Gedung mewah ini berdiri kokoh dengan sensasi berbeda dari tempat lain.
Ruangan yang tidak pernah sepi, aroma
obat yang menusuk hidung, suara alat-alat penopang tubuh yang berfungsi menjaga
seseorang agar bertahan hidup. Siapa yang tidak meringis, siapa yang tidak
peduli. Jerit, tangis, tawa berbaur bagai sahabat. Duka cita datang tidak
terduga.
Wajahnya menunjukan
ketegaran. Dia berusaha menahan kantuk dimata demi mengawasi seseorang yang
bertahan dalam tidur. Berharap mata itu terbuka melihat disamping “Ibu”.
Sebutan yang ia rindukan.
Waktu teramat pahit telah terlalui bersama. Dia tumbuh menjadi seorang gadis
remaja yang hidup mandiri. Wanita itu tidak menjanjikan apa-apa, tetapi
setidaknya dia akan memperbaiki kesalahan. Setiap orang ingin menjalani
kehidupan yang bahagia, satu pintanya “Ingin selalu bersama”.
Tepat 3 minggu, gadis itu
terbaring tidak sadarkan diri. Dia sedang berjuang, menunjukan perubahan yang
berarti.
“Nak. Jangan sampai kamu
menyerah! Temukan jalan pulang! Tuhan menyertai. Ibu ikhlas akan pilihanmu.”
Tanpa dia sadari tangan gadis itu bergerak, merasakan tangannya tergengam erat
penuh kehangatan.
“Ibu.”
Wanita cantik itu berusaha
menopang dagu yang hampir saja tenggelam pada ujung ranjang. Namun sebuah suara
membuat dia mendongkak.
“Apa aku bermimpi?” batin masih tidak percaya.
Dia memastikan dengan
mengamati gerak bibir Nadia. Benar saja, Nadia telah sadar dari koma.
“Ibu, apa yang terjadi?
Mataku kenapa bu?” Tubuhnya gemetar, matanya tertutup perban.
“Kamu tenang ya Nadia! Ibu
disini, kamu akan baik-baik saja.”
Nadia menangkap dengan
jelas ucapan ibunya, dia merasa tubuhnya lemas.
“Aku harus bagaimana bu?”
“Tidak apa-apa nak. Ibu
akan memanggil dokter untuk memeriksa keadaanmu. Ibu akan segera kembali.
Tunggu sebentar!”
Tangannya menghapus
kegelisahan di ujung mata Nadia. Kecupan menenangkan mendarat dipipi “Anakku.” Dia
segera meninggalkan ruangan untuk mencari Dokter Fatimah.
Setiap manusia tidak akan
tau kehendak Tuhan. Begitupun dengan pemandangan di depan mata. Kebahagiaan
yang ia rasakan berbanding terbalik dengan seseorang yang berada diruang
samping. Dia hanya mengintip pada jendela. Pasien di ruangan tersebut telah
pergi. Pergi meninggalkan kenangan untuk orang disekitarnya. Dia,
seseorang yang ia sayangi seperti kasihnya pada Nadia. Melihatnya terbujur kaku,
saat dirinya bahagia Nadia kembali. Apa ini adil? Siapapun tidak dapat merubah
kehendakNya.
“Kamu yang terbaik. Aku
tidak akan mengecewakanmu. Terimakasih.”
***
Nadia tidak mampu
mengucapkan “Ibu” bukan karena tidak pernah mengucapkan kalimat itu, tetapi
saat ini dia merasa kesulitan menggerakan organ tubuh. Matanya memilih
terpejam seperti ada perekat yang menghalangi. Namun pendengarannya masih
tajam. Pintu diruangannya berderit, seseorang mendekat.
“Ibu?”
“Aku pikir aku akan
mengucapkan selamat tinggal padamu tetapi sepertinya kamu memang beruntung.
Lain denganku, Tuhan mengambil yang berharga bagiku.”
“Dia menangis, itu bukan
suara Ibu. Siapa dia?”
“Mulai saat ini aku tidak
ingin melihatmu. Pergi jauh dari kehidupanku!”
Nadia tidak mengerti apa
yang membuat perempuan itu membencinya. Dia ingin sekali memaki, namun anggota
tubuh tidak berpihak.
“Kamu siapa?”
“Siapa? Apa aku harus
mengenalkan diri? Lalu kamu mengenaliku sebagai orang yang membencimu. Kenapa
kamu merusak hidupku. Kamu...” Ruangan itu menggema, tangisan pilu bagai
sayatan tajam.
“Betapa bencinya kamu terhadapku. Apa yang telah aku lakukan?
Jahatkah aku?” Nadia gelisah.
Namun tidak ada jawaban.
Langkah perempuan itu berlalu, meninggalkan ruangan. Nadia tidak mendengar
penjelaskan darinya. Kali ini pintu berderit lagi. Langkah kaki beberapa orang.
“Nadia, maaf menunggu.”
“Dok, apa Nadia sebaiknya
diperiksa dulu? Saya khawatir dengan keadaannya.” Ibu cemas.
“Baiklah Nadia, saya akan
periksa keadaan kamu.”
Peralatan dokter yang
membelit tubuh, satu persatu dilepaskan oleh suster. Dokter menyuruh Nadia
menggerakan tangan dan kaki, meyakinkan semua organ tubuh berfungsi dengan
baik. Hanya saja Nadia merasakan kejanggalan pada mata.
“Kenapa harus ditutup
perban? Apa aku buta?” membayangkan sesuatu yang
buruk terjadi.
Dokter melepas perban,
Nadia mengikuti saran dokter untuk membuka mata perlahan. Bola mata menangkap
seseorang yang tersenyum “Ibu”. Wajahnya berbinar, tangan menyapu dihadapan
Nadia. Memastikan dia terlihat jelas. Dokter menyorotkan senter kecil,
memeriksa keadaan.
“Kamu baik-baik saja. Dua
minggu lagi kamu boleh pulang karena kita harus melakukan pemulihan pada organ
tubuhmu. Jaga kesehatan ya Nadia!”
“Terimakasih Dok, anda
telah bekerja dengan baik.”
“Sama-sama Bu. Kalau ada
keluhan anda dapat menghubungi saya!” Dokter dan suster meninggalkan mereka
berdua.
“Terlihat jelas lelah
menggurat diwajahmu, sejak kapan kamu disini? Apa selama aku terbaring? Doa,
senyum, belaian tangan, kecupan hangat dikeningku. Ibu, ternyata kamu
menyayangiku. Kamu memberikannya saat aku tersadar dari tidur. Aku bahkan tidak
ingat. Kenapa aku berada disini? Apa aku terbangun untuk menjalani kehidupan
baru?”
“Apa yang kamu pikirkan?”
“Apa yang terjadi padaku
bu?”
“Kamu sudah menjalani
operasi. Sekarang kamu dalam keadaan sehat jadi tidak perlu khawatir.”
“Aku tidak pernah mengalami
sakit. Memang aku sakit apa?”
“Tidak sayang, kamu
mengalami koma dan mata mu harus dioperasi. Sekarang kamu baik-baik saja.”
“Koma? Apa yang telah
terjadi? Kenapa aku tidak mengingatnya?” Nadia meringis saat berusaha
mengingat.
“Jangan dipikirkan! Yang
penting kamu sudah sembuh. Kita hanya perlu mengontrolnya seminggu sekali ke
dokter Fatimah. Ibu akan mengantarmu.”
“Ibu.”
“Kenapa Nad?”
“Terimakasih.”
Senyum Ibu adalah senyum
malaikat penjaga. Aku telah lama merindukannya. Kini rasa sayang pada Ibu
kembali utuh. Aku tidak bisa mengingat kejadian sebelum aku terbaring disini,
apa aku melupakan bagian terpenting?
***
Langit sore berubah
mendung, menangis memandang wajah seseorang. Jendela rumah terlalu transparan,
memperlihatkan gurat sedih tatapan kosong yang mengarah pada bunga mawar di
halaman rumah. Bunga itu tersentuh deras hujan tanpa bisa berbuat apa-apa. Merelakan
kelopaknya jatuh satu persatu.
Dia menghembuskan nafas
pada kaca, membuat sebuah kabut. Jemari perlahan menulis “ Biarkan aku
mati, jika itu maumu!”
Rintik hujan, gemuruh
petir, mewakili hati. Bunga yang sejak tadi dia perhatikan, semakin menunduk
terkalahkan tetesan hujan yang semakin ganas. Kasihan sekali. Langit melihat
iba, bukan pada bunga tetapi pada dia yang berurai air mata menatap bunga tersebut.
Perempuan yang terdiam, tanpa tau apa yang harus dia lakukan.
“Kamu tau banyak hal Dika,
dari apa yang tidak aku ketahui. Bukankah begitu?” Nadia tidak melihat
perubahan sikap sahabatnya, mata tetap tertuju pada bunga mawar diluar sana.
“Aku adalah penyimpan
rahasia yang baik. Seberapa keras usahamu, tidak akan menggoyahkan
pendirianku.” Jawaban Dika tidak memberi pencerahan.
Ibu saja memilih bungkam
setiap diajukan pertanyaan. Kini dia mendapat perlakuan yang sama.
Berapa lama sebuah
persahabatan harus terjalin untuk mengetahui karakter seorang sahabat? Selama
apapun itu, Nadia tidak akan tau semua hal tentang Dika. Padahal sejak kecil
mereka sangat akrab, oranglain akan beranggapan kalau mereka kakak beradik.
Dika dan Nadia tidak pernah menjalin hubungan meskipun keduanya saling
menyayangi, mereka masih nyaman untuk jadi sahabat saja.
“Dika, aku tidak tau kenapa
ibu memilih bekerja ke rumah.”
“Apa kamu tidak senang?”
“Aku senang tetapi sejak
kapan dia seperti ini?”
“Sejak dia sadar kamu lah
yang paling berharga. Apalagi ketika kamu sakit Nad, dia tidak pernah
meninggalkanmu. Saat aku mengantarkan makanan, dia memilih tetap di dekatmu.
Padahal aku bisa menggantikan.”
“Aku bersyukur ibu dapat
memilih jalan yang baik. Selain itu, apa ada yang tidak aku ketahui?"
“Tentang Alex?” tebaknya,
tersenyum sinis.
“Aku sepertinya sudah lama
tidak mendengar nama itu.”
“Dia datang ke rumah sakit
saat libur sekolah. Apa kamu marah dia tidak datang hari ini?"
“Tidak, aku bahkan berharap
dia tidak menemuiku lagi.” wajahnya kembali redup.
“Jangan kecewa padanya, dia
sedang sibuk mempersiapkan lomba. Bukankah hubungan tidak akan seru jika tidak
ada masalah?”
“Aku adalah masalah yang
harus hilang dari hidupnya.”
“Berhentilah berpikir
negatif tentangmu! Alex tidak pernah berkata buruk. Dia datang ke rumah sakit
juga atas keinginannya.”
“Dia bersikap seolah-olah
aku memperlakukannya dengan baik karena itu aku ingin melepaskannya.”
“Maksudmu?”
“Aku lebih senang menjadi
temannya.”
“Kenapa kamu berpikir
seperti itu?”
“Aku hanya bisa menyakiti
hatinya tetapi dia tetap berperilaku sabar. Aku merasa kasihan. Dika, bisakah
kamu ceritakan bagaimana bisa aku dirawat di RS?”
“Nad, yang penting saat ini
kamu dalam keadaan sehat tidak kurang apapun!” itu tidak menjawab segala
pertanyaan dalam benaknya.
“Tetaplah disini! Aku
berharap tidak punya ingatan buruk. Aku ingin melupakan masa lalu yang
mencemaskan.”
Nadia tidak akan menemukan
jawaban. Begitupun dari langit yang mengamati. Padahal langit mengetahui apa
yang tersembunyi.
***
Cahaya itu menghilang. Dia
tidak tau harus berbuat apa supaya cahaya itu kembali. Baju putih? apakah itu
yang disebut malaikat? Mata menuntun mengikuti sosok itu, tetapi tidak bisa
memastikan siapa dia. Kabut tebal menyembunyikan tatapan seseorang.
Dia tidak mengerti, kenapa
dia berada disini. Semakin dia mendekat pada satu titik, maka titik itu
menjauh. Kenapa? padahal dia butuh penjelasan. Berharap menemukan seseorang
dipadang berkabut ini tetapi tidak ada siapa-siapa yang bisa diajak
berkomunikasi. Jalan keluar yang muncul lebih cepat menghilang.
Dia berjalan mengelilingi
tempat yang tidak pernah di datangi. Dimana ada tempat seperti ini? seakan
berjalan di tempat yang sama. Tidak ada ingatan yang menjelaskan peristiwa ini
bisa terjadi. Hanya pada suara yang memanggil namanya, dia meminta penjelasan
tetapi dia tidak menemukan darimana asal suara.
Nadia terbangun dalam
keadaan tubuh berkeringat. Mimpi ini terulang untuk kesekian kali, setelah dia
sadar dari koma.
“Mimpi.” Matanya menatap
langit luar. Nadia sengaja tidak menutup jendela kamar. Malam ini dia melamun
dibalik jendela.
“Aku merasa seperti orang
lain.” Nadia tertawa getir. Dia tidak pernah merasa sangat kecewa sebelumnya.
“Mataku tidak berhenti
mengagumimu langit. Apa aku baru menyadari ternyata kau begitu indah. Tuhan
bisakah Kau memberikan solusi terbaik? langit gelap seakan
menyadarkanku kalau semua masalah selalu ada jalan keluar. Seperti Kau ciptakan
bintang menjadi setitik cahaya saat gelap datang.” Nadia tersenyum, tangannya
menunjuk beberapa bintang, menyatukan sebuah nama.
“Tuhan, aku memintamu
menjaganya! sampaikan pesan rindu. Aku yakini Tuhan tidak akan membiarkanku
sendiri.”
Di lain tempat, seorang
gadis memilih duduk ditepi ranjang. Kepalanya tertunduk mencium lutut, sudut matanya
tidak berhenti menetes.
“Bisakah aku bertahan
dengan rasa sakit ini? Kenapa kamu tidak menungguku sampai dewasa? Kehadirannya
telah membuatku kehilanganmu. Apakah dia tetap yang terbaik bagimu padahal aku
memilih membencinya?”
Langit diluar sana tidak
berpihak. Meskipun gelap, bulan tetap setia menerangi. Walaupun tidak dihati
gadis itu. Tatapan mata memicing pada bingkai foto di meja belajar. Malam ini
dia menangis, mengiris hati seseorang yang mencemaskannya dibalik pintu kamar.
***
Nadia masih bertahan di
gerbang sekolah. Tempat pertama kalinya dia bertemu seseorang.
##
Seorang lelaki sedang asik
mengamati siswa SMA yang menyebrang menuju sekolah. Dari seragamnya dia bukan
berasal dari sekolah tersebut, matanya mencari sesuatu.
“Sekolah kalian yang
paling bagus, penghuninya juga guru berkualitas. Aku tidak seberuntung
kalian, tetapi aku tidak bodoh. Aku belajar dari keadaan sekitar. Apa
kalian yang berada di gedung ini belajar dengan benar? itu tidak menjamin atau
kalian hanya singgah saja dengan semua keegoisan dan keangkuhan. Ya, kalian
ingin menunjukan bahwa kalianlah yang terbaik dari orang miskin diluar sana.
Aku tidak akan mengalah dari kalian yang hanya duduk manis. Aku juga memiliki
ruangan yang luas. Aku lebih banyak belajar daripada kalian. Guruku adalah
mereka yang aku lihat, dengar dan rasakan.”
Dia berdiri mengayunkan
kaki, membuat ketukan pada tanah. Hidupnya terlihat damai. Dia tersentak
melihat Nadia turun dari angkutan umum.
“Dua menit lagi gerbang
sekolah akan tertutup.” Terdengar peringatan dari pak
satpam. Nadia jalan terburu-buru, lelaki itu mengikuti.
“Siapa lelaki dibelakangku?
Kenapa dia mengikuti kecepatan langkahku? Apa aku akan dirampok? Oh Tuhan
lindungi aku!” Badannya menggigil. Dia melangkah cepat, masuk ke sekolah.
“Hey, tunggu!” Lelaki itu
memanggil tetapi satpam mencegah masuk.
##
“Apa yang
terjadi?” Nadia melamun namun tersadar saat seseorang menepuk pundak.
“Kenapa berdiam diri di
sini?” Nadia tidak menjawab, mereka berjalan sejajar di lorong kelas.
“Selamat datang di sekolah
sayangku. Apa kamu sudah baikan?” Nadia mengangguk.
“Bicaralah! berhentilah
membuatku khawatir!” menarik nafas, melihat gadis di samping tetap berjalan
tanpa menoleh.
“Maafkan aku! Apa yang
harus aku lakukan untuk menebus kasalahanku? Aku akan lakukan.” Nadia tidak
menanggapi. Alex memotong langkah gadis itu, Nadia mendongkak dengan wajah
tanpa ekspresi.
“Apa kamu baik-baik saja?”
“Apa aku terlihat sangat
mengkhawatirkan?”
“Pertanyaanmu adalah
jawaban. Siapa yang tau perasaanmu saat ini, selain dirimu sendiri.”
“Memang seperti itulah aku.
Aku bahkan tidak mengerti apa yang aku rasakan.”
“Apa ada yang mengganggu
pikiranmu?” Alex tersenyum ramah tetapi tidak mengubah ekspresi gadis itu,
datar.
“Kamu boleh tidak tersenyum
padaku. Jangan lakukan hal yang sama pada orang lain! Apapun yang terjadi
hubungi aku!” Merasa tidak ada tanggapan, Alex mengelus kepala Nadia.
“Selalu ada jalan keluar.
Aku tidak akan membiarkanmu sendiri.”
Alex meninggalkannya
sendiri. Alex adalah pacar yang baik tetapi Nadia membiarkannya berlalu.
Nadia berada di kelas,
pikirannya terbawa ke dalam suasana yang sama seperti saat itu.
##
Pelajaran membosankan,
murid belajar dengan tenang, tatapan mata Nadia tertuju pada pos satpam
disamping gerbang sekolah. Sore itu ada pelajaran tambahan, ruangan kelas
sangat sepi hanya kelas 2-A yang masih berada di sekolah. Murid lain fokus
mendengar materi yang guru sampaikan, tetapi tidak dengan Nadia. Matanya
menatap seseorang diluar jendela yang tersenyum dan melambaikan tangan.
“Oh Tuhan, apa yang dia
lakukan? Aku pikir dia tidak akan kembali.”
Setelah tadi pagi tidak
bisa menemui gadis itu, kini dia berdiri disamping pos dengan diawasi pak
satpam.
“Siapa yang sedang kamu
tunggu?”
“Dia.” menunjuk Nadia yang
duduk di samping jendela. Nadia terlihat salah tingkah, pura-pura membaca buku
tetapi sebelah matanya memperhatikan perbincangan dua lelaki diluar sana.
“Nadia? Dia cantik, pintar,
tetapi sangat pendiam. Kalian ada hubungan apa? Pacaran?”
“Jika dia pacarku maka
sainganku sangat banyak, pak. Setiap hari aku akan sibuk memikirkan keadaan
dia, itu merepotkan. Meskipun aku menjadi lelaki beruntung karena setiap hari
mendapat tatapan cemburu dari setiap orang. Hanya saja, disini aku …” ucapannya
menggantung.
“Pengagum rahasia,
bodyguard, babysiter atau penguntit?”
“Tebakkan bapak meleset
semua. Lihat saja! Belum kenalan, dia sudah mengira aku pengganggu. Apa ada
yang salah dengan wajahku?”
“Sudah bapak duga. Kamu
memang tidak cocok dengan gadis seperti itu. Zaman dulu, saat seusiamu wajah
kita mirip meskipun kamu lebih tampan tetapi sikap kita hampir sama. Kita
tipikal orang yang tidak terlalu serius sehingga sulit mengejar gadis yang
disuka.”
“Kenapa nasib kita harus
disamakan? Apa bapak sudah menduga aku akan mendapat penolakan?” Mereka
tertawa.
“Apakah kamu termasuk anak
yang sering tawuran?”
“Don’t judge people by
cover, Pak! tujuanku kesini bukan untuk mencari pacar. Apalagi aku bukanlah
salah satu siswa yang suka tawuran. Tenang saja pak, aku hanya ingin
menyampaikan sesuatu.”
"Kalau begitu yakinkan
padanya kalau kamu anak yang baik."
"Apa? Sudah aku
katakan kami tidak punya hubungan apa-apa. Aku hanya ada perlu dengannya."
"Bapak tau.
Keperluanmu itu ada hubungannya dengan mengungkapkan perasaan kan?"
“Bukan pak."
“Anak muda zaman sekarang
memang pandai berbohong."
"Aaaarghh,,. Aku sudah
jelaskan panjang lebar pada anda tujuanku tetapi kenapa aku jadi
terpojokan."
Satpam tertawa melihat
tingkah laku pemuda itu yang mulai gelisah.
"Tenang, 10
menit lagi pelajaran selesai."
Nadia meninggalkan kenangan
itu di ingatannya. Bagaimana kabar Ryan? Nadia belum sempat bertemu
dengannya lagi, dia juga tidak menanyakan pada Ibu dan Dika.
Ryan, dia adalah orang yang
berarti baginya sejak dia datang hanya untuk mengucapkan terima kasih.
"Nadia, berhentilah!
Aku tidak akan melukaimu."
Dia mengejar Nadia dari
gerbang sekolah. Padahal Nadia ingin menghindar tetapi angkutan umum yang
ditunggu tidak kunjung datang. Terpaksa dia berjalan untuk menghindar, tetapi
pria itu tetap mengikuti.
"Nadia, apa kamu
mendengarku? Tolong berhentilah." Nadia menghentikan langkah saat pria itu
memanggil namanya.
"Jaga jarak denganku!
Siapa kamu? Kenapa kamu mengikutiku?"
"Namaku Ryan, aku
tidak berniat jahat. Aku kesini ingin mengucapkan terimakasih padamu."
"Terimakasih?"
"Iya, Apa kamu ingat
kejadian kemarin sore? kamu adalah malaikat bagi adikku. Dia bilang kamu
menolongnya saat dia ditabrak lari pengendara motor yang mengebut. Aku
berterima kasih padamu, jika kamu tidak membawa adikku ke puskesmas. Mungkin
sesuatu yang buruk akan terjadi padanya."
"Jadi Kania itu
adikmu?"
"Iya, kami tinggal di
perumahan belakang sekolahmu. Aku kesini karena permohonan Kania yang ingin
bertemu denganmu. Bisakah kamu ikut denganku?"
"Aku akan menemui
Kania tetapi bisakah nanti kamu sekalian mengantarkanku pulang.” Kebetulan
sekali, hari ini Nadia tidak ingin berada di rumah karena Ibunya sudah kembali
dari luar kota.
“Tenang saja nanti aku akan
mengantarmu pulang. Kamu hanya perlu izin orangtua supaya mereka tidak
khawatir."
"Izin? Apa aku harus
melakukannya? Saat aku ingin terbebas dari papan aturan. Aku tidak perlu izin
untuk menjalani hidup. Dia saja tidak pernah mengabari tentang keberadaannya.
Berangkat dari rumah pagi sekali dan pulang larut malam. Jadi bukankah adil
jika aku juga pergi sesuka hati."
“Baiklah aku akan meminta
izin terlebih dahulu.” Dia mengetik pesan, lalu mengirimnya.
Pesan yang dia kirim adalah
sebuah kebohongan. Dia mengirim pesan pada Dika untuk disampaikan pada Ibunya
kalau dia akan menginap dirumah teman sekelasnya.
***
Rumah ini sangat
menyenangkan, penghuni rumah tersebut menyambut Nadia dengan baik. Dia ikut
makan malam bersama. Om Wisnu dan tante Gia sangat baik. Mereka memiliki dua
anak, Kania adalah putri kandungnya dan Ryan adalah anak angkat yang diadosi
sejak bayi sehingga mereka menganggap Ryan anak kandungnya juga.
Nadia berbincang bersama
Kania. Dia terlihat dewasa dari umurnya. Padahal dia baru kelas 3 SMP.
“Ka Nadia, bagaimana kalau
hari ini menginap saja? Bukankah kakak sudah minta izin main ke rumahku?"
“Aku memang sudah izin
tetapi apa aku tidak mengganggumu?"
“Tentu saja tidak Kak. Aku
senang kakak disini, lebih lama juga tidak apa-apa. Aku seperti punya kakak
perempuan."
“Kania, Kak Nadia harus
pulang nanti keluarganya khawatir. Kamu ini manja sekali ingin punya kakak
perempuan. Apa kakakmu ini tidak cukup?” Ryan mencubit gemas pipi adiknya.
“Apa boleh jika aku
menginap sehari saja?" Nadia dengan berani mengatakannya, Ryan tercengang.
“Boleh kak, nanti kakak
tidur di kamar Kania. Ma, Kak Nadia mau menginap. Boleh ya?” Kania
mengatakan pada Ibunya yang baru saja ikut bergabung setelah membawa cemilan
dari dapur.
“Apa benar kamu akan
menginap?" tante Gia menanyakan keseriusan Nadia.
"Iya , apa tante
mengizinkan?"
“Tentu saja. Tante dan
Kania akan menyiapkan kamar. Kania kan jarang beres-beres."
“Asik, aku tidur sekamar
dengan Kak Nadia.”
“Tolong nanti jangan
berisik ya! karena bukan cuma Kak Nadia yang tidak bisa tidur. Kakak juga akan
kena dampaknya."
"Kak Ryan kan sudah
terbiasa tidak tidur cepat. Jadi bukan salah Kania yang berisik karena
jika dua perempuan dalam satu kamar tentu saja kami akan mengobrol. Aku
kan bukan patung."
Om wisnu dan Ryan tertawa
nyaring, melihat tingkah lucu Kania yang mengoceh sambil menaiki tangga,
bibirnya mencibir pada Ryan. Nadia tersenyum, merasa dirinya masuk pada bagian
mereka.
"Apa kamu sudah izin
pada orangtua mu, Nad?"
"Sudah om."
"Bagus kalau begitu.
Jadi mereka tidak perlu khawatir. Kami akan menjagamu dengan baik. Sekolah kamu
kan dekat dari sini. Besok kamu diantar Ryan saja."
“Terimakasih Om.”
Malam hampir larut, Nadia
tidak bisa tidur. Dia memutuskan keluar dari kamar. Dia melihat seseorang duduk
di balkon ruang tengah.
"Ryan? Apa yang kamu
lakukan?"
"Kenapa kamu tidak
tidur? Apa Kania mengganggumu?"
"Tidak, aku belum
mengantuk. Bagaimana denganmu?"
"Aku juga.
Duduklah!" Nadia duduk di samping Ryan.
"Tuhan menciptakan
langit malam untuk kita merenung. Cobalah untuk lupakan kegelisahanmu hari ini
buatlah hatimu merasa tenang!"
"Apa aku harus
melakukannya?"
"Harus, wajahnya
terlalu serius sesekali tersenyumlah, oranglain tidak perlu tau bebanmu!"
Nadia menatap langit,
merasakan kedamaian. Sepanjang malam, mereka bercengkrama, tertawa, dan berbagi
cerita.
"Bolehkah aku tau apa
masalah yang sedang kamu hadapi , Nad?"
"Apa orang lain harus
tau apa yang aku alami?"
"Tidak tetapi katakan
saja! Ini akan jadi rahasia kita, sesama bintang. Bagaimana?" Ryan
menjulurkan kelingkingnya dan menyatukan dengan kelingking Nadia.
"Janji."
"Aku memegang janjimu.
Ryan, aku sedang terbuang di lingkungan asing. Aku mempunyai seorang ibu yang
juga berperan sebagai Ayah. Ibu adalah pemilik sebuah perusahaan. Dia
mendapatkan jabatan tersebut karena dia memiliki hubungan dengan seorang
pengusaha yang sudah beristri dan memiliki 4 orang anak. Dia tidak peduli jika
keluarga tersebut telah ditinggalkan oleh lelaki itu, tapi aku peduli. Istrinya
kecewa dan anak-anaknya mengalami trauma karena masalah orangtua mereka. Kenapa
ibu tidak mau bercermin, dia adalah perempuan. Bagaimana jika dia berada di
posisi tersebut. Aku tidak mengerti. Kenapa dia bersikap jahat pada orang lain?
Hidupku tersisksa dengan kelakuan ibu. Kata-kata ku saja tidak berarti apa-apa.
Apalagi cemoohan dari oranglain. Baginya selama dia bahagia apapun akan dia
lakukan."
Saat ini Nadia tidak ingin
mendengar saran apapun, Ryan mengerti itu. Dia hanya berfungsi sebagai bintang
yang mendengarkan.
Setiap pulang sekolah Nadia
dijemput Ryan untuk berkunjung ke rumahnya. Ryan akan mendengarkan keluh kesah
Nadia tanpa menyela dan tanpa protes. Ryan adalah bintang baginya. Sebagai
gantinya Nadia selalu bersembunyi dari kejaran Alex.
##
Nadia berada tepat didepan
rumah keluarga angkat Ryan. Dia menangis diluar gerbang saat tau rumah ini
kosong di tinggal penghuninya.
"Ryan, aku selalu
memikirkanmu. Apa kamu juga begitu? Kamu dimana?"
***
Waktu melaju serupa siput.
Nadia duduk di pinggir jendela, menatap jalan yang bergerak cepat. Kereta ini
akan membawanya ke suatu tempat. Pandangannya fokus ke luar tetapi pikiran
tertuju pada orang yang ingin dia temui. Air mata menghangatkan pipi. Seseorang
yang duduk disamping dengan sigap menyodorkan tisu.
"Matamu terlalu
berharga menangisi orang yang membuat tersakiti." Nadia mengambil tisu
tersebut tanpa menoleh.
"Sejak kapan kamu
disini? Apa kamu mengikutiku?"
"Aku menanyakan pada
Dika kemana kamu pergi. Kenapa kamu tidak memberitahuku?"
"Apa aku harus selalu
mengabarimu?"
"Kamu melakukan itu
pada Dika, tetapi tidak padaku."
"Jadi kamu datang
kemari untuk mengawasi?"
"Aku ingin memastikan
kamu baik-baik saja. Tidak ada pilihan lain. Aku khawatir melihat kekasihku
naik kereta sendiri tanpa tujuan."
"Alex, aku bukan anak
kecil."
"Aku tau." Alex
menghela nafas saat matanya beradu dengan mata indah kekasihnya.
"Alex, hidupku tidak
berarti, bahkan penuh penyesalan."
"Jika kamu
menyesalinya. Lakukanlah apa yang bisa kamu perbaiki! Apa kamu masih menganggap
tidak ada yang bisa kamu lakukan?"
"Apa yang harus aku
lakukan? Aku tidak tau." suaranya tersendat, tangisan menjelaskan amarah
yang semakin meluap.
"Apa kamu juga tidak
bisa tersenyum saat seseorang menginginkannya. Apa itu saja sulit
untukmu?" suara Alex terdengar mengejek, tetapi dia ingin mengembalikan
semangat Nadia.
Dia merasa canggung.
Bagaimana tidak, 1 tahun hubungan mereka berjalan tanpa komunikasi yang baik.
Nadia tidak suka bila Alek mengajaknya jalan berdua saja. Sekolah merupakan
tempat mereka bertemu saat istirahat, tapi Dika selalu diminta Nadia menemani.
Akhirnya mereka pergi bertiga, ke perpustakaan, mengobrol di halaman sekolah
dan mengerjakan tugas bersama.
"Nad, katakanlah
sesuatu tentang apapun!"
"Tidak ada, aku tidak
ingin mengatakan apa-apa."
"Benarkah?"
"Aku..."
"Tenangkan dirimu! aku
akan menghargai kejujuran."
"Alex, aku telah
mengecewakanmu dalam banyak hal tapi kamu tetap baik padaku."
"Katakanlah lebih
banyak! aku sudah siap menerimanya." hatinya tersengat merasakan sakit
yang luar biasa.
"Alex, aku lelah
memaksakan perasaan ini."
"Ya, maaf telah memaksamu
bersandiwara. Jika itu membebani pikiranmu, apa yang ingin kamu lakukan?"
"Aku yang harusnya
minta maaf Alex. Aku sudah lama ingin mengatakan ini. Semoga kamu mengerti! Aku
mau kita putus! Carilah perempuan yang sayang padamu!" Nadia melepaskan
bagian terdalam hatinya, ketenangan itu semakin terasa.
"Aku merasa kecewa
kita berakhir di sini tetapi tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Bisakah kita
berteman baik?" Nadia mengangguk.
"Nad, aku bersyukur
bisa berada disampingku seperti ini. Aku menghargai kejujuranmu."
Saat ini Alex menemaninya
sebagai sahabat, sama seperti sebelumnya.
***
"Aku kembali, kembali
untukmu. Aku menepati janjiku. Aku disini."
Langkah kakinya baru saja
keluar dari gerbong kereta, namun suara nyaring berhasil menarik perhatian.
Semua mata tertuju pada gadis polos yang merentangkan tangan seakan memeluk
udara. Dia terlihat sangat bahagia. Pemuda disampingnya hanya menggaruk kepala,
lebih tepatnya menyembunyikan rasa malu.
"Nadia, ayo pergi
sebelum orang lain menertawakan tingkahmu!" Dia tersadar, lalu
beranjak pergi tanpa mengajak alex.
"Aku mudah
terlupakan." pemuda itu terlihat pasrah, mengikutinya dari belakang.
“Apakah kau menganggapku
ada atau aku hanya bayangan? Bahkan aku lebih buruk dari bayangan. Apa salahku?
aku tidak pernah lelah karenamu."
Langkah kakinya terhenti di
depan sebuah rumah diatas perbukitan teh. Nadia mengetuk pintu berulang kali,
Alex tidak yakin rumah ini berpenghuni karena tampak sepi.
"Mungkin tidak ada
orang, kita tanya dulu pada warga disekitar sini."
"Ini benar alamat yang
diberikan tetangga Om Wisnu."
"Tetapi tidak ada
tanda-tanda mereka disini."
"Mereka pasti
didalam." Vanesa mencoba membuka pintu. Alex menarik tangan Nadia.
"Apa yang kamu
lakukan? warga bisa curiga yang tidak-tidak kamu mencoba membuka pintu rumah
oranglain."
"Aku yakin mereka ada,
Tante Gia, om Wisnu, Kania, Ryan ini Nadia. Aku ingin bertemu denganmu, Ryan.
Ryan, bisakah kita bicara sebentar?" Nadia berteriak dengan suara lantang.
"Sudah Nad!" Alex
tetap melarang.
"Ryan, aku sangat
merindukanmu. Aku ingin berbicara denganmu, sebentar saja. Di ingatanku hanya
ada kamu, tidak tau kenapa setiap malam aku gelisah, menangis sendiri dan lebih
senang menatap langit persis seperti yang sering kita lakukan. Ryan..."
ucapannya terhenti, tante Gia membuka pintu perlahan, Nadia reflek memeluk,
penuh haru.
"Apa yang kamu lakukan
gadis cerewet, tante merindukanmu." Suaranya seperti habis menangis, mata
sembab.
"Aku juga tante."
Rumah terlihat sepi, tante
Gia baru menyadari keberadaan Alex.
"Siapa temanmu
ini?"
"Saya Alex, teman
Nadia."
Tante Gia mempersilahkan
mereka masuk. Duduk dalam keheningan.
“Yang lainnya kemana
Tante?”
“Sedang keluar sebentar
nanti juga pulang. Kalian datang dari jauh, tetapi tante malah tidak
menyediakan makanan. Tante bawakan cemilan dulu ya?" Geraknya terhenti,
Nadia mencegahnya pergi.
"Jangan repot-repot
tante, kedatanganku kesini hanya untuk menemui Ryan."
Tante Gia tertunduk. Entah
kenapa Nadia merasa tante Gia tampak pucat.
"Ryan sudah pergi.
Semenjak dia pergi Kania selalu murung, butuh beberapa minggu untuk membuatnya
ceria. Sekarang dia sedang memulihkan semangatnya, untung saja disini dia punya
teman-teman yang baik. Tante dan Om tidak pernah melupakan Ryan sehingga kami
memilih belakang rumah untung tempat peristirahatannya, supaya kami tetap
dekat.” Dia terisak, Nadia kebingungan.
“Maksud Tante Gia apa? Maaf
tante, tolong jelaskan padaku?” Nadia hampir menangis.
“Mungkin keluargamu
merahasiakan ini, tetapi kamu juga butuh kebenaran kan? Butuh jawaban yang
meyakinkan?” Nadia mengangguk
“Sebulan yang lalu, sebelum
kamu koma. Ada konflik antara kamu dan Ibumu setelah ibumu putus dengan calon
ayah tirimu. Sejak kejadian itu sepertinya kamu selalu mendapat terror yang
kurang menyenangkan. Hari itu hujan deras, kamu menelepon Ryan kalau Ayah tirimu
datang bersama bodyguardnya. Kamu meminta Ryan untuk menjemput. Ryan pergi dari
rumah terburu-buru, tante dan Kania berusaha melarangnya pergi. Tante khawatir
jika dia berangkat sendiri, apalagi Om Wisnu belum pulang dari luar kota tetapi
dia memaksa pergi, dan berjanji membawamu kerumah. Namun naas dalam perjalanan
kalian berdua kecelakaan. Ryan jauh dari kata baik, dia tahu kamu tidak akan
bisa melihat. Sehingga dia mendonorkan matanya untukmu. Tante sangat sayang
padanya dan sempat terpukul tetapi kami paham betul kehidupan kami tetap
berlanjut. Jika Ryan ada, dia pasti tidak suka kami dirundung duka karena
dirinya." Tante Gia menangis tersedu. Nadia sangat terpukul, airmata
mengalir begitu saja. Alex membiarkan tubuhnya untuk bersandar, menguatkan
gadis itu.
Terimakasih
Ini ceritaku, DILARANG
COPYPASTE!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar