Kamis, 19 September 2013

CERPEN "INGATAN"



Gedung mewah ini berdiri kokoh dengan sensasi berbeda dari tempat lain. 

Ruangan yang tidak pernah sepi, aroma obat yang menusuk hidung, suara alat-alat penopang tubuh yang berfungsi menjaga seseorang agar bertahan hidup. Siapa yang tidak meringis, siapa yang tidak peduli. Jerit, tangis, tawa berbaur bagai sahabat. Duka cita datang tidak terduga.

 

Wajahnya menunjukan ketegaran. Dia berusaha menahan kantuk dimata demi mengawasi seseorang yang bertahan dalam tidur. Berharap mata itu terbuka melihat disamping “Ibu”.

 

Sebutan yang ia rindukan. Waktu teramat pahit telah terlalui bersama. Dia tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang hidup mandiri. Wanita itu tidak menjanjikan apa-apa, tetapi setidaknya dia akan memperbaiki kesalahan. Setiap orang ingin menjalani kehidupan yang bahagia, satu pintanya “Ingin selalu bersama”.

 

Tepat 3 minggu, gadis itu terbaring tidak sadarkan diri. Dia sedang berjuang, menunjukan perubahan yang berarti.

 

“Nak. Jangan sampai kamu menyerah! Temukan jalan pulang! Tuhan menyertai. Ibu ikhlas akan pilihanmu.” Tanpa dia sadari tangan gadis itu bergerak, merasakan tangannya tergengam erat penuh kehangatan.

 

 “Ibu.”

 

Wanita cantik itu berusaha menopang dagu yang hampir saja tenggelam pada ujung ranjang. Namun sebuah suara membuat dia mendongkak.

 

“Apa aku bermimpi?” batin masih tidak percaya.

 

Dia memastikan dengan mengamati gerak bibir Nadia. Benar saja, Nadia telah sadar dari koma.

 

“Ibu, apa yang terjadi? Mataku kenapa bu?” Tubuhnya gemetar, matanya tertutup perban.

 

“Kamu tenang ya Nadia! Ibu disini, kamu akan baik-baik saja.” 

 

Nadia menangkap dengan jelas ucapan ibunya, dia merasa tubuhnya lemas.

 

“Aku harus bagaimana bu?”

 

“Tidak apa-apa nak. Ibu akan memanggil dokter untuk memeriksa keadaanmu. Ibu akan segera kembali. Tunggu sebentar!”

 

Tangannya menghapus kegelisahan di ujung mata Nadia. Kecupan menenangkan mendarat dipipi “Anakku.” Dia segera meninggalkan ruangan untuk mencari Dokter Fatimah.

 

Setiap manusia tidak akan tau kehendak Tuhan. Begitupun dengan pemandangan di depan mata. Kebahagiaan yang ia rasakan berbanding terbalik dengan seseorang yang berada diruang samping. Dia hanya mengintip pada jendela. Pasien di ruangan tersebut telah pergi. Pergi meninggalkan kenangan untuk orang disekitarnya. Dia, seseorang yang ia sayangi seperti kasihnya pada Nadia. Melihatnya terbujur kaku, saat dirinya bahagia Nadia kembali. Apa ini adil? Siapapun tidak dapat merubah kehendakNya.

 

“Kamu yang terbaik. Aku tidak akan mengecewakanmu. Terimakasih.”

***

 

Nadia tidak mampu mengucapkan “Ibu” bukan karena tidak pernah mengucapkan kalimat itu, tetapi saat ini dia merasa kesulitan menggerakan organ tubuh. Matanya  memilih terpejam seperti ada perekat yang menghalangi. Namun pendengarannya masih tajam. Pintu diruangannya berderit, seseorang mendekat.

 

“Ibu?”

 

“Aku pikir aku akan mengucapkan selamat tinggal padamu tetapi sepertinya kamu memang beruntung. Lain denganku, Tuhan mengambil yang berharga bagiku.”

 

“Dia menangis, itu bukan suara Ibu. Siapa dia?”

 

“Mulai saat ini aku tidak ingin melihatmu. Pergi jauh dari kehidupanku!”

 

Nadia tidak mengerti apa yang membuat perempuan itu membencinya. Dia ingin sekali memaki, namun anggota tubuh tidak berpihak.

 

“Kamu siapa?”

 

“Siapa? Apa aku harus mengenalkan diri? Lalu kamu mengenaliku sebagai orang yang membencimu. Kenapa kamu merusak hidupku. Kamu...” Ruangan itu menggema, tangisan pilu bagai sayatan tajam.

 

Betapa bencinya kamu terhadapku. Apa yang telah aku lakukan? Jahatkah aku?”  Nadia gelisah.

 

Namun tidak ada jawaban. Langkah perempuan itu berlalu, meninggalkan ruangan. Nadia tidak mendengar penjelaskan darinya. Kali ini pintu berderit lagi. Langkah kaki beberapa orang.

 

“Nadia, maaf menunggu.”

 

“Dok, apa Nadia sebaiknya diperiksa dulu? Saya khawatir dengan keadaannya.” Ibu cemas.

 

“Baiklah Nadia, saya akan periksa keadaan kamu.” 

 

Peralatan dokter yang membelit tubuh, satu persatu dilepaskan oleh suster. Dokter menyuruh Nadia menggerakan tangan dan kaki, meyakinkan semua organ tubuh berfungsi dengan baik. Hanya saja Nadia merasakan kejanggalan pada mata.

 

“Kenapa harus ditutup perban? Apa aku buta?” membayangkan sesuatu yang buruk terjadi.

 

Dokter melepas perban, Nadia mengikuti saran dokter untuk membuka mata perlahan. Bola mata menangkap seseorang yang tersenyum “Ibu”. Wajahnya berbinar, tangan menyapu dihadapan Nadia. Memastikan dia terlihat jelas. Dokter menyorotkan senter kecil, memeriksa keadaan.

 

“Kamu baik-baik saja. Dua minggu lagi kamu boleh pulang karena kita harus melakukan pemulihan pada organ tubuhmu. Jaga kesehatan ya Nadia!”

 

“Terimakasih Dok, anda telah bekerja dengan baik.”

 

“Sama-sama Bu. Kalau ada keluhan anda dapat menghubungi saya!” Dokter dan suster meninggalkan mereka berdua.

 

“Terlihat jelas lelah menggurat diwajahmu, sejak kapan kamu disini? Apa selama aku terbaring? Doa, senyum, belaian tangan, kecupan hangat dikeningku. Ibu, ternyata kamu menyayangiku. Kamu memberikannya saat aku tersadar dari tidur. Aku bahkan tidak ingat. Kenapa aku berada disini? Apa aku terbangun untuk menjalani kehidupan baru?”

 

“Apa yang kamu pikirkan?”

 

“Apa yang terjadi padaku bu?”

 

“Kamu sudah menjalani operasi. Sekarang kamu dalam keadaan sehat jadi tidak perlu khawatir.”

 

“Aku tidak pernah mengalami sakit. Memang aku sakit apa?”

 

“Tidak sayang, kamu mengalami koma dan mata mu harus dioperasi. Sekarang kamu baik-baik saja.”

 

“Koma? Apa yang telah terjadi? Kenapa aku tidak mengingatnya?” Nadia meringis saat berusaha mengingat.

 

“Jangan dipikirkan! Yang penting kamu sudah sembuh. Kita hanya perlu mengontrolnya seminggu sekali ke dokter Fatimah. Ibu akan mengantarmu.”

 

“Ibu.”

 

“Kenapa Nad?”

 

“Terimakasih.”

 

Senyum Ibu adalah senyum malaikat penjaga. Aku telah lama merindukannya.  Kini rasa sayang pada Ibu kembali utuh. Aku tidak bisa mengingat kejadian sebelum aku terbaring disini, apa aku melupakan bagian terpenting?

 

***

Langit sore berubah mendung, menangis memandang wajah seseorang. Jendela rumah terlalu transparan, memperlihatkan gurat sedih tatapan kosong yang mengarah pada bunga mawar di halaman rumah. Bunga itu tersentuh deras hujan tanpa bisa berbuat apa-apa. Merelakan kelopaknya jatuh satu persatu.

 

Dia menghembuskan nafas pada kaca, membuat sebuah kabut. Jemari perlahan menulis “ Biarkan aku mati, jika itu maumu!” 

 

Rintik hujan, gemuruh petir, mewakili hati. Bunga yang sejak tadi dia perhatikan, semakin menunduk terkalahkan tetesan hujan yang semakin ganas. Kasihan sekali. Langit melihat iba, bukan pada bunga tetapi pada dia yang berurai air mata menatap bunga tersebut. Perempuan yang terdiam, tanpa tau apa yang harus dia lakukan. 

 

“Kamu tau banyak hal Dika, dari apa yang tidak aku ketahui. Bukankah begitu?” Nadia tidak melihat perubahan sikap sahabatnya, mata tetap tertuju pada bunga mawar diluar sana.

 

 “Aku adalah penyimpan rahasia yang baik. Seberapa keras usahamu, tidak akan menggoyahkan pendirianku.” Jawaban Dika tidak memberi pencerahan. 

Ibu saja memilih bungkam setiap diajukan pertanyaan. Kini dia mendapat perlakuan yang sama.

Berapa lama sebuah persahabatan harus terjalin untuk mengetahui karakter seorang sahabat? Selama apapun itu, Nadia tidak akan tau semua hal tentang Dika. Padahal sejak kecil mereka sangat akrab, oranglain akan beranggapan kalau mereka kakak beradik. Dika dan Nadia tidak pernah menjalin hubungan meskipun keduanya saling menyayangi, mereka masih nyaman untuk jadi sahabat saja.

 

“Dika, aku tidak tau kenapa ibu memilih bekerja ke rumah.”

 

“Apa kamu tidak senang?”

 

“Aku senang tetapi sejak kapan dia seperti ini?”

 

“Sejak dia sadar kamu lah yang paling berharga. Apalagi ketika kamu sakit Nad, dia tidak pernah meninggalkanmu. Saat aku mengantarkan makanan, dia memilih tetap di dekatmu. Padahal aku bisa menggantikan.”

 

“Aku bersyukur ibu dapat memilih jalan yang baik. Selain itu, apa ada yang tidak aku ketahui?"

 

“Tentang Alex?” tebaknya, tersenyum sinis.

 

“Aku sepertinya sudah lama tidak mendengar nama itu.”

 

“Dia datang ke rumah sakit saat libur sekolah. Apa kamu marah dia tidak datang hari ini?"

 

“Tidak, aku bahkan berharap dia tidak menemuiku lagi.” wajahnya kembali redup.

 

“Jangan kecewa padanya, dia sedang sibuk mempersiapkan lomba. Bukankah hubungan tidak akan seru jika tidak ada masalah?”

 

“Aku adalah masalah yang harus hilang dari hidupnya.”

 

“Berhentilah berpikir negatif tentangmu! Alex tidak pernah berkata buruk. Dia datang ke rumah sakit juga atas keinginannya.”

 

“Dia bersikap seolah-olah aku memperlakukannya dengan baik karena itu aku ingin melepaskannya.”

 

“Maksudmu?”

 

“Aku lebih senang menjadi temannya.”

 

“Kenapa kamu berpikir seperti itu?”

 

“Aku hanya bisa menyakiti hatinya tetapi dia tetap berperilaku sabar. Aku merasa kasihan. Dika, bisakah kamu ceritakan bagaimana bisa aku dirawat di RS?”

 

“Nad, yang penting saat ini kamu dalam keadaan sehat tidak kurang apapun!” itu tidak menjawab segala pertanyaan dalam benaknya.

 

“Tetaplah disini! Aku berharap tidak punya ingatan buruk. Aku ingin melupakan masa lalu yang mencemaskan.”

 

Nadia tidak akan menemukan jawaban. Begitupun dari langit yang mengamati. Padahal langit mengetahui apa yang tersembunyi.

***

Cahaya itu menghilang. Dia tidak tau harus berbuat apa supaya cahaya itu kembali. Baju putih? apakah itu yang disebut malaikat? Mata menuntun mengikuti sosok itu, tetapi tidak bisa memastikan siapa dia. Kabut tebal menyembunyikan tatapan seseorang. 

Dia tidak mengerti, kenapa dia berada disini. Semakin dia mendekat pada satu titik, maka titik itu menjauh. Kenapa? padahal dia butuh penjelasan. Berharap menemukan seseorang dipadang berkabut ini tetapi tidak ada siapa-siapa yang bisa diajak berkomunikasi. Jalan keluar yang muncul lebih cepat menghilang.

Dia berjalan mengelilingi tempat yang tidak pernah di datangi. Dimana ada tempat seperti ini? seakan berjalan di tempat yang sama. Tidak ada ingatan yang menjelaskan peristiwa ini bisa terjadi. Hanya pada suara yang memanggil namanya, dia meminta penjelasan tetapi dia tidak menemukan darimana asal suara.

Nadia terbangun dalam keadaan tubuh berkeringat. Mimpi ini terulang untuk kesekian kali, setelah dia sadar dari koma.

“Mimpi.” Matanya menatap langit luar. Nadia sengaja tidak menutup jendela kamar. Malam ini dia melamun dibalik jendela.

 

“Aku merasa seperti orang lain.” Nadia tertawa getir. Dia tidak pernah merasa sangat kecewa sebelumnya.

 

“Mataku tidak berhenti mengagumimu langit. Apa aku baru menyadari ternyata kau begitu indah. Tuhan bisakah Kau memberikan solusi terbaik?  langit gelap seakan menyadarkanku kalau semua masalah selalu ada jalan keluar. Seperti Kau ciptakan bintang menjadi setitik cahaya saat gelap datang.” Nadia tersenyum, tangannya menunjuk beberapa bintang, menyatukan sebuah nama. 

 

“Tuhan, aku memintamu menjaganya! sampaikan pesan rindu. Aku yakini Tuhan tidak akan membiarkanku sendiri.” 

 

Di lain tempat, seorang gadis memilih duduk ditepi ranjang. Kepalanya tertunduk mencium lutut, sudut matanya tidak berhenti menetes. 

 

“Bisakah aku bertahan dengan rasa sakit ini? Kenapa kamu tidak menungguku sampai dewasa? Kehadirannya telah membuatku kehilanganmu. Apakah dia tetap yang terbaik bagimu padahal aku memilih membencinya?”

 

Langit diluar sana tidak berpihak. Meskipun gelap, bulan tetap setia menerangi. Walaupun tidak dihati gadis itu. Tatapan mata memicing pada bingkai foto di meja belajar. Malam ini dia menangis, mengiris hati seseorang yang mencemaskannya dibalik pintu kamar.

***

 

Nadia masih bertahan di gerbang sekolah. Tempat pertama kalinya dia bertemu seseorang.

 

##

Seorang lelaki sedang asik mengamati siswa SMA yang menyebrang menuju sekolah. Dari seragamnya dia bukan berasal dari sekolah tersebut, matanya mencari sesuatu.

 

 “Sekolah kalian yang paling bagus, penghuninya juga guru berkualitas. Aku tidak seberuntung kalian, tetapi aku tidak bodoh. Aku belajar dari keadaan sekitar. Apa kalian yang berada di gedung ini belajar dengan benar? itu tidak menjamin atau kalian hanya singgah saja dengan semua keegoisan dan keangkuhan. Ya, kalian ingin menunjukan bahwa kalianlah yang terbaik dari orang miskin diluar sana. Aku tidak akan mengalah dari kalian yang hanya duduk manis. Aku juga memiliki ruangan yang luas. Aku lebih banyak belajar daripada kalian. Guruku adalah mereka yang aku lihat, dengar dan rasakan.” 

 

Dia berdiri mengayunkan kaki, membuat ketukan pada tanah. Hidupnya terlihat damai. Dia tersentak melihat Nadia turun dari angkutan umum.

 

“Dua menit lagi gerbang sekolah akan tertutup.” Terdengar peringatan dari pak satpam.  Nadia jalan terburu-buru, lelaki itu mengikuti.

 

“Siapa lelaki dibelakangku? Kenapa dia mengikuti kecepatan langkahku? Apa aku akan dirampok? Oh Tuhan lindungi aku!” Badannya menggigil. Dia melangkah cepat, masuk ke sekolah.

 

“Hey, tunggu!” Lelaki itu memanggil tetapi satpam mencegah masuk.

##

 

“Apa yang terjadi?” Nadia melamun namun tersadar saat seseorang menepuk pundak.

 

“Kenapa berdiam diri di sini?” Nadia tidak menjawab, mereka berjalan sejajar di lorong kelas.

 

“Selamat datang di sekolah sayangku. Apa kamu sudah baikan?” Nadia mengangguk.

 

“Bicaralah! berhentilah membuatku khawatir!” menarik nafas, melihat gadis di samping tetap berjalan tanpa menoleh.

 

“Maafkan aku! Apa yang harus aku lakukan untuk menebus kasalahanku? Aku akan lakukan.” Nadia tidak menanggapi. Alex memotong langkah gadis itu, Nadia mendongkak dengan wajah tanpa ekspresi.

 

“Apa kamu baik-baik saja?”

 

“Apa aku terlihat sangat mengkhawatirkan?”

 

“Pertanyaanmu adalah jawaban. Siapa yang tau perasaanmu saat ini, selain dirimu sendiri.”

 

“Memang seperti itulah aku. Aku bahkan tidak mengerti apa yang aku rasakan.”

 

“Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” Alex tersenyum ramah tetapi tidak mengubah ekspresi gadis itu, datar.

 

“Kamu boleh tidak tersenyum padaku. Jangan lakukan hal yang sama pada orang lain! Apapun yang terjadi hubungi aku!” Merasa tidak ada tanggapan, Alex mengelus kepala Nadia.

 

“Selalu ada jalan keluar. Aku tidak akan membiarkanmu sendiri.”

 

Alex meninggalkannya sendiri. Alex adalah pacar yang baik tetapi Nadia membiarkannya berlalu.

Nadia berada di kelas, pikirannya terbawa ke dalam suasana yang sama seperti saat itu.

 

##

Pelajaran membosankan, murid belajar dengan tenang, tatapan mata Nadia tertuju pada pos satpam disamping gerbang sekolah. Sore itu ada pelajaran tambahan, ruangan kelas sangat sepi hanya kelas 2-A yang masih berada di sekolah. Murid lain fokus mendengar materi yang guru sampaikan, tetapi tidak dengan Nadia. Matanya menatap seseorang diluar jendela yang tersenyum dan melambaikan tangan.

 

“Oh Tuhan, apa yang dia lakukan? Aku pikir dia tidak akan kembali.”

 

Setelah tadi pagi tidak bisa menemui gadis itu, kini dia berdiri disamping pos dengan diawasi pak satpam.

 

“Siapa yang sedang kamu tunggu?”

 

“Dia.” menunjuk Nadia yang duduk di samping jendela. Nadia terlihat salah tingkah, pura-pura membaca buku tetapi sebelah matanya memperhatikan perbincangan dua lelaki diluar sana.

 

“Nadia? Dia cantik, pintar, tetapi sangat pendiam. Kalian ada hubungan apa? Pacaran?”

 

“Jika dia pacarku maka sainganku sangat banyak, pak. Setiap hari aku akan sibuk memikirkan keadaan dia, itu merepotkan. Meskipun aku menjadi lelaki beruntung karena setiap hari mendapat tatapan cemburu dari setiap orang. Hanya saja, disini aku …” ucapannya menggantung.

 

“Pengagum rahasia, bodyguard, babysiter atau penguntit?”

 

“Tebakkan bapak meleset semua. Lihat saja! Belum kenalan, dia sudah mengira aku pengganggu. Apa ada yang salah dengan wajahku?”

 

“Sudah bapak duga. Kamu memang tidak cocok dengan gadis seperti itu. Zaman dulu, saat seusiamu wajah kita mirip meskipun kamu lebih tampan tetapi sikap kita hampir sama. Kita tipikal orang yang tidak terlalu serius sehingga sulit mengejar gadis yang disuka.”

 

“Kenapa nasib kita harus disamakan? Apa bapak sudah menduga aku akan mendapat penolakan?” Mereka tertawa.

 

“Apakah kamu termasuk anak yang sering tawuran?”

 

“Don’t judge people by cover, Pak! tujuanku kesini bukan untuk mencari pacar. Apalagi aku bukanlah salah satu siswa yang suka tawuran. Tenang saja pak, aku hanya ingin menyampaikan sesuatu.”

 

"Kalau begitu yakinkan padanya kalau kamu anak yang baik."

 

"Apa? Sudah aku katakan kami tidak punya hubungan apa-apa. Aku hanya ada perlu dengannya."

 

"Bapak tau. Keperluanmu itu ada hubungannya dengan mengungkapkan perasaan kan?"

 

“Bukan pak."

 

“Anak muda zaman sekarang memang pandai berbohong."

 

"Aaaarghh,,. Aku sudah jelaskan panjang lebar pada anda tujuanku tetapi kenapa aku jadi terpojokan."

 

Satpam tertawa melihat tingkah laku pemuda itu yang mulai gelisah.

 

"Tenang,  10 menit lagi pelajaran selesai."

 

Nadia meninggalkan kenangan itu di ingatannya. Bagaimana kabar Ryan? Nadia belum sempat bertemu dengannya lagi, dia juga tidak menanyakan pada Ibu dan Dika.

Ryan, dia adalah orang yang berarti baginya sejak dia datang hanya untuk mengucapkan terima kasih.

 

"Nadia, berhentilah! Aku tidak akan melukaimu."

 

Dia mengejar Nadia dari gerbang sekolah. Padahal Nadia ingin menghindar tetapi angkutan umum yang ditunggu tidak kunjung datang. Terpaksa dia berjalan untuk menghindar, tetapi pria itu tetap mengikuti.

 

"Nadia, apa kamu mendengarku? Tolong berhentilah." Nadia menghentikan langkah saat pria itu memanggil namanya.

 

"Jaga jarak denganku! Siapa kamu? Kenapa kamu mengikutiku?"

 

"Namaku Ryan, aku tidak berniat jahat. Aku kesini ingin mengucapkan terimakasih padamu."

 

"Terimakasih?"

 

"Iya, Apa kamu ingat kejadian kemarin sore? kamu adalah malaikat bagi adikku. Dia bilang kamu menolongnya saat dia ditabrak lari pengendara motor yang mengebut. Aku berterima kasih padamu, jika kamu tidak membawa adikku ke puskesmas. Mungkin sesuatu yang buruk akan terjadi padanya."

 

"Jadi Kania itu adikmu?"

 

"Iya, kami tinggal di perumahan belakang sekolahmu. Aku kesini karena permohonan Kania yang ingin bertemu denganmu. Bisakah kamu ikut denganku?"

 

"Aku akan menemui Kania tetapi bisakah nanti kamu sekalian mengantarkanku pulang.” Kebetulan sekali, hari ini Nadia tidak ingin berada di rumah karena Ibunya sudah kembali dari luar kota.

 

“Tenang saja nanti aku akan mengantarmu pulang. Kamu hanya perlu izin orangtua supaya mereka tidak khawatir."

 

"Izin? Apa aku harus melakukannya? Saat aku ingin terbebas dari papan aturan. Aku tidak perlu izin untuk menjalani hidup. Dia saja tidak pernah mengabari tentang keberadaannya. Berangkat dari rumah pagi sekali dan pulang larut malam. Jadi bukankah adil jika aku juga pergi sesuka hati."

 

“Baiklah aku akan meminta izin terlebih dahulu.” Dia mengetik pesan, lalu mengirimnya.

Pesan yang dia kirim adalah sebuah kebohongan. Dia mengirim pesan pada Dika untuk disampaikan pada Ibunya kalau dia akan menginap dirumah teman sekelasnya.

***

 

Rumah ini sangat menyenangkan, penghuni rumah tersebut menyambut Nadia dengan baik. Dia ikut makan malam bersama. Om Wisnu dan tante Gia sangat baik. Mereka memiliki dua anak, Kania adalah putri kandungnya dan Ryan adalah anak angkat yang diadosi sejak bayi sehingga mereka menganggap Ryan anak kandungnya juga.

Nadia berbincang bersama Kania. Dia terlihat dewasa dari umurnya. Padahal dia baru kelas 3 SMP.

 

“Ka Nadia, bagaimana kalau hari ini menginap saja? Bukankah kakak sudah minta izin main ke rumahku?"

 

“Aku memang sudah izin tetapi apa aku tidak mengganggumu?"

 

“Tentu saja tidak Kak. Aku senang kakak disini, lebih lama juga tidak apa-apa. Aku seperti punya kakak perempuan."

 

“Kania, Kak Nadia harus pulang nanti keluarganya khawatir. Kamu ini manja sekali ingin punya kakak perempuan. Apa kakakmu ini tidak cukup?” Ryan mencubit gemas pipi adiknya.

 

“Apa boleh jika aku menginap sehari saja?" Nadia dengan berani mengatakannya, Ryan tercengang.

 

“Boleh kak, nanti kakak tidur di kamar Kania. Ma, Kak Nadia mau menginap. Boleh ya?” Kania mengatakan pada Ibunya yang baru saja ikut bergabung setelah membawa cemilan dari dapur.

 

“Apa benar kamu akan menginap?" tante Gia menanyakan keseriusan Nadia.

 

"Iya , apa tante mengizinkan?"

 

“Tentu saja. Tante dan Kania akan menyiapkan kamar. Kania kan jarang beres-beres."

 

“Asik, aku tidur sekamar dengan Kak Nadia.”

 

“Tolong nanti jangan berisik ya! karena bukan cuma Kak Nadia yang tidak bisa tidur. Kakak juga akan kena dampaknya."

 

"Kak Ryan kan sudah terbiasa tidak tidur cepat. Jadi bukan salah Kania yang berisik karena jika dua perempuan dalam satu kamar tentu saja kami akan mengobrol. Aku kan bukan patung."

 

Om wisnu dan Ryan tertawa nyaring, melihat tingkah lucu Kania yang mengoceh sambil menaiki tangga, bibirnya mencibir pada Ryan. Nadia tersenyum, merasa dirinya masuk pada bagian mereka.

 

"Apa kamu sudah izin pada orangtua mu, Nad?"

 

"Sudah om."

 

"Bagus kalau begitu. Jadi mereka tidak perlu khawatir. Kami akan menjagamu dengan baik. Sekolah kamu kan dekat dari sini. Besok kamu diantar Ryan saja."

 

“Terimakasih Om.”

 

Malam hampir larut, Nadia tidak bisa tidur. Dia memutuskan keluar dari kamar. Dia melihat seseorang duduk di balkon ruang tengah.

 

"Ryan? Apa yang kamu lakukan?"

 

"Kenapa kamu tidak tidur? Apa Kania mengganggumu?"

 

"Tidak, aku belum mengantuk. Bagaimana denganmu?"

 

"Aku juga. Duduklah!" Nadia duduk di samping Ryan.

 

"Tuhan menciptakan langit malam untuk kita merenung. Cobalah untuk lupakan kegelisahanmu hari ini buatlah hatimu merasa tenang!"

 

"Apa aku harus melakukannya?"

 

"Harus, wajahnya terlalu serius sesekali tersenyumlah, oranglain tidak perlu tau bebanmu!"

 

Nadia menatap langit, merasakan kedamaian. Sepanjang malam, mereka bercengkrama, tertawa, dan berbagi cerita.

 

"Bolehkah aku tau apa masalah yang sedang kamu hadapi , Nad?"

 

"Apa orang lain harus tau apa yang aku alami?"

 

"Tidak tetapi katakan saja! Ini akan jadi rahasia kita, sesama bintang. Bagaimana?" Ryan menjulurkan kelingkingnya dan menyatukan dengan kelingking Nadia.

 

"Janji."

 

"Aku memegang janjimu. Ryan, aku sedang terbuang di lingkungan asing. Aku mempunyai seorang ibu yang juga berperan sebagai Ayah. Ibu adalah pemilik sebuah perusahaan. Dia mendapatkan jabatan tersebut karena dia memiliki hubungan dengan seorang pengusaha yang sudah beristri dan memiliki 4 orang anak. Dia tidak peduli jika keluarga tersebut telah ditinggalkan oleh lelaki itu, tapi aku peduli. Istrinya kecewa dan anak-anaknya mengalami trauma karena masalah orangtua mereka. Kenapa ibu tidak mau bercermin, dia adalah perempuan. Bagaimana jika dia berada di posisi tersebut. Aku tidak mengerti. Kenapa dia bersikap jahat pada orang lain? Hidupku tersisksa dengan kelakuan ibu. Kata-kata ku saja tidak berarti apa-apa. Apalagi cemoohan dari oranglain. Baginya selama dia bahagia apapun akan dia lakukan."

Saat ini Nadia tidak ingin mendengar saran apapun, Ryan mengerti itu. Dia hanya berfungsi sebagai bintang yang mendengarkan.

Setiap pulang sekolah Nadia dijemput Ryan untuk berkunjung ke rumahnya. Ryan akan mendengarkan keluh kesah Nadia tanpa menyela dan tanpa protes. Ryan adalah bintang baginya. Sebagai gantinya Nadia selalu bersembunyi dari kejaran Alex.

##

 

Nadia berada tepat didepan rumah keluarga angkat Ryan. Dia menangis diluar gerbang saat tau rumah ini kosong di tinggal penghuninya.

 

"Ryan, aku selalu memikirkanmu. Apa kamu juga begitu? Kamu dimana?"

***

 

Waktu melaju serupa siput. Nadia duduk di pinggir jendela, menatap jalan yang bergerak cepat. Kereta ini akan membawanya ke suatu tempat. Pandangannya fokus ke luar tetapi pikiran tertuju pada orang yang ingin dia temui. Air mata menghangatkan pipi. Seseorang yang duduk disamping dengan sigap menyodorkan tisu.

 

"Matamu terlalu berharga menangisi orang yang membuat tersakiti." Nadia mengambil tisu tersebut tanpa menoleh.

 

"Sejak kapan kamu disini? Apa kamu mengikutiku?"

 

"Aku menanyakan pada Dika kemana kamu pergi. Kenapa kamu tidak memberitahuku?"

 

"Apa aku harus selalu mengabarimu?"

 

"Kamu melakukan itu pada Dika, tetapi tidak padaku."

 

"Jadi kamu datang kemari untuk mengawasi?"

 

"Aku ingin memastikan kamu baik-baik saja. Tidak ada pilihan lain. Aku khawatir melihat kekasihku naik kereta sendiri tanpa tujuan."

 

"Alex, aku bukan anak kecil."

 

"Aku tau." Alex menghela nafas saat matanya beradu dengan mata indah kekasihnya.

 

"Alex, hidupku tidak berarti, bahkan penuh penyesalan."

 

"Jika kamu menyesalinya. Lakukanlah apa yang bisa kamu perbaiki! Apa kamu masih menganggap tidak ada yang bisa kamu lakukan?"

 

"Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tau." suaranya tersendat, tangisan menjelaskan amarah yang semakin meluap.

 

"Apa kamu juga tidak bisa tersenyum saat seseorang menginginkannya. Apa itu saja sulit untukmu?" suara Alex terdengar mengejek, tetapi dia ingin mengembalikan semangat Nadia.

 

Dia merasa canggung. Bagaimana tidak, 1 tahun hubungan mereka berjalan tanpa komunikasi yang baik. Nadia tidak suka bila Alek mengajaknya jalan berdua saja. Sekolah merupakan tempat mereka bertemu saat istirahat, tapi Dika selalu diminta Nadia menemani. Akhirnya mereka pergi bertiga, ke perpustakaan, mengobrol di halaman sekolah dan mengerjakan tugas bersama.

 

"Nad, katakanlah sesuatu tentang apapun!"

 

"Tidak ada, aku tidak ingin mengatakan apa-apa."

 

"Benarkah?"

 

"Aku..."

 

"Tenangkan dirimu! aku akan menghargai kejujuran."

 

"Alex, aku telah mengecewakanmu dalam banyak hal tapi kamu tetap baik padaku."

 

"Katakanlah lebih banyak! aku sudah siap menerimanya." hatinya tersengat merasakan sakit yang luar biasa.

 

"Alex, aku lelah memaksakan perasaan ini."

 

"Ya, maaf telah memaksamu bersandiwara. Jika itu membebani pikiranmu, apa yang ingin kamu lakukan?"

 

"Aku yang harusnya minta maaf Alex. Aku sudah lama ingin mengatakan ini. Semoga kamu mengerti! Aku mau kita putus! Carilah perempuan yang sayang padamu!" Nadia melepaskan bagian terdalam hatinya, ketenangan itu semakin terasa.

 

"Aku merasa kecewa kita berakhir di sini tetapi tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Bisakah kita berteman baik?" Nadia mengangguk.

 

"Nad, aku bersyukur bisa berada disampingku seperti ini. Aku menghargai kejujuranmu."

 

Saat ini Alex menemaninya sebagai sahabat, sama seperti sebelumnya.

***

 

"Aku kembali, kembali untukmu. Aku menepati janjiku. Aku disini."

 

Langkah kakinya baru saja keluar dari gerbong kereta, namun suara nyaring berhasil menarik perhatian. Semua mata tertuju pada gadis polos yang merentangkan tangan seakan memeluk udara. Dia terlihat sangat bahagia. Pemuda disampingnya hanya menggaruk kepala, lebih tepatnya menyembunyikan rasa malu.

 

"Nadia, ayo pergi sebelum orang lain menertawakan tingkahmu!" Dia tersadar, lalu beranjak pergi tanpa mengajak alex.

 

"Aku mudah terlupakan." pemuda itu terlihat pasrah, mengikutinya dari belakang.

 

“Apakah kau menganggapku ada atau aku hanya bayangan? Bahkan aku lebih buruk dari bayangan. Apa salahku? aku tidak pernah lelah karenamu."

 

Langkah kakinya terhenti di depan sebuah rumah diatas perbukitan teh. Nadia mengetuk pintu berulang kali, Alex tidak yakin rumah ini berpenghuni karena tampak sepi.

 

"Mungkin tidak ada orang, kita tanya dulu pada warga disekitar sini."

 

"Ini benar alamat yang diberikan tetangga Om Wisnu."

 

"Tetapi tidak ada tanda-tanda mereka disini."

 

"Mereka pasti didalam." Vanesa mencoba membuka pintu. Alex menarik tangan Nadia.

 

"Apa yang kamu lakukan? warga bisa curiga yang tidak-tidak kamu mencoba membuka pintu rumah oranglain."

 

"Aku yakin mereka ada, Tante Gia, om Wisnu, Kania, Ryan ini Nadia. Aku ingin bertemu denganmu, Ryan. Ryan, bisakah kita bicara sebentar?" Nadia berteriak dengan suara lantang.

 

"Sudah Nad!" Alex tetap melarang.

 

"Ryan, aku sangat merindukanmu. Aku ingin berbicara denganmu, sebentar saja. Di ingatanku hanya ada kamu, tidak tau kenapa setiap malam aku gelisah, menangis sendiri dan lebih senang menatap langit persis seperti yang sering kita lakukan. Ryan..." ucapannya terhenti, tante Gia membuka pintu perlahan, Nadia reflek memeluk, penuh haru.

 

"Apa yang kamu lakukan gadis cerewet, tante merindukanmu." Suaranya seperti habis menangis, mata sembab.

 

"Aku juga tante."

 

Rumah terlihat sepi, tante Gia baru menyadari keberadaan Alex.

 

"Siapa temanmu ini?"

 

"Saya Alex, teman Nadia."

 

Tante Gia mempersilahkan mereka masuk. Duduk dalam keheningan.

 

“Yang lainnya kemana Tante?”

 

“Sedang keluar sebentar nanti juga pulang. Kalian datang dari jauh, tetapi tante malah tidak menyediakan makanan. Tante bawakan cemilan dulu ya?" Geraknya terhenti, Nadia mencegahnya pergi.

 

"Jangan repot-repot tante, kedatanganku kesini hanya untuk menemui Ryan."

Tante Gia tertunduk. Entah kenapa Nadia merasa tante Gia tampak pucat.

 

"Ryan sudah pergi. Semenjak dia pergi Kania selalu murung, butuh beberapa minggu untuk membuatnya ceria. Sekarang dia sedang memulihkan semangatnya, untung saja disini dia punya teman-teman yang baik. Tante dan Om tidak pernah melupakan Ryan sehingga kami memilih belakang rumah untung tempat peristirahatannya, supaya kami tetap dekat.” Dia terisak, Nadia kebingungan.

 

“Maksud Tante Gia apa? Maaf tante, tolong jelaskan padaku?” Nadia hampir menangis.

 

“Mungkin keluargamu merahasiakan ini, tetapi kamu juga butuh kebenaran kan? Butuh jawaban yang meyakinkan?” Nadia mengangguk

 

“Sebulan yang lalu, sebelum kamu koma. Ada konflik antara kamu dan Ibumu setelah ibumu putus dengan calon ayah tirimu. Sejak kejadian itu sepertinya kamu selalu mendapat terror yang kurang menyenangkan. Hari itu hujan deras, kamu menelepon Ryan kalau Ayah tirimu datang bersama bodyguardnya. Kamu meminta Ryan untuk menjemput. Ryan pergi dari rumah terburu-buru, tante dan Kania berusaha melarangnya pergi. Tante khawatir jika dia berangkat sendiri, apalagi Om Wisnu belum pulang dari luar kota tetapi dia memaksa pergi, dan berjanji membawamu kerumah. Namun naas dalam perjalanan kalian berdua kecelakaan. Ryan jauh dari kata baik, dia tahu kamu tidak akan bisa melihat. Sehingga dia mendonorkan matanya untukmu. Tante sangat sayang padanya dan sempat terpukul tetapi kami paham betul kehidupan kami tetap berlanjut. Jika Ryan ada, dia pasti tidak suka kami dirundung duka karena dirinya." Tante Gia menangis tersedu. Nadia sangat terpukul, airmata mengalir begitu saja. Alex membiarkan tubuhnya untuk bersandar, menguatkan gadis itu.

 

Terimakasih

Ini ceritaku, DILARANG COPYPASTE!

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar