paling senang mencari gara-gara.

 

Pelajaran terakhir mengerjakan soal matematika, suasana kelas berubah menjadi menegangkan. Berhadapan dengan guru rajin bernama Bu Eli adalah waktu yang membosankan. Bu Eli sering menyuruh murid mengerjakan soal di buku paket, tidak cuma 15 soal tetapi lebih. 

 

Siapapun yang mendapat jari telunjuk Bu Eli, dia harus memaksakan diri menuju papan tulis. Siswa yang menjawab soal dengan benar bisa duduk tenang tetapi siswa yang tidak bisa mengerjakan soal tersebut, dia akan berdiri di depan papan tulis dengan ajaran Bu Eli sampai mengerti.

 

Hari ini Bu Eli meninggalkan ruangan setelah memberikan tugas kelompok. Biasanya dia mengitari setiap bangku untuk melihat hasil kerja murid tetapi keberuntungan sedang berpihak pada kelas XIA. Erlita dan Kinar sibuk membahas majalah fashion yang baru mereka beli dan Siska membaca novel pada selipan buku paket matematika. Sedangkan Alena punya kesempatan untuk membalas pesan dari seseorang.

 

Ternyata menunggu itu membosankan. Pesanku tidak satupun mendapat balasan. Semalam, dia pasti merasakan hal yang sama.

Alena menunggu dalam cemas. Tidak lama setelah menyimpan ponsel diselipan buku, layarnya menyala. Saat membaca pesan, senyum Alena mengembang. Dua jam pelajaran matematika di hari Jumat ini terlewati Alena dengan perasaan senang.

 

Kamu tahu rasanya membaca pesan dari orang yang kamu taksir? Kamu bahkan tidak mau berbagi kebahagiaan itu pada orang lain. Dia, Zaki Gifansyah. Pria yang ramah, sopan mudah akrab, dan senang bercanda, kriteriaku. Apa yang kamu harapkan dari kedekatan ini? Apa untuk menyamakan tujuan kita dalam membina hubungan?

 

Sore hari ketika Alena dan sahabat-sahabatnya berada di kosan, Zaki mengirim pesan ingin bertemu. Alena tidak keberatan tetapi tugas hari ini menghalangi jalannya. Selesai jumatan Zaki sudah menunggu di tempat pertama kali mereka bertemu. Siska, dan Kinar menyadari kegelisahan sahabatnya.

 

“Ada apa Alena?” Siska menghentikan gerak tangan yang sedang menulis.

 

“Apa kamu memikirkan Erlita? Jangan khawatir dia pergi dengan teman lamanya!” Kinar menerka kekhawatiran Alena.

 

“Bukan itu kan masalahnya? Apa Zaki ingin bertemu denganmu?” Alena mengangguk lemah. 

 

“Kalau begitu, Ayo pulang!” Siska tahu, Alena bukan orang yang gampang diajak bertemu apalagi oleh orang yang tidak dikenal. Siska berinisiatif menemani sahabatnya itu sebelum dia berubah pikiran, tidak akan menemui Zaki.

 

“Kalian akan bertemu Zaki. Apa aku boleh ikut?”

 

“Kinar, rumahmu disini. Lebih baik kamu selesaikan tugas ini!”

 

“Iya Bu Siska. Bagaimana dengan tugas kalian?”

 

“Kita kerjakan besok pagi. Aku yakin Erlita juga belum mengerjakan."

 

“Aku juga bisa kerjakan tugasnya besok. Jadi bolehkah aku ikut? Siska, aku juga ingin melihat Zaki.” wajah Kinar memelas.

 

“Tidak, aku tahu sikap kamu. Bukannya kalau pagi kamu malas mengerjakan tugas.”

 

“Baiklah, aku hanya perlu mendengar cerita baru. Ini berarti Alena sudah berhasil melupakan Yuda. Ya baguslah, semoga dia baik seperti Yuda atau bahkan lebih baik. Supaya kamu bisa melupakan si pangeran Yuda. Sudah lama kamu tidak benar-benar pacaran semenjak Yuda pergi. Semoga hubunganmu kali ini bisa bertahan lama!” 

Kinar berbicara tanpa jeda, tidak menyadari sesuatu. Wajahnya tetap polos tanpa mengerti arti wajah dua sahabatnya, kaget.

 

Jleb, rasanya jantungku dihatam benda keras saat mendengar nama itu. Aku tidak melupakan dia, Yuda. Bagaimana bisa aku melupakan cinta pertamaku tetapi setiap kali mendengar nama itu, hatiku merasa sedih.

 

“Sudahlah, sebaiknya kita segera pergi!” Siska tahu kebiasaan buruk Kinar.

 

“Semangat sahabat cantikku!” Kinar menunjukan wajah bahagia. Siska menarik tangan Alena, meninggalkan Kinar yang kembali menulis.

 

Siska, sahabat baikku. Dia paling mengerti apa yang aku rasakan. Apa yang aku rasakan? Entah kenapa aku ingin menangis, namun air mata ini telah mengering. Apa aku harus bahagia dengan moment ini? Aku berusaha.

 

Mereka berjalan tergesa-gesa, Siska tidak tahu apa yang dipikirkan sahabatnya. Alena menatap kosong langkah kakinya.

 

“Apa kamu mengingat dia lagi? Maaf aku menanyakan hal ini. Apa perkataan Kinar membuatmu bersedih?”

 

“Tidak, aku malah bahagia. Aku tidak pernah melupakan Yuda, tidak akan. Perkataan Kinar benar. Aku terlalu larut mengenang Yuda sampai tidak memberikan ruang di hatiku untuk oranglain.”

 

Tuhan, jika aku dapat memilih. Aku ingin merasakan waktu panjang bersama Yuda. Kembali kemasa itu. Menghapus semua rintangan yang akan terjadi, supaya tidak ada waktu yang memisahkan kami tetapi aku tidak boleh egois. Tuhan, aku tahu Yuda bukan milikku. Engkau punya kuasa untuk mengambilnya kapanpun. Yuda, Engkau kenalkan padaku sebagai kenangan yang paling berharga. Aku bahagia sampai aku tidak sanggup membuangnya.

 

Pertama kali masuk SMP, Yuda dikenal sebagai kakak senior berhati dingin. Alena tidak pernah melihat dia marah pada junior tetapi orang sering membicarakannya sebagai cowok tidak berperasaan, melukai hati setiap perempuan. Wajahnya tampan, lebih tampan dari ketua basket sekolah yang seharusnya menjadi incaran.

 

Yuda menolak wanita yang mendekati dengan sikap cuek. Karena itulah, dia mendapat julukan “berhati dingin”. Tidak ada yang tahu, dia sering mengirim pesan dan menelpon seseorang dengan romantis.

Hari ini, Alena mengalami kejadian yang tidak terduga. Dia dan Kinar berjalan terburu-buru ke sanggar tari setelah mendapat pesan dari Kak Wilda bahwa mereka berdua datang terlambat. Tidak biasanya sanggar sudah dipadati orang sebelum jam latihan dimulai. Kak Wilda menarik tangan Alena.

 

“Kamu tahu datang terlambat?” sepertinya kemarahan Kak Wilda hanya tertuju pada Alena karena Kinar langsung disuruh latihan bersama yang lain.

 

“Iya Kak, maaf.”

 

“Maaf? Apa akan selesai begitu saja setelah mengucapkan maaf. Kamu pikir latihan tari ini cuma permainan?” semua mata tertuju pada Alena.

 

“Aku tidak pernah menganggap latihan ini pemainan. Ini hobiku dan sejak kecil aku berusaha keras supaya bisa menari dengan baik. Jika hati tidak serius di bidang ini, dari awal aku tidak akan ikut bergabung. Percuma saja memaksakan diri, tidak akan ada manfaatnya.”

 

“Aku tahu kamu anak pintar tetapi dengarkan saja jika seniormu sedang berbicara! Tidak tahu sopan santun. Bersikaplah seperti junior pada senior! Jangan besar kepala dan berani melawanku hanya karena keakraban kita di luar sekolah!”

 

“Baik Kak, aku mengerti.”

 

“Sekarang kamu perhatikan teman-temanmu menari, setelah itu kamu ulangi gerakan mereka!  Tunjukkan pada senior disini!”

 

Alena berdiri ditengah ruangan, memperhatikan tarian yang ditunjukan teman-temannya. Para senior diposisi kiri dan kanan, membuat barisan. Saat penari membuat lingkaran, lalu membuka formasi. Tiba-tiba seorang pria muncul menghampiri Alena.

 

“Alena, maaf atas ketidaknyamanan yang telah Kak Wilda lakukan. Semua kejadiaan ini hanya rekaan. Tidak ada yang menyalahkanmu. Aku sengaja meminta bantuan Wilda untuk berpura-pura memarahimu.”

 

Apa yang dia lakukan membuat kakiku hampir saja tidak mampu menopang badan, gemetar. Apa aku bermimpi? Tuhan, pria yang aku sukai, sekarang berada di hadapannku. Dia yang selalu membuat aku bahagia dengan kata-kata di sms atau telepon, sekarang berbicara langsung padaku. Aku bahkan menutup telinga jika mendengar namanya disebut sebagai si berhati dingin karena dia tidak pernah melukai hatiku. Aku sayang padanya, Tuhan.

 

 “Aku bukan jaka tarub mencuri selendang karena menginginkan bidadari. Aku adalah Yuda yang berusaha mencuri hatimu, meminta Tuhan merestui kamu menjadi pendampingku.” seisi ruangan bersorak, Alena tidak bisa berkata apa-apa.

 

“Aku ingin ditakdirkan berpasangan denganmu, Alena. Apa kamu mau mendampingiku?” ujar Yuda meyakinkan, semua serempak mengatakan “Ya, terima.”

 

Semenjak itu Alena selalu bersama yuda. Kinar sahabat Alena sejak SMP mengetahui kisah romantis mereka berdua. Yuda jadi yang terbaik, menjaga komunikasi dan menghindari pertengkaran.

 

Alena menyukai Yuda sejak pertama kali dia mendapat hukuman mengelilingi lapangan basket karena terlambat datang ke sekolah. Yuda mengobati luka di kaki Alena saat terjatuh.

 

“Aku tidak yakin kamu benar-benar kuat berjalan sendiri. Apa kamu mau aku antar sampai depan kelas?”

 

“Apa kamu pikir aku semanja itu? Tidak perlu khawatir dan jangan membuang tenagamu!”

 

“Tidak juga. Aku tidak keberatan membantumu. Bukankah lebih baik menolong daripada bersikap tidak acuh.”

 

“Ya aku tahu tetapi aku bisa jalan sendiri.” Alena meringis saat mencoba berdiri.

 

“Apa sakit? Jika kamu mau, aku akan menggendongmu”

 

“Aku bukan anak kecil. Bagaimana bisa aku melewati cobaan berat, jika luka kecil seperti ini saja membuatku bersikap manja.”

 

“Ucapanmu ada benarnya tetapi apa salah jika seseorang ingin membantu. Mungkin kamu terlihat baik-baik saja karena tidak mau oranglain khawatir. Rasanya kita punya sikap yang sama. Hatiku jadi berdebar ketika berdekatan dengan wanita yang punya semangat tinggi, percaya diri, jutek dan membuatku tidak bosan memandangnya. Apa kamu termasuk kedalam kriteria itu?”

 

“Jangan curhat padaku! beruntung aku tidak termasuk kriteria. Jangan terlalu baik karena aku bukan perempuan yang senang mencari perhatian! kamu bisa membawaku kedalam masalah. Apa kamu tidak takut kita digosipkan?”

 

“Tenang saja! Aku tidak takut digosipkan denganmu.” Yuda tertawa geli, mendengar perkataan Alena. Itulah pertama kali pria dengan julukan berhati dingin berhasil meluluhkan hati Alena karena pria itu terlihat lucu saat tertawa.

***

 

Tingkah laku Yuda yang dewasa, penyayang, tidak egois, perhatiaan membuat Alena nyaman tetapi siapa yang tahu, dibalik zona nyaman itu ada rahasia yang selama ini tersembunyi.

 

Alena sering berkunjung ke rumah Yuda, meskipun Yuda tidak ada. Dia sangat akrab dengan Ibu Yuda. Sehingga Ibu Yuda merasa tidak perlu ada rahasia yang disembunyikan. Alena tidak tahu Yuda sakit parah karena dia tidak pernah sedikitpun mengeluh dihadapannya.

 

“Kenapa kamu menyembunyikan masalah ini?”

 

“Aku minta maaf. Aku butuh waktu untuk mengatakannya.”

 

“Jika Ibumu tidak cerita, sampai kapan kamu akan merahasiakannya? Apa selama ini kamu belum yakin atau berpikir aku akan meninggalkanmu setelah tahu keadaanmu?”

 

“Justru aku takut kalau aku yang akan meninggalkanmu.”

 

“Jangan katakan itu! Kita akan selalu bersama. Mulai sekarang berbagilah keluh kesah!”

 

“Al, berpikirlah dewasa! ada hal yang tidak perlu aku bagi, kesedihan, amarah, rasa sakit dan kebencian. Aku membuang rasa itu untuk melihatmu bahagia. Aku tidak ingin mengecewakanmu.”

 

“Saat ini keadaaanmu yang paling penting, Yud. Jangan pernah merahasiakan apa-apa dariku!” Alena tidak mampu menahan air mata yang menetes.

 

“Berhentilah menangis! Tetaplah melangkah bersama sampai aku pergi, setelah itu lanjutkan kebahagiananmu dengan oranglain!”

 

“Jangan pernah mengatakan itu lagi, aku tidak mau mendengarnya!”

 

“Maaf! Aku tidak akan mengulangnya. Kamu hanya perlu mengingat!”

 

Setiap pulang sekolah, Alena menyempatkan diri menemani Yuda berobat dan mengajak jalan-jalan di sekitar komplek. Dia takut jika meninggalkan Yuda terlalu lama. Alena berusaha menemaninya melewati masa-masa sulit, berharap yang terbaik.

Kebahagiaan tidak bertahan lama. Tuhan mengambil Yuda tepat di anniversary kedua. Padahal Alena sudah merencanakan liburan semester bersama.

 

“Tidak akan ada kebahagiaan jika kamu meratapi kesedihan. Bangkitlah dan melangkah kedepan! Aku selalu bangga padamu. Meskipun aku tidak melihatmu atau berada disampingmu lagi tetapi aku tahu kamu tidak akan menyerah." Kata-kata yang aku ingat dari kekasihku. Yuda menginginkanku bahagia.

 

“Kakimu kenapa? Tidak biasanya kita berjalan secepat ini. Santai saja! Kita tidak dikejar satpam!”

 

“Kita tidak dikejar siapa-siapa tetapi aku dikejar waktu.”

 

“Waktu?”

 

“Iya, aku tidak mau mengalaminya lagi. Semakin lama aku berpikir tentang Yuda, waktuku dengannya akan semakin singkat. Aku akan berlari atau melompat jika aku tidak segera menemuinya sebagai kesempatan untuk memperbaiki kesalahan, mengecewakan orang-orang yang berharap padaku.”

 

Siska tidak mengatakan apa-apa. Alena bahkan tidak sadar sudut mata Siska berair. Dari kejauhan terlihat Zaki duduk di pertokoan, tempat pertama kali mereka tidak sengaja bertemu. Tempat dia berteduh, duduk tertunduk dan diam-diam memperhatikan Alena yang berjalan melewatinya. Ketika suara petir bergemuruh berpacu bersamaan detak jantung seorang gadis, berusaha menyibak kabut yang menutupi pandangan pada wajah pria itu.

 

Tuhan, kuatkan aku menemuinya! Biarkan langkah ini tidak tersendat! Jangan biarkan aku berbalik menjauh, tetaplah tuntun aku lebih dekat! Tanganku gemetar, rasanya keringat dingin bercucuran tetapi dia berdiri dengan wajah tenang. Dia yang mengganggu pikiran. Kini aku sedang berjalan menemuinya. Sedekat ini? Wajah lucu, putih bersih melebihiku. Senyumnya ramah, dapat meluluhkan hati siapa saja. Sekarang aku bisa menatapnya sedekat ini. Yuda, saat ini aku bersama seseorang, berharap Tuhan memberi waktu yang terbaik untuk kami.

 

Diluar dugaan, mereka akrab dan tidak terlihat canggung seperti sepasang kekasih yang sedang bersenda gurau. Tidak ada yang bisa disembunyikan, tatapan saling mengagumi Zaki dan Alena.

 

 “Kalian baru kenal kenapa bisa seakrab ini? aku beranggapan kalian pacaran, apalagi orang lain.”

 

Alena dan Zaki tertawa mendengar tanggapan Siska. Tiga puluh menit mereka berbincang, Siska yang merasa keberadaannya mulai tersingkirkan akhirnya pamit pulang. Zaki menawarkan diri mengantar Alena.

 

Sepanjang perjalanan, hati mereka tidak dapat menutupi kebahagiaan, tidak pernah membayangkan bisa sedekat ini. Dirumah Alena, Zaki seperti tamu istimewa. Ibu dan Akila, adik Alena juga antusias berbincang bersama Zaki. Sehingga Zaki merasa nyaman. Bukan tanpa alasan keluarga Alena memberikan sambutan yang baik. Semenjak Yuda pergi Alena tidak pernah mengajak seseorang untuk dikenalkan.  

 

Kenapa bisa mereka seakrab ini? Kami seperti keluarga lama, rindu menyapa. Berat rasanya meninggalkan moment ini. Tawanya itu, Tuhan biarkan aku melihatnya lebih lama!

***

 

Sepulang sekolah Zaki mengajak Alena ke taman. Mereka duduk pada kursi panjang di pinggir air mancur. Zaki memulai pembicaraan pada pokok yang tidak terduga.

 

“Alena, ini akan terdengar janggal atau terkesan buru-buru tetapi aku sudah tidak bisa menyimpan perasaan ini. Apa kamu mau jadi pacarku?”

 

“Pacar?” Alena tertawa.

 

“Apa wajahku terlihat seperti orang bercanda?”

 

“Tidak, hanya cara bicaramu yang gugup itu sangat lucu. Aku heran, kenapa kamu secepat ini mengatakan suka? padahal kita baru kenal.”

 

“Aku merasa nyaman didekatmu. Aku berharap kamu mempunyai perasaan yang sama. Apa ini bukan waktu yang tepat? Maaf.”

 

Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau dia mempermainkan perasaan. Jangan biarkan aku membencinya karena ini! Apa dia benar-benar menyukaiku? Apa perasaanku padanya bukan pelarian?

 

“Aku masih ragu pada perasaan suka yang datang terlalu secepat. Aku tidak ingin hal ini mengakibatkan hubungan kita juga berakhir cepat.”

 

“Percayalah pada hatimu! Aku tidak main-main. Haruskah aku mengatakan kesungguhan dengan berbagai rayuaan? Aku tidak ahli. Aku hanya bisa membuat hatimu yakin.”

 

“Tetapi kita belum lama kenal.”

 

“Justru semakin kita dekat, kamu akan lebih mengenalku. Cukup yakinkan perasaanmu! Bisakah itu berjalan mulai detik ini. Apa kamu menerimaku?”

 

Jujur tentang perasaan itu lebih baik. Daripada kamu menyembunyikannya, sampai berakhir pada penyesalan.

 

“Baiklah, aku pikir kita bisa memulai suatu hubungan dengan baik. Kamu bisa percaya padaku, perasaan ini tidak berjalan dengan keterpaksaan.”

 

“Aku percaya padamu. Kita harus berjuang bersama supaya tidak ada yang mengakhiri hubungan ini!”

 

Semenjak jadian, Zaki menjaga komunikasi, mengantar jemput Alena ke sekolah dan jalan-jalan bersama sahabat-sahabat Alena. Mereka akrab dengan baik. Zaki tahu ada waktu dimana Alena hanya ingin bersama sahabat-sahabatnya. Zaki tidak pernah egois karena dia sendiri sedang memulai kesibukannya setelah lulus SMA.

 

Waktu terasa cepat ketika kami lalui bersama tetapi kisahku seperti berputar. Aku mulai kehilangan tujuanku bersamanya. Dia mengganti waktu menghubungiku dengan sibuk pada pekerjaan.

 

Alena melewati hari tanpa Zaki, bermain di kosan sampai sore, belajar, dan tidur lebih cepat. Zaki sesekali menghubungi Alena, berharap gadis itu mengerti kesibukannya.

 

Hingga waktu itu tiba, Hany mengabari Alena kalau Zaki sudah pindah pekerjaan keluar kota. Alena merasa kecewa, Zaki tidak berpamitan. Ketika Alena menghubungi, tidak di respon.

 

Zaki, secepat inikah kamu berubah? Meninggalkan garis waktu yang kita punya. Apa ini tujuannya? Bersinggah lalu pergi tanpa penjelasan sedikit saja. Kenapa kamu seperti ini? masa depanku masih panjang. Ini lebih menyakitkan, Yuda meninggalkanku dengan pesan tetapi kamu diam tanpa mengucapkan kata perpisahan.

 

Kamu mengacuhkanku seperti ini. Kesibukan telah menyingkirkanku. Apa aku harus bersabar di tinggal merantau keluar kota? menunggumu kembali. Apa bisa aku disini kesepian? tidak tahu apa yang kamu lakukan diluar sana. Aku tidak yakin, semua akan lebih menyakitkan.

Tuhan, ujian ini darimu. Aku tetap bersyukur dan berusaha tegar. Pasti ada pelajaran penting yang bisa aku ambil dari masalah ini.

 

Dia ingin aku bersikap dewasa, “Kamu sangat beruntung Al. Orangtuamu mendukung kamu untuk sekolah. Mereka pasti akan berusaha menyekolahkanmu sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Selanjutnya tinggal usahamu. Apa kamu akan tergantung pada mereka? atau kerja keras mereka untuk membiayaimu akan terganti dengan kesuksesan.”

 

Bulan terus berlanjut, Zaki semakin menjauh. Mereka sudah jarang komunikasi. Alena mengirim pesan singkat terakhir, tanpa balasan.

 

Pesan dari Alena: Jangan banyak pikiran! Jaga kesehatan! Kesuksesan ditanganmu. Aku tidak keberatan kamu meninggalkanku. Berbahagialah! Kejarlah masa depanmu! tanpa aku.” Alena kembali ke aktifitas semula, tanpa harapan mendapat kabar dari Zaki.

 

Aku bersahabat dengan lelah, mungkin dia pacar setia. Lelah temani aku! Kamu mengetahuinya, sekarang pikiranku bertambah kacau. Aku merindukan seseorang tetapi dia tidak pernah memberi kabar. Itulah yang meyakinkanku kalau tidak ada rasa sayang.

 

Zaki, apa kamu marah? pernahkah kita menjanjikan untuk selalu bersama? Apakah kita mengakhiri hubungan ini? Semua menggantung. Akankah kamu kembali? Apakah tujuanmu menjauh karena ingin melepaskanku? Katakan sesuatu!

 

Alena menutup buku yang sejak tadi dibaca. Seseorang menghampiri, Hany.

 

“Apa kabar Al?”

 

“Baik.”

 

“Apa kamu tidak sadar, sejak pulang sekolah aku mengikutimu sampai ke perpustakaan umum? Menunggumu yang dua jam lamanya membaca buku. Ini sungguh melelahkan.”

 

“Salah siapa mengikutiku?”

 

“Alena, kamu jutek sekali.” Hany memamerkan barisan giginya.

 

“Ada apa kamu mengikutiku? Seperti detektif saja, padahal aku bukan orang penting yang harus diikuti jika pergi kemana-mana.” Alena tersenyum tipis.

 

“Aku hanya memastikan kamu dalam keadaan baik. Apa kamu memutuskan Zaki?”

 

“Iya, dia tidak merespon. Aku harap dia menerima keputusanku. Apa terjadi sesuatu?”

 

“Tidak, Zaki baik-baik saja. Meskipun sibuk dengan pekerjaan tetapi setiap hari dia menanyakan kabarmu.”

 

“Benarkah?”

 

“Iya, aku harus memastikanmu dalam keadaan baik. Aku pernah bilang padanya, seorang perempuan pasti kecewa jika ada pria yang mendiamkan tanpa sebab tetapi tidak ada tanggapan. Dia memang sulit dimengerti.”

 

“Jika dia pulang, tolong kabari aku!”

 

“Baiklah, aku tahu kalian dalam masa yang sulit. Aku juga tidak berani menanyakan kejelasan hubungan kalian karena dia tidak ingin membahasnya.”

 

“Jangan membebaninya! Kita benar-benar sudah berakhir.”

 

“Sayang sekali. Dia menitipkan salam untukmu.”

 

Terima kasih sudah hadir dalam kisahku. Tidak perlu merasa bersalah, kita merasakan luka yang sama. Kebahagian yang kamu berikan lebih berarti dibanding mengingat rasa kecewa. Aku berusaha tegar, meskipun tangisan itu selalu ada bila terlintas bayanganmu diingatan. Setiap hari aku melewati pertokoan itu, melihat kamu menunggu, tersenyum menyambut kedatanganku tetapi itu hanya bayangan.

 

Cintaku berawal dari hujan sore itu, tidak ada yang menduga. Hujan mengisyaratkan kita bertemu. Lubuk hati menyimpan namamu. Kamu yang jauh disana, belum tentu memikirkanku. Aku tidak bisa berharap lebih. Pertama kali mendengar pengakuanmu menyukaiku, hari itu menjadi hari bahagia. Maaf membuatmu kecewa. Terima kasih telah mewarnai hidupku, meski singkat. Aku berharap kita bertemu lagi.

 

Terimakasih

Ini ceritaku. Dilarang mengcopy!!

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar